Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Karena tak paham orang madura

Ternyata ada berbagai kelemahan dilakukan aparat pemerintah, yang menyebabkan meletusnya peristiwa sampang. huru-hara terjadi, sejumlah nyawa melayang. akhirnya abri yang kena getah. mengapa bisa terjadi?

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

''SEBAGAI orang Madura, saya prihatin,'' kata Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Mayor Jenderal TNI R. Hartono. Seusai salat Jumat di kantornya, di kawasan Kebon Sirih, Jakarta, pekan lalu, bekas Pangdam V Brawijaya yang dikenal merakyat dan amat akrab dengan para kiai itu menerima Wahyu Muryadi dari TEMPO. Berikut kutipan wawancara itu: Kenapa ABRI mesti melakukan penembakan di Sampang? Itu bukan berarti gambaran secara umum tentang perilaku dan kebijaksanaan ABRI. Kami tak pernah berubah, dan kualitasnya tetap seperti yang diharapkan. Hanya, mungkin dengan adanya kasus itu, ABRI harus lebih hati-hati. Kami mengambil hikmah dari peristiwa yang mencoreng nama ABRI. Bagaimana sebaiknya pendekatan ABRI untuk menghadapi kasus seperti ini? Kami tak bisa menerapkan satu jenis pola pendekatan (baku). Sebab, pada waktu tertentu, memerlukan pola tersendiri. Katakanlah sekarang, pada tahun 1993, polanya tak bisa memakai pola tahun 1970-an. Maka, penanganan pada masalah yang menyangkut keamanan, bentuknya harus berubah. Tapi bukan berarti tuntutan keamanan tidak diperlukan. Maksud Anda, apakah sudah saatnya pola security approach diubah? Security approach kan diartikan seolah setiap masalah yang dihadapi mengedepankan soal keamanan. Bagi saya sendiri, pola ini memang sudah makin berkurang karena persoalan seperti itu sudah makin tak ada. Tetapi, setiap langkah, sipil maupun ABRI, tentunya ada tuntutan keamanan. Tak usahlah manusia. Wong binatang saja langkahnya tanpa sadar memasukkan aspek keamanan. Kenapa pola pendekatan ABRI kok kelihatannya sama: main gebuk? Tengok saja peristiwa Tanjungpriok, Aceh, Lampung, Dili, Haur Koneng, dan Sampang. Sebentar dulu kalau contoh Lampung. Supaya lebih objektif, persoalan ini hendaknya dinilai tak cukup hanya dengan melihat langkah tindakan ABRI. Kalau hanya melihat: lo kok sama saja Lampung dan Tanjungpriok? Untuk bisa tahu jawabannya, masuklah pada persoalannya sehingga akan terjawab langkah ABRI saat itu memang harus begitu, karena dipaksa keadaan, demi rakyat Indonesia. Jadi, apakah tindakan represif itu mutlak? Tentu, setelah melalui berbagai pertimbangan, ABRI akan sampai pada keputusan itu. Jadi, tak main geruduk begitu. Kita kan sudah dilatih secara cepat menilai situasi. Terjadinya situasi itu bukan tak dicermati jauh-jauh hari. Dan kita coba untuk sejauh mungkin menangkal jangan sampai terjadi. Kalau sampai represif, itu karena memang harus demikian. ABRI selalu berpikir dan bersikap: tindakan represif adalah alternatif terakhir. Kasus Lampung, misalnya. Setiap unsur ABRI selalu akan mulai dari langkah-langkah yang tak berbau kekerasan. Kasus Nipah ini pengecualian. Kami sebenarnya tak asal main hantam. Apakah dalam beberapa peristiwa tadi Anda melihat ABRI melakukan kesalahan? Pada kasus, katakanlah, Lampung dan Tanjungpriok, sepengetahuan saya, tak tampak adanya kesalahan yang dibuat dalam perencanaan tugas-tugas ABRI. Tapi saya kan tak berada di tempat itu. Hanya, saya berkeyakinan setiap langkah yang diambil saat itu tentunya dengan pertimbangan yang matang. Kalau tidak, kan nama ABRI tercemar. Bagaimana dengan peristiwa Haur Koneng dan Sampang? Jangan dirangkaikan, lo. Setiap kasus itu berbeda-beda, baik persoalan maupun penyebabnya. Haur Koneng kan persoalannya tak sesederhana yang ditulis. Penanganannya mau tak mau memang harus begitu. Kalau peristiwa Madura, saya ikuti melalui koran. Sebab, kami (ketika menjadi Pangdam Brawijaya Red.) bersama pimpinan sipil pernah menciptakan situasi yang tenang. Tentunya hasil itu kan dapat dilihat pada sebagian besar masa tugas saya di sana. Kalau sampai timbul begitu, mesti ada sesuatu yang perlu dicermati lagi. Karena di sini saya melihatnya seolah aparat keamanan yang salah. Oke dalam penembakan nanti akan ketemu siapa yang salah, tetapi sampai meletusnya peristiwa itu, apakah benar aparat keamanan yang salah. Kami kan ibaratnya pemadam kebakaran. Keliru memadamkan, malah disalahkan. Lo, kok? Padahal yang menyebabkan siapa? Harus diteliti. Apakah peristiwa Sampang terjadi karena aparat tak paham kultur Madura? Mbok ya kita tahu, orang Madura itu, lewat halaman tak bilang assalamualaikum, bisa dilempar arit. Apalagi eokor (diukur) tanahnya. Korangajer oreng jeriye (kurang ajar orang ini Red.). Kalau tidak, mungkin dilempar batu. Apalagi mau diukur, kan terbaca, sudah mau diambil tanahnya. Wong tanah mereka, patut dimengertilah. Saya tahu Madura karena saya orang Madura. Bukannya orang Madura tak butuh pembangunan. Asalkan diberi tahu dengan jelas, tentu rakyat akan mendukung. Kalau sudah begini, akhirnya yang disalahkan anak-anak yang nembak. Tapi kan tak boleh dilihat dari peristiwa itu saja. Bagaimana dengan tuntutan dibentuknya tim pencari fakta untuk peristiwa Tanjungpriok? Saya tak bisa komentar karena tak tahu peristiwa sesungguhnya. Selama cara penyampaiannya benar dan tak menimbulkan permasalahan baru, saya yakin, kalau berdasarkan kenyataan, Pemerintah akan menanggapi tentunya. Kalau cuma isapan jempol, ya, untuk apa? Tapi kalau ada bukti-bukti, kenapa tidak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus