Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kata Waka Banggar DPR dan PDIP Soal Kebijakan PPN 12 Persen

PDIP meminta penerapan PPN 12 persen dikaji ulang. PDIP menyatakan tidak menyalahkan pemerintahan Prabowo soal kenaikan PPN itu.

23 Desember 2024 | 11.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi unjuk rasa Warga Sipil Menggugat di depan Istana Negara, Jakarta, 19 Desember 2024. Aksi damai ini menuntut pemerintah membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. Hal ini dinilai akan memicu lonjakan harga barang dan jasa yang memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Prabowo Subianto memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan tetap berlaku pada 1 Januari 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin, 16 Desember 2024, mengatakan penerapan PPN 12 persen akan dikenakan pada barang dan jasa dalam kategori mewah.

Dia mengklaim, selama ini, barang dan jasa mewah banyak dikonsumsi oleh penduduk kaya dengan pengeluaran menengah ke atas yang masuk dalam kategori desil 9 hingga 10. Kebijakan PPN 12 persen itu mendapat penolakan luas di media sosial.

Wakil Ketua Banggar DPR RI Wihadi Wiyanto: Kebijakan PPN 12 Persen Diinisiasi PDIP

Menurut Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Wihadi Wiyanto, kebijakan kenaikan PPN 12 persen adalah keputusan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Ahad, 22 Desember 2024.

Legislator dari Fraksi Gerindra itu mengatakan Panitia Kerja (Panja) pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP saat itu diketuai oleh Fraksi PDIP. Untuk itu, dia menilai sikap PDIP saat ini terhadap penerapan kebijakan PPN 12 persen sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP.

“Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto),” ujar anggota Komisi XI DPR RI itu.

Dia mengingatkan pihak-pihak tertentu tidak menggiring isu kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo karena kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.

“Jadi, apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” ucapnya.

Sebaliknya, dia menilai sikap PDIP saat ini seperti upaya “melempar bola panas” kepada pemerintahan Presiden Prabowo. “Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka, jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP,” tuturnya.

Wihadi menegaskan Prabowo sedianya sudah “mengulik” kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah, salah satunya dengan menerapkan kenaikan PPN tersebut dikenakan terhadap barang-barang mewah.

“Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo,” ujarnya.

Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus: Yang Mengusulkan Pemerintahan Jokowi

Adapun Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Deddy Yevri Sitorus membantah tudingan fraksi partainya yang mengusulkan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dia mengatakan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP DPR.

Dia mengatakan pembahasan UU itu sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Joko Widodo pada periode lalu. PDIP, kata dia, sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, kemudian ditunjuk sebagai ketua panja.

“Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah dan melalui Kementerian Keuangan,” kata Deddy melalui keterangan tertulis pada Ahad, 22 Desember 2024.

Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi perekonomian Indonesia dan global dalam kondisi yang baik-baik saja. Namun, kata Deddy, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP, meminta penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen dikaji ulang.

Misalnya, seperti daya beli masyarakat yang terpuruk dan badai PHK di sejumlah daerah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini terus melemah. Dengan permintaan itu, kata Deddy, bukan berarti Fraksi PDIP DPR menolak PPN menjadi 12 persen.

“Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” kata dia.

Annisa Febiola dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Respons PBNU dan Pengusaha Muhammadiyah Soal Kebijakan PPN 12 Persen

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus