Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Lilis Cahyareni kewalahan memenuhi pesanan daging sapi selama pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Bersama suaminya, Herdyan Vandra Widyanggara, warga Desa Triharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini banting setir untuk menjual daging sapi melalui platform media sosial. Lewat aplikasi daring, pelaku usaha kecil ini ulet berinovasi di tengah pagebluk yang memukul hampir semua sektor usaha di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara baru Lilis memasarkan daging sapi bermula ketika ia bergabung bersama Sonjo, sebuah aplikasi pemasaran yang digagas ekonom dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo. Rimawan sengaja membuat Sonjo atau Sambatan Yogya untuk membantu pengusaha kecil yang terkena dampak Covid-19. Platform ini berfokus pada bidang kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Kini jangkauan Sonjo semakin luas. Mereka juga menggarap sektor wisata dan usaha pernikahan virtual.
Nama Sonjo mengambil filosofi masyarakat Jawa, yakni bergotong-royong membangun rumah. Rimawan teringat pada kampung halamannya di perdesaan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yang mempertahankan sambatan, tradisi saling membantu tetangga desa saat ada yang mendirikan rumah.
Pada awal masa pandemi, hanya ada satu grup WhatsApp Sonjo. Kini Sonjo semakin berkembang menjadi 10 grup WA dengan anggota mencapai 1.100 orang. Grup WA ini dipilih karena murah dan mudah dijangkau semua kalangan. Anggota Sonjo terdiri atas berbagai kalangan, seperti pengusaha kecil, dokter, dan pesantren.
Selama masa pandemi, Lilis berusaha bertahan dengan tetap memasok daging sapi ke sejumlah rumah sakit di Yogyakarta. Jumlahnya sekitar 20 kilogram setiap pekan. Sebelum pandemi terjadi, Lilis biasa memasok daging sapi ke hotel, restoran, dan usaha katering. Dalam sepekan dia bisa menyuplai 1 ton daging sapi. “Usaha kami mandek di awal pandemi pada Maret,” kata Lilis, kemarin.
Karena jumlah pesanan daging semakin turun, ia mencari cara untuk memasarkan produknya lewat Sonjo. Lilis bergabung dengan grup WhatsaApp Sonjo. Di grup ini, Lilis belajar cara memasarkan produk secara online, yaitu dengan menjadi penyuplai.
Lewat Sonjo, omzet penjualan daging dari usaha Lilis meningkat pesat. Lilis memasok daging ke hotel, restoran, dan rumah-rumah warga. Ia sampai kewalahan memenuhi pesanan. Setiap pekan, mereka memasok 100 kilogram daging sapi. Selain menggenjot pesanan lewat platform online, mereka menyebar brosur penjualan daging di perumahan. “Ke depan, kami terus berinovasi dengan memasarkan secara online,” ujar Lilis.
Kisah sukses Lilis dan anggota Sonjo lainnya selalu dibagikan dalam berbagai forum diskusi secara daring. Diskusi itu mempertemukan ekonom, pelaku usaha kecil, dan konsumen.
Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi, Muhammad Mustafid, mengatakan Sonjo membantu para pelaku UKM di pesantren yang dia asuh untuk belajar tentang pemasaran produk secara online. Di pesantren itu terdapat total 78 UKM yang kini mulai gencar menjajal pemasaran secara online. Omzetnya rata-rata Rp 15-50 juta setiap bulan.
Bergabungnya UKM pesantren Mlangi ini membuat Rimawan makin optimistis Sonjo mampu memperluas keanggotaannya dan menyebarkan berbagai informasi untuk menjaga perekonomian di tengah pandemi. Sejak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan peraturan gubernur tentang pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar total, anggota Sonjo yang terhubung melalui grup WA berkonsolidasi untuk mengantisipasi penularan virus corona di Yogyakarta, misalnya mencari solusi bagi pelaku pariwisata.
Menurut Rimawan, pelaku UKM bertahan di tengah pandemi karena ulet dan tahan banting. Mereka terus berinovasi menggerakkan perekonomian dengan tetap patuh pada protokol kesehatan. “Kami terus menahan serangan virus ini,” katanya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | MAYA AYU PUSPITASARI
Angkringan Usaha Mikro di Tengah Pandemi
Grup WhatsApp Sonjo tak pernah sepi dari percakapan ribuan anggotanya. Beraneka poster tentang diskusi kerap mampir di medium komunikasi gratis pada telepon seluler itu. Temanya bermacam-macam, di antaranya pemasaran etalase Pasar Sonjo untuk produk usaha mikro-kecil Yogyakarta, keuletan pelaku usaha mikro-kecil selama pandemi, pelayanan rumah sakit selama Covid-19, hingga inovasi kesehatan di tengah pandemi. Diskusi-diskusi yang digelar secara daring itu diberi nama Sonjo Angkringan. “Semua orang bebas bergabung dalam diskusi itu,” kata penggagas Sonjo, Rimawan Pradiptyo.
Di Yogyakarta, orang mengenal angkringan sebagai tempat makan dengan gerobak yang diisi makanan berupa nasi dalam bungkus daun dan kertas berukuran mini, sate telur puyuh, tempe goreng, camilan, jahe hangat, dan berbagai jenis minuman lainnya. Orang yang makan di angkringan dengan konsep “merakyat” bebas mengobrol apa pun hingga larut malam.
Sonjo terus membagikan informasi seputar Covid-19. Tengoklah poster bertulisan Sonjo Angkringan #25 bertajuk "Roadmap Yogyakarta Next Wedding Destination". Diskusi ke-25 ini membicarakan peta jalan pernikahan di Yogyakarta. Diskusi yang digelar pada Ahad, 4 Oktober lalu, secara daring ini melibatkan pelaku usaha pengantin, perhotelan, candi, dan travel. Rimawan, selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, didapuk sebagai moderator dalam diskusi itu.
Grup WA Sonjo yang ke-10, yakni Sonjo Wedding dan Wisata, menjadi penanda bahwa komunitas ini sudah berjalan selama enam bulan. Mereka bergabung ke grup tersebut karena ingin mendapatkan dukungan dari Sonjo agar usahanya semakin kuat. Hal ini sejalan dengan deklarasi DI Yogyakarta sebagai the next wedding destination. “Kami mendukung virtual wedding karena sejak awal terbukti mampu menggerakkan roda perekonomian dengan tetap patuh pada protokol Covid-19,” ujar Rimawan.
Ke depan, Rimawan mendorong agar pelaku usaha mikro-kecil terus berinovasi, misalnya dalam pengemasan produk, pemasaran, dan penciptaan produk baru di tengah pandemi. Bisnis usaha mikro, menurut Rimawan, kini mulai berubah di tengah pandemi. Transaksi yang mereka jalankan berubah dari fisik ke daring. “Mereka kolaps karena pandemi. Tapi keuletan dan inovasi membuat mereka bertahan,” kata dia.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo