ADE tak sempat memaki meski ia sangat terganggu dengan raung bis
yang lewat di depan rumahnya dengan kecepatan tinggi.
"Tiba-tiba, saya mendengar benturan keras sekali dan suara benda
jatuh yang dahsyat," tuturnya. Maka, Ade, dan sejumlah penduduk
di sekitar jembatan Cikundul, di Desa Ciloto - sekitar 3 km dari
Puncak Pas arah Cipanas - malam itu, 5 Desember, menyaksikan
kecelakaan darat terbesar tahun ini, hingga pekan lalu. Bis
Kali Gujih jurusan Jambi-Yogyakarta itu membentur pagar
jembatan, masuk sungai. Menurut catatan terakhir dari PT
Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja, 32 meninggal, sembilan dirawat
di rumah sakit, dan seorang menderita luka ringan.
Upaya pertolongan yang dipimpin komandan Resort 824, Cianjur,
Letnan Kolonel Djumhana, memakan waktu sekitar sembilan jam.
Bantuan penduduk sekitar memang besar. Semua alat penerangan
yang mungkin dipakai - senter, obor, dan petromaks -
dipinjamkan. Jaring gawang sepak bola di lapangan bola dekat
jembatan dicopot. Jaring itu digunakan mengambil lima korban
yang tersangkut di pagar jembatan, agar tak jatuh ke sungai.
Tebing Sungai yang begitu curam menyulitkan para penolong
menaikkan korban.
Menurut Ade, yang membuka tambal ban 150 meter dari jembatan,
kecelakaan ini memilukan. Seorang anak berusia sekitar 1,5 tahun
menggigil kedinginan dan merintih kesakitan ketika diangkat dari
sungai. "Mama, mama . . .," begitu tangis anak itu, menurut Ade.
Untuk sementara, rekonstruksi peristiwa hanya diperoleh dari
Syafruddin, kernet bis Kali Gujih, yang cuma luka ringan. Bis BH
3094 bernomor seri 07 ini berangkat dari Jambi, 4 Desember,
dengan tujuan Yogyakarta. Izin trayek yang dimiliki menyatakan,
rute ke Yogyakarta harus ditempuh lewat utara: Jambi, Jakarta,
Karawang, Cirebon, Semarang, Yogyakarta. Tapi di Jakarta,
Rospandi, pemilik bis yang ikut sebagai penumpang, minta kepada
Abdul Kadir, sopir yang juga rekanan Rospaudi, agar lewat
selatan, lewat Bandung. "Biar lebih sejuk," begitu tutur
Syafruddin, menirukan Rospandi.
Lepas dari Puncak Pas, kira-kira 2 km sebelum sampai di jembatan
Cikundul, menurut Syafruddin, rem jebol. Maka, musibah pun
terjadi. Tapi, menurut E. Sadikin, salah seorang staf Proyek
Peningkatan Jalan Cianjur-Ciawi-Sukabumi, Direktorat Jenderal
Bina Marga, Departemen PU, hal itu tak mungkin. "Kalau rem jebol
dua kilo sebelum jembatan, pasti terjadinya kecelakaan jauh
sebelum jembatan," katanya.
Memang, lepas dari Puncak Pas menuju Ciloto, jalan menurun terus
dan sedikitnya ada 11 tikungan ke kanan dan kiri yang cukup
tajam. Diduga rem jebol sekitar 200 meter sebelum jembatan.
Bagaimana persisnya, tentu Almarhum Abdul Kadir sendiri yang
tahu.
Jalan yang cukup gawat itu sebenarnya telah diusahakan agar
aman. Lebar jalan yang diaspal tujuh meter dengan bahu (yang tak
diaspal) di kanan dan kiri masing-masing satu meter. Ini lebih
lebar dari jalan Ciawi-Puncak misalnya, yang cuma 6,25 meter
dengan bahu satu meter.
Jembatan Cikundul pada tahun 1982 sudah diperlebar menjadi 12
meter. Jembatan yang dibangun pada tahun 1945 ini dulu cuma enam
meter lebarnya. April 1981 sempat makan korban, 23 penumpang bis
Turangga, Jakarta-Bandung, meninggal. Bis menabrak jembatan,
masuk sungai, mirip bis Kali Gujih itu.
Meski jalan sudah diusahakan agar aman, sopir yang tak biasa
melewati jalan dengan banyak tikungan ini - konon Abdul Kadir
baru dua kali itu - memang bisa kaget. Lepas dari Puncak Pas,
hanya ada dua rambu jalan yang hanya memberi peringatan "jalan
licin". Sama sekali tak ada rambu yang memperingatkan pengemudi
bahwa ia akan masuk jembatan. Maka, pengemudi yang ngebut bisa
kaget, lantas kacau.
Apalagi bila kendaraan ternyata menyalahi aturan. Seperti bis
Kali Gujih dari Jambi itu, yang ternyata kelebihan 12 penumpang.
Lagi pula karoseri bis Colt-Diesel keluaran 1979 ini dibuat dari
kayu. Maka ketika menghantam jembatan, badan bis berantakan.
Menurut Ade, yang tinggal di kawasan itu sejak 1971, hampir tiap
tahun ada kecelakaan, dengan atau tanpa korban jiwa. Tikungan
menjelang jembatan diperkirakan menjadi penyebabnya. Konon,
pernah ada saran dari Satlantas Kodak Jakarta agar jalan masuk
jembatan dari kedua arah diluruskan. Untuk itu, memang
dibutuhkan jembatan yang lebih panjang (panjang sekarang 25
meter) dan poros jalan diubah. Tentu, itu akan memerlukan biaya
besar. Tapi - tanpa melupakan bahwa banyak pengemudi yang ngebut
- haruskah keselamatan pemakai jalan dikorbankan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini