Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ada rumah yang ruang tamunya bisa menampung ratusan orang, itulah rumah Oesman Sapta Odang di kawasan elite Kuningan, Jakarta Selatan. Pada Rabu pekan lalu, ratusan kader Partai Hanura berkumpul di rumah ketua umum mereka. Acaranya orasi-orasi petinggi partai.
Gede Pasek Suardika, Wakil Ketua Umum Hanura, menjadi orator pertama. Ia memulainya dengan menyinggung warna oranye bendera partai yang sama dengan warna jahe dan kunyit. Mantan politikus Partai Demokrat ini mengibaratkan partainya sebagai obat seperti khasiat dua jenis rimpang tersebut. "Untuk mereka yang ada di sebelah dan sedang sakit, kami punya obatnya," kata Pasek merujuk pada Hanura kubu Bambu Apus, Jakarta Timur.
Tiba giliran Oesman naik panggung, setelah dua petinggi Hanura lain selesai berpidato. Pengusaha 67 tahun ini ngalor-ngidul omong soal masa kecilnya di Sukadana, Kalimantan Barat, tempat orang tuanya merantau. Di kampung itu, Oesman sejak kecil menjadi kuli angkut di perkebunan. Ia kini menjadi pengusaha di bawah OSO Group dengan total kekayaan Rp 4,6 triliun, menurut catatan majalah Forbes 2016.
Setelah omong-omong soal peluangnya menjadi calon wakil presiden 2019, nada bicara Oso- panggilan akrab Oesman- meninggi ketika menyebut nama Wiranto, pendiri Hanura yang ia teruskan jabatannya. Kepada Oesman, Wiranto meminta tak membuat gaduh di partai. "Saya bilang, ’Pak, saya orangnya tak ingin ribut, tapi jangan menantang ribut’," ujarnya. Kader Hanura bersorak mendengar kalimat Oesman.
Alih-alih mereda, esoknya kader Hanura kubu Bambu Apus yang menggelar kumpul-kumpul. Mereka menyelenggarakan musyawarah nasional luar biasa untuk memilih ketua. Mereka tak mau lagi ada di bawah duli Oesman.
Ketika rapat berlangsung, telepon seluler Ketua Fraksi Hanura di Dewan Perwakilan Rakyat, Dossy Iskandar, berbunyi. Pesan WhatsApp dari Wiranto masuk. Dossy naik panggung dan membacakan pesan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu. "Saya akan terus mendukung dan berjuang bersama-sama saudara untuk eksistensi Partai Hanura," tulis Wiranto.
Seperti di rumah Oesman, ratusan orang itu pun memekikkan nama Wiranto. Mereka ingin Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia zaman Orde Baru itu kembali memimpin partai. "Saya harus konsisten membantu Presiden menjaga stabilitas politik dan keamanan," ucap Wiranto lewat pesan pendek yang dibacakan Dossy.
Musyawarah pun memilih Daryatmo, mantan Kepala Badan Search and Rescue Nasional, menjadi Ketua Umum Hanura. "Berpolitik sama mulianya dengan mengabdi di TNI," kata marsekal purnawirawan ini. Hari itu, Hanura memiliki dua ketua, Oesman di kubu Kuningan dan Daryatmo mengomandoi faksi Bambu Apus.
Hanura, partai dengan 6.579.498 suara, bukan organisasi pertama yang pecah saat dipegang Oesman. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Daerah juga terbelah ketika ia pimpin. Lalu Himpunan Kerukunan Tani Indonesia pun pecah berhadapan dengan kubu Prabowo Subianto. Oso juga dituding berada di balik retaknya Kamar Dagang dan Industri pada 2013.
Kisruh di Hanura bermula dari mosi tidak percaya yang dilayangkan 27 pengurus tingkat provinsi akhir tahun lalu. Mereka menggugat Oesman karena dianggap melanggar pakta integritas partai yang ditandatangani pada 21 Desember 2016, hari ketika ia masuk Hanura. Oesman selalu gagal membawa partai yang didirikannya, Partai Persatuan Daerah, cukup suara ikut pemilihan umum.
Dalam perjanjian yang juga disaksikan Ketua Dewan Kehormatan Hanura, Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, dan Jenderal Chairuddin Ismail itu, salah satu komitmen Oesman adalah menjaga soliditas partai. Namun, menurut loyalis Hanura Bambu Apus, Marlis Alinia, Oesman sering melanggar kesepakatan ini. "Di masa Oesman memimpin, cuma ada dua kata: pecat dan plt-kan," ujar Marlis.
Marlis, Ketua Hanura Sumatera Barat, pernah diancam akan dipecat Oesman gara-gara hal sepele. Pada Desember 2016, Oesman datang ke Sumatera Barat. Marlis yang saat itu menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak menemani karena sedang dinas ke Surabaya. Oesman marah tak disambut Ketua Hanura setempat. "Saya mau dipecat," kata Marlis.
Ketika dimintai konfirmasi soal cerita Marlis ini, Oesman mengatakan pemecatan kader merupakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin partai. "Apa yang salah kalau saya mendisiplinkan kader?" ujarnya.
Bukan hanya soal gaya memimpin, menurut Marlis, setelah Oso jadi Ketua Hanura, banyak pungutan tak jelas kepada kader. Oesman mewajibkan anggota DPR dari Hanura menyetor Rp 200 juta, Rp 50 juta bagi anggota DPRD provinsi, dan Rp 25 juta untuk DPRD kabupaten/kota. Dengan 1.200 kader yang duduk di parlemen pusat sampai kabupaten, sedikitnya kas partai bertambah Rp 30 miliar per tahun. "Saya pernah transfer sekali pada 2016, pertanggungjawabannya tak jelas," ucap Marlis.
Di luar pungutan, Oesman juga dikabarkan mengutip mahar dari calon kepala daerah yang ingin mendapat rekomendasinya. Farid Nurrahman, politikus Partai Amanat Nasional, mengalaminya karena partainya tak cukup kursi menjadi calon Bupati Temanggung untuk pemilihan tahun ini. Ia ingin Hanura menggenapi dukungan.
Pada 6 Januari lalu, Farid diundang memaparkan visi-misi di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Rupanya, ada empat bakal calon Bupati Temanggung lain yang punya hajat serupa. Ada lima penguji dari Hanura yang menanyainya. "Setelah visi dan misi, saya ditanya apakah bisa menyediakan Rp 350 juta," kata dosen perencanaan wilayah Institut Teknologi Kalimantan ini.
Karena tak sanggup menyediakan uang itu, Farid gigit jari. Hanura menjatuhkan rekomendasi kepada pasangan calon Haryo Dewandono dan Irawan Prasetyadi.
Urusan mahar pemilihan kepala daerah ini juga yang membuat perpecahan Hanura meruncing. Di Kabupaten Garut dan Purwakarta, Jawa Barat, Hanura menerbitkan dua surat rekomendasi untuk orang berbeda. Di Purwakarta, rekomendasi Hanura diberikan kepada pasangan calon Anne Ratna Mustika dan Aming pada 7 Januari 2018. Esoknya, Oesman pula yang menerbitkan surat rekomendasi untuk Rustandie-Dikdik Sukardi.
Malang bagi Rustandie dan Dikdik, surat itu ditolak Komisi Pemilihan Umum Purwakarta karena Anne-Aming sudah mendaftarkan rekomendasi tersebut. "Kami malu karena Hanura dianggap tak konsisten," ujar Dadang Rusdiana, Ketua Hanura kubu Bambu Apus.
Di Garut, Oesman juga awalnya mengeluarkan rekomendasi untuk pasangan Iman Alirahman-Ade Ginanjar. Tak sampai 24 jam kemudian, Oesman menerbitkan surat serupa untuk Agus Hamdani Ganda Sutisna, yang berpasangan dengan Pradana Aditya Wicaksana. "Yang surat rekomendasinya dibatalkan itu karena tak layak," kata Oesman.
Rupanya, bukan sekadar urusan kelayakan. Pencabutan itu diduga berkaitan dengan mahar calon bupati. Tempo mendapat salinan kuitansi senilai Rp 1,75 miliar bertanggal 4 Januari 2018 yang bertulisan "Sudah Terima Dari: Kabupaten Garut untuk Keperluan: Dana Titipan Sementara". Kuitansi itu ditandatangani Benny Prananto, Wakil Bendahara Umum Hanura, yang kini loyalis kubu Bambu Apus.
Benny mengkonfirmasi keaslian tanda tangan itu. Menurut dia, tanda terima itu bagian dari tugas administrasi sebagai pengurus keuangan partai. "Kerja-kerja yang kotor seperti itu dilimpahkan ke saya," ujarnya. "Uang itu saya transfer ke rekening partai, Pak Oesman yang negosiasi langsung dengan calon bupati."
Uang di rekening Hanura tak lama berdiam. Menurut Ketua Hanura Sumatera Selatan Mularis Djahari, uang di kas partai ditransfer ke rekening lembaga keuangan milik Oesman, OSO Securities. Jumlahnya, kata Mularis, mencapai Rp 200 miliar.
Oesman mengatakan tak ikut campur urusan pemilihan kepala daerah. Ia mengakui mengelola kas partai di OSO Securities. "Kalau mengelola di tempat saya, untungnya lebih tinggi dibanding tempat lain," ujarnya. "Artinya, partai untung. Lalu di mana kesalahannya?"
Kader Hanura kubu Bambu Apus juga menuding Oesman hendak menyingkirkan peran Wiranto di partai. Dadang Rusdiana, anggota Fraksi Hanura, mencontohkan Oesman memindahkan markas partai dari Bambu Apus ke gedung miliknya, City Tower Lantai 18 di Jalan M.H. Thamrin. Di City Tower, tak ada atribut partai yang berhubungan dengan Wiranto sebagai pendiri. "Kalau ada acara, Pak Wiranto tak diberi kesempatan pidato," kata Dadang.
Wiranto tak bisa berbuat banyak melihat partainya pecah. Menurut dia, pemecatan Oesman dalam Munaslub Bambu Apus tak bisa dilarang karena diinginkan kader-kadernya. "Bila kader ingin kepemimpinan diganti, mereka yang menentukan karena mereka pemilik dan kekuatan nyata partai," ucap Wiranto.
Oesman membantah anggapan bahwa ia berusaha menyingkirkan Wiranto dari Hanura. "Kalau dia mau pidato, ya, pidato saja," ujar Oesman.
Raymundus Rikang, Istman Musaharun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo