Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden akan menjadi bahan bagi wacana menyusun draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Politik.
Alasannya, putusan MK itu muncul ketika ada keinginan DPR merancang omnibus law tersebut. Maka, jika model omnibus law bisa digunakan, poin putusan MK itu akan dimasukkan.
“Maka ya dimasukkan ke situ kalau memang revisi menganut model omnibus law dilakukan,” kata Rifqinizamy saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem itu menuturkan putusan apa pun dari MK bersifat final dan mengikat, yang harus ditindaklanjuti oleh DPR. Sehingga, putusan MK itu pun bakal memunculkan norma baru perihal persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Kami menghormati, menghargai putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus persentase presidential threshold sebagaimana dalam ketentuan undang-undang saat ini,” kata dia.
Rifqinizamy mengatakan DPR bersama pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK tersebut dalam pembentukan norma yang merujuk pada undang-undang terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dia menilai putusan MK tersebut menjadi babak baru dalam lanskap demokrasi konstitusional Indonesia. Sebab, MK membuka ruang bagi calon dari partai mana pun untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
“Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita di mana peluang untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Adapun pasal yang dihapus itu berisi tentang syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Permohonan ini diajukan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Para pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold.
Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama. Idealnya, menurut para pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan.
Namun, dalam kasus ambang batas pencalonan presiden, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.
M Raihan Muzakki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Penjelasan Mahkamah Agung Soal Vonis Ringan Harvey Moeis karena Bersikap Sopan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini