Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kasus Dharmasraya, Ratu Hemas: Tak Boleh Ada Pelarangan

Ratu Hemas menyesalkan kasus yang terjadi di Dharmasraya. Ia mengatakan telah menyatakan keberatan soal kasus pelarangan ibadah itu ke Gubernur Sumbar

23 Desember 2019 | 15.36 WIB

Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama di Istana Negara, Jakarta, 15 Agustus 2018. Tempo / Friski Riana
Perbesar
Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama di Istana Negara, Jakarta, 15 Agustus 2018. Tempo / Friski Riana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengecam masih adanya pemerintah daerah yang ikut arus mendukung gerakan mengarah intoleransi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu menyesalkan kasus yang belakangan mencuat seperti pelarangan perayaan Natal yang dialami sejumlah umat Katolik di Dharmasraya, Sumatra Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Soal pelarangan (di Dharmasraya) itu kami sudah protes, seharusnya tidak boleh lagi ada pemerintah provinsi dan kabupaten melarang warga (Kristiani) merayakan Natal,” ujar GKR Hemas di Yogyakarta Senin 23 Desember 2019.

Hemas mengatakan pihaknya pun selaku anggota DPD RI juga sudah menyampaikan keberatannya soal kasus pelarangan ibadah di Dharmasraya itu kepada Gubernur Sumatera Barat. Sebab menurutnya tak boleh ada satu pun daerah di Indonesia melarang warganya merayakan hari raya keagaman dan kepercayaannya.

“Kami sudah sounding soal itu ke Gubernur (Sumbar) , kami peringatkan beliau kalau daerah di Indonesia tak boleh ada pelarangan (perayaan ibadah) seperti itu,” ujar Hemas.

Pemerintah daerah Dharmasraya berdalih tak mengeluarkan larangan itu. Namun mereka meminta umat kristiani di wilayah itu tak melaksanakan ibadah dan perayaan natal di tempat umum bahkan di rumah masing-masing. Padahal tak ada rumah ibadah di tempat itu.

Berdalih kesepakatan bersama warga kristiani dan menghindari konflik horisontal, pemerintah daerah meminta perayaan Natal di Dharmasraya digelar di Sawahlunto yang berjarak 142,5 kilometer (setara Jakarta-Bandung).

Hemas menilai, larangan perayaan Natal bagi warga yang merayakannya di rumah masing-masing sudah jelas tindak intoleran.

“Kalau warga mau merayakan Natal di rumahnya tidak boleh itu namanya dia tidak toleran. Sudah tahu tempat berkumpulnya (untuk merayakan ibadah) jauh kenapa harus dihalangi. Asal ada izin seharusnya perayaan Natal di rumah warga tak masalah,” ujar Hemas.

Ironisnya, saat masih ada bentuk intoleransi terbuka seperti yang terjadi di Dharmasraya itu, pemerintah pusat seolah masih absen.

Menteri Agama Fachrul Razi sebelumnya seolah mengamini larangan ibadah itu karena sudah menjadi kesepakatan warga dan pemerintah setempat.

Adapaun Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menilai jika kesepakatan yang dibuat itu relasinya timpang, maka sebenarnya yang terjadi bukan kesepakatan, melainkan pemaksaan.

“Kesepakatan terjadi ketika relasinya setara. Ditanya dulu apakah ketika kesepakatan terjadi relasinya setara atau timpang," kata Yenny.

Juli Hantoro

Juli Hantoro

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus