Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya telah terlalu banyak melihat kebencian.
Beberapa bulan setelah mengucapkan itu, Martin Luther King, Jr. ditembak mati, sekitar pukul enam sore 4 April 1968. Ketika tokoh utama gerakan protes orang Hitam Amerika itu berdiri di balkoni di luar kamarnya di Lorraine Motel di Memphis, Tennessee, sebutir peluru menghantam dagunya dan memutus sumsum tulang belakangnya. King diangkut ke rumah sakit, tapi tak tertolong. Usianya 39 tahun.
Orang yang kemudian ditangkap sebagai pembunuhnya, James Earl Ray, dipenjarakan- praktis seumur hidup, sebab ia mati setelah 29 tahun dalam kurungan.
Ada yang menduga, termasuk keluarga Martin Luther King, yang membunuh sebenarnya bukan Ray, melainkan sebuah komplotan rahasia. Dugaan ini tak dapat dibuktikan. Tapi jika memang ada konspirasi, itu adalah persekutuan lama yang terbentuk oleh paranoia dan sikap benci di sejumlah besar orang kulit putih terhadap apa saja yang "Negro".
Mereka tak perlu membuat rencana pembunuhan. Cukup dengan memupuk dan merawat kebencian, membuatnya seperti api dalam sekam, menjalarkannya tiap kali, membentuknya dalam kata-kata, baik dalam retorika di podium maupun dalam percakapan sehari-hari, merumuskannya dalam semacam credo, dan bersorak (dengan ingar atau setengah diam) ketika orang-orang yang mereka benci dibinasakan.
"Saya telah terlalu banyak melihat kebencian…," kata Martin Luther King. "Saya telah terlalu banyak melihat kebencian di wajah para sheriff di daerah Selatan…. Saya telah melihat kebencian di wajah banyak anggota Ku Klux Klan, dan terlalu banyak wakil warga kulit putih…."
Benci itu dari mana datangnya? Dengki? Nafsu? Dorongan sadistis? Ketakutan? Hasrat berkuasa mutlak, tanpa orang lain, di dunia?
Mustahil menunjuk ke satu sumber. Bawah sadar manusia adalah himpunan antah-berantah. Yang tampak, benci selalu membuat dirinya jelas dengan membenarkan dirinya sendiri.
Sebetulnya itu berarti ada yang tak benar dalam sikap negatif itu. Makin terasa benci sebagai sesuatu yang tak sepatutnya, makin orang mencari pembenarannya. Maka benci pun berubah, jadi prinsip, atau ideologi, atau keyakinan. Bahkan benci mengubah agama jadi akidah permusuhan.
Ku Klux Klan- yang ingin membersihkan sekitarnya dari orang Hitam, Katolik, dan Yahudi, yang mengancam dan membunuh- menyatakan niatnya: "Menegakkan kembali Kristen Protestan di Amerika dengan segala cara yang mungkin."
Bahwa mereka mengabaikan kata-kata Yesus "Cintailah musuhmu" menunjukkan betapa benci lebih punya fokus ketimbang apa yang disebut sebagai "cinta kasih". Benci tak punya keraguan. Kitab suci yang tak menyukai keraguan dengan gampang menyertainya. Sering tampak, bukan Kitab itu yang mengubah manusia, melainkan manusia yang mengubahnya- dan Injil, Taurat, Quran, dan lain-lain bergaung bersama kekerasan.
Saya ingat kearifan Miss Maudie yang tua dalam novel To Kill a Mockingbird Harper Lee: kitab suci di tangan para bigot bisa lebih buruk ketimbang wiski yang ditenggak seorang penolong.
Untunglah di tangan Martin Luther King, Jr., di tangan pastor yang hidup di kancah permusuhan ini, Injil membawanya ke arah yang berlawanan dengan benci. Ia bagian kaum "Negro" yang dihina, dipinggirkan, dirampok, dibunuh, tapi King sanggup menyatakan, "Saya telah memutuskan untuk tetap bersama cinta kasih."
Ia tahu, firman agar mencintai musuh adalah ajaran yang sulit. Ada yang mengatakan itu hanya "hiperbol orang Timur", tanda bahwa Yesus cuma "idealis yang tak praktis".
Bagi King, justru sebaliknya.
Mencintai musuh, baginya, bermula dari kesediaan melihat balok di mata kita sendiri, bukan hanya selumbar di mata orang lain. Dengan kata lain, mengakui ada benih yang keji juga dalam diri, dan pada saat yang sama melihat manusia bukan sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan tapi tak dipercayai-Nya- ciptaan yang malah dicurigai, dimata-matai, dan tiap kali diancam hukuman. Cinta kasih, kata King, memungkinkan kita melihat "citra Tuhan" dalam diri seseorang, apa pun yang dilakukan orang itu.
Agape, kata Yunani yang berarti "cinta kasih", bagi King mengandung sikap kreatif, memahami, dan bersiap memaafkan, tanpa mengharapkan balas budi. Cinta kasih bukan sekadar "menyukai". Cinta kasih adalah ketika seseorang "menolak melakukan apa pun yang akan membuat orang lain kalah".
Alternatifnya suram, bahkan menakutkan. "Saya kira alasan pertama kita harus mencintai musuh kita… adalah ini: benci akan mempertajam kebencian dan kekejian di alam semesta." Kata-kata King dalam kesempatan lain: "Gelap tak akan mengusir gelap; hanya cahaya yang bisa melakukannya. Kebencian tak akan mengusir kebencian; hanya cinta kasih yang dapat melakukannya."
Kata-kata itu menggugah, tapi sanggupkah menyelamatkan?
Sore hari itu seseorang membidikkan bedil ke arahnya dan ia mati dengan sumsum tulang belakang yang hancur. Di hari ketiga wafatnya, Nina Simone menyanyikan Why? di Westbury Music Fair:
We can all shed tears; it won’t change a thing
Teach your people: Will they ever learn?
Suaranya berkabung dan nyaris putus asa: "...kita di tebing jurang kini/King dengan cinta tak ada lagi, apa yang akan terjadi?"
Yang terjadi: sejarah berubah dan juga tak berubah. Ketika Obama dipilih jadi presiden, dunia melihat dengan bergetar runtuhnya ketidakadilan ratusan tahun terhadap minoritas Hitam di Amerika. Tapi pada 15 Januari 2017, pada Martin Luther King Day yang kesekian, Obama tak di sana lagi; Trump di Gedung Putih dan kebencian kembali.
Kebencian tak hanya di Amerika.
Justru di abad ke-21, ketika kita makin menyadari diri sebagai makhluk yang bersama-sama terselip, renik, di sudut yang rapuh dalam jutaan galaksi. King: "Kita telah belajar terbang bagai burung, berenang di laut bagai ikan, tapi belum belajar bagaimana berjalan di bumi sebagai saudara."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo