MONOPOLI AS sebagai peluncur satelit komunikasi RI mendapat tantangan serius. Bukan mustahil Palapa B2R akan diluncurkan dengan roket berlambang bintang merah milik RRC. Bahkan bila rencana berjalan mulus -- peluncuran generasi berikutnya munkin dilakukan dari Indonesia. Paling tidak, begitulah yang terkesan dari ucapan Menteri Parpostel A. Tahir, Senin pekan ini, di kediaman Presiden Soeharto di Cendana, Jakarta. Menteri Tahir berada di kediaman Kepala Negara untuk melaporkan keadaan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. Antara lain tentang hasil kunjungan tim teknis Indonesia ke RRC, 15-23 Juli lalu, untuk menjajaki kemungkinan peluncuran Palapa B2R oleh negeri itu. Tim ini -- yang karena alasan politis terdiri dari ahli teknis yang bukan pejabat tinggi -- menurut Menteri, berpendapat roket jenis Long March 3 RRC memang mempunyai kemampuan untuk meluncurkan Palapa B2R ke orbitnya. Bahkan ia juga melaporkan kemungkinan dibangunnya pusat peluncur satelit komersial di Indonesia. Bagi pengamat perkembangan telekomunikasi Indonesia, berita ini tak mengejutkan betul. Pasalnya, pihak RRC memang telah secara terbuka mengajak Indonesia bekerja sama di bidang ini sejak Januari tahun lalu. Yakni ketika seorang pejabat tinggi kementerian penerbangan dan ruang angkasa negara ini, Yu Ke Li, mengajak Indonesia dan Singapura membangun sebuah tempat peluncuran satelit bersama (TEMPO, 1 Februari 1986). Yu Ke Li bahkan telah mengungkapkan bahwa Indonesia adalah tempat yang paling cocok untuk pusat peluncuran ini. Maklum letaknya di garis khatulistiwa, tempat yang paling cocok untuk meluncurkan satelit komunikasi "geostationer" semacam Palapa. Ajakan Yu Ke Li mulanya tak mendapat respons yang hangat. Tetapi serentetan nasib buruk yang menimpa SKSD Palapa membuat pihak Indonesia merasa perlu mengkaji tawaran ini lebih serius. Soalnya, setelah B2R gagal mengorbit pada 1984, Palapa B1 -- yang tinggal sendirian di ruang angkasa ikut-ikutan teler pada Agustus 1985, hingga umur satelit ini berkurang dua tahun. Lantas usaha meluncurkan Palapa B2P sempat terkatung-katung akibat meledaknya pesawat ulang alik Challenger, Januari tahun lalu. Hanya melalui permintaan langsung Presiden Soeharto kepada Presiden Reagan, April 1986, akhirnya Palapa B2P dapat diorbitkan, Maret silam. Artinya, SKSD Palapa kembali memiliki sepasang satelit di orbitnya masing-masing. Kendati demikian, pemerintah Indonesia belum bisa bernapas lega. Hingga sekarang pun wahana peluncur satelit AS dan Eropa belum pulih dari kelumpuhannya. Sekadar pengingat, Roket Ariane terakhir yang diluncurkan, Juni 1986, terpaksa diledakkan karena kehilangan kontrol. Belum jelas kapan peluncuran berikutnya dapat dilakukan. Alhasil Palapa B2R, yang sempat dimiliki konsorsium asuransi setelah gagal diluncurkan itu, dibeli oleh pemerintah Indonesia melalui Sattel, anak perusahaan kelompok Bimantara di AS. Penggunaan jasa perantara ini meyebabkan badan ruang angkasa AS (NASA) repot. Soalnya, berdasarkan ketetapan Presiden Reagan yang dikeluarkan setelah musibah Challenger terjadi, instansi ini tak diperkenankan lagi meluncurkan satelit komersial. Sedangkan Sattel terdaftar resmi sebagai perusahaan swasta komersial. Maka, untuk mengatasi masalah ini, pihak Perumtel pun segera secara resmi menandatangani kontrak pembelian B2R dari Sattel tahun ini. Selain itu, Indonesia pun mulai melirik ke kanan dan ke kiri untuk mencari wahana peluncur di luar AS. Kebetulan masuk dua tawaran: dari Rusia dan dari Yu Ke Li (RRC). Tawaran dari Rusia sebenarnya lebih menarik. Selain meluncurkan satelit, pemerintah Uni Soviet juga menawarkan untuk mengorbitkan Dr. Pratiwi Soedarmono calon astronaut RI yang tertunda mengangkasanya akibat peristiwa Challenger -- ke angkasa luar, sebagai kosmonaut. Sedangkan pihak RRC, yang sudah meluncurkan hampir 20 satelit dengan sukses, belum mampu mengorbitkan antariksawan. Namun, RRC tampaknya punya lurus simpanan. Pelacakan wartawan TEMPO di Washington, DC menyimpulkan: kementerian luar negeri AS tampaknya keberatan jika satelit buatannya diluncurkan Rusia. Bahkan sehari setelah Vladimir Semenov, Dubes Uni Soviet di Jakarta, menyampaikan tawarannya pada pemerintah RI, Kedubes AS langsung mengirim surat ke alamat yang sama. Isinya menyatakan bahwa komitmen meluncurkan Pratiwi sebagai astronaut RI pertama tetap dipegang teguh. Hingga peluang RRC tampaknya memang lebih unggul. Apalagi Presiden Soeharto telah menunjuk Menteri B.J. Habibie untuk menggarap proyek peluncuran satelit bersama itu, yang menurut Yu Ke Li bernilai sekitar 00 juta dolar. Soal hambatan politik karena tak adanya hubungan diplomatik pun tak terlalu dipermasalahkan Yu Ke Li. "Kerja sama bisnis 'kan bisa dilakukan," katanya kepada wartawan kantor berita Reuters. Bila semuanya berjalan lancar, kuat dugaan Indonesia akan enyediakan lahan dan bangunan fisik pusat peluncur satelit bersama ini serta perangkat stasiun bumi komunikasi satelitnya. Memang masih terlalu pagi untuk menduga kawasan mana yang akan sesuai untuk proyek ini. Namun, biasanya dipilih tempat di tepi laut. Siapa tahu namanya nanti adalah "Cape Indonesia"?. Kendati Menteri Tahir menyatakan bawa pusat peluncuran ini dimaksudkan sematamata untuk mengorbitkan satelit komersial, diduga ada juga tujuan nonkomersial di baliknya. Boleh diingat, seperdelapan dari garis khatulistiwa -- satu-satunya tempat bagi satelit jenis geostationer mengorbit berada di atas wilayah Indonesia. Adakah ini berarti Indonesia akan segera menyatakan cincay pada Yu Ke Li?. Tampaknya, tidak. Kebijaksanaan "jual mahal" agaknya sedang dilakukan RI. Terbukti tim yang sama akan segera berkunjung ke negeri Gorbachev, 24 Agustus ini. Maklum, kita sedang di atas angin. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini