Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jembatan maut cikundul

Kecelakaan bis kali gujih jurusan jambi yogya di jembatan cikundul, desa ciloto, ja-bar. 32 orang meningal. pernah diusulkan, jalan masuk jembatan yang menikung itu, dibikin lurus. (nas)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADE tak sempat memaki meski ia sangat terganggu dengan raung bis yang lewat di depan rumahnya dengan kecepatan tinggi. "Tiba-tiba, saya mendengar benturan keras sekali dan suara benda jatuh yang dahsyat," tuturnya. Maka, Ade, dan sejumlah penduduk di sekitar jembatan Cikundul, di Desa Ciloto - sekitar 3 km dari Puncak Pas arah Cipanas - malam itu, 5 Desember, menyaksikan kecelakaan darat terbesar tahun ini, hingga pekan lalu. Bis Kali Gujih jurusan Jambi-Yogyakarta itu membentur pagar jembatan, masuk sungai. Menurut catatan terakhir dari PT Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja, 32 meninggal, sembilan dirawat di rumah sakit, dan seorang menderita luka ringan. Upaya pertolongan yang dipimpin komandan Resort 824, Cianjur, Letnan Kolonel Djumhana, memakan waktu sekitar sembilan jam. Bantuan penduduk sekitar memang besar. Semua alat penerangan yang mungkin dipakai - senter, obor, dan petromaks - dipinjamkan. Jaring gawang sepak bola di lapangan bola dekat jembatan dicopot. Jaring itu digunakan mengambil lima korban yang tersangkut di pagar jembatan, agar tak jatuh ke sungai. Tebing Sungai yang begitu curam menyulitkan para penolong menaikkan korban. Menurut Ade, yang membuka tambal ban 150 meter dari jembatan, kecelakaan ini memilukan. Seorang anak berusia sekitar 1,5 tahun menggigil kedinginan dan merintih kesakitan ketika diangkat dari sungai. "Mama, mama . . .," begitu tangis anak itu, menurut Ade. Untuk sementara, rekonstruksi peristiwa hanya diperoleh dari Syafruddin, kernet bis Kali Gujih, yang cuma luka ringan. Bis BH 3094 bernomor seri 07 ini berangkat dari Jambi, 4 Desember, dengan tujuan Yogyakarta. Izin trayek yang dimiliki menyatakan, rute ke Yogyakarta harus ditempuh lewat utara: Jambi, Jakarta, Karawang, Cirebon, Semarang, Yogyakarta. Tapi di Jakarta, Rospandi, pemilik bis yang ikut sebagai penumpang, minta kepada Abdul Kadir, sopir yang juga rekanan Rospaudi, agar lewat selatan, lewat Bandung. "Biar lebih sejuk," begitu tutur Syafruddin, menirukan Rospandi. Lepas dari Puncak Pas, kira-kira 2 km sebelum sampai di jembatan Cikundul, menurut Syafruddin, rem jebol. Maka, musibah pun terjadi. Tapi, menurut E. Sadikin, salah seorang staf Proyek Peningkatan Jalan Cianjur-Ciawi-Sukabumi, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen PU, hal itu tak mungkin. "Kalau rem jebol dua kilo sebelum jembatan, pasti terjadinya kecelakaan jauh sebelum jembatan," katanya. Memang, lepas dari Puncak Pas menuju Ciloto, jalan menurun terus dan sedikitnya ada 11 tikungan ke kanan dan kiri yang cukup tajam. Diduga rem jebol sekitar 200 meter sebelum jembatan. Bagaimana persisnya, tentu Almarhum Abdul Kadir sendiri yang tahu. Jalan yang cukup gawat itu sebenarnya telah diusahakan agar aman. Lebar jalan yang diaspal tujuh meter dengan bahu (yang tak diaspal) di kanan dan kiri masing-masing satu meter. Ini lebih lebar dari jalan Ciawi-Puncak misalnya, yang cuma 6,25 meter dengan bahu satu meter. Jembatan Cikundul pada tahun 1982 sudah diperlebar menjadi 12 meter. Jembatan yang dibangun pada tahun 1945 ini dulu cuma enam meter lebarnya. April 1981 sempat makan korban, 23 penumpang bis Turangga, Jakarta-Bandung, meninggal. Bis menabrak jembatan, masuk sungai, mirip bis Kali Gujih itu. Meski jalan sudah diusahakan agar aman, sopir yang tak biasa melewati jalan dengan banyak tikungan ini - konon Abdul Kadir baru dua kali itu - memang bisa kaget. Lepas dari Puncak Pas, hanya ada dua rambu jalan yang hanya memberi peringatan "jalan licin". Sama sekali tak ada rambu yang memperingatkan pengemudi bahwa ia akan masuk jembatan. Maka, pengemudi yang ngebut bisa kaget, lantas kacau. Apalagi bila kendaraan ternyata menyalahi aturan. Seperti bis Kali Gujih dari Jambi itu, yang ternyata kelebihan 12 penumpang. Lagi pula karoseri bis Colt-Diesel keluaran 1979 ini dibuat dari kayu. Maka ketika menghantam jembatan, badan bis berantakan. Menurut Ade, yang tinggal di kawasan itu sejak 1971, hampir tiap tahun ada kecelakaan, dengan atau tanpa korban jiwa. Tikungan menjelang jembatan diperkirakan menjadi penyebabnya. Konon, pernah ada saran dari Satlantas Kodak Jakarta agar jalan masuk jembatan dari kedua arah diluruskan. Untuk itu, memang dibutuhkan jembatan yang lebih panjang (panjang sekarang 25 meter) dan poros jalan diubah. Tentu, itu akan memerlukan biaya besar. Tapi - tanpa melupakan bahwa banyak pengemudi yang ngebut - haruskah keselamatan pemakai jalan dikorbankan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus