Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidney Jones*
*) Senior Adviser International Crisis Group, Jakarta
MITOS ini berkembang setelah pengeboman di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton pada 17 Juli lalu. Banyak warga masyarakat rupanya masih yakin Noor Din M. Top adalah agen pemerintah Malaysia yang dikirim ke sini untuk mengacaukan Indonesia. Hal ini memperkuat sentimen anti-Malaysia, apalagi setelah terjadi sengketa Ambalat, beberapa kasus penganiayaan tenaga kerja Indonesia, serta cerita Manohara dan pangerannya yang sadistis.
Tapi mitos ini bisa berbahaya. Sebab, kalau Noor Din kiriman Malaysia, itu berarti orang Indonesia tidak harus bertanggung jawab atas masalah terorisme atau solusinya. Yang memegang keyakinan ini juga tidak mengerti atau tidak mau mengerti bahwa akar terorisme adalah sebuah ideologi yang melintasi perbatasan negara. Noor Din bisa saja merupakan teroris yang paling berbahaya di Indonesia hari ini. Tapi, kalaupun nanti dia ditangkap, itu bukan lantas berarti masalah terorisme sudah selesai. Apalagi kalau dia berhasil membuka jaringan internasional.
Noor Din, yang memang dulu bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI), tidak lagi bergerak atas nama JI, dan pengeboman pada 17 Juli lalu itu tidak dilaksanakan oleh organisasi tersebut. Noor Din sekarang ini menjadi pemimpin suatu kelompok sempalan yang dengan sengaja meniru Al-Qaidah dari segi ideologi, sasaran, dan propaganda. Yang harus dipertanyakan: apakah Noor Din hanya meniru, atau dia mempunyai afiliasi struktural dengan kelompok yang didirikan Usamah bin Ladin itu?
Pengaruh Al-Qaidah terhadap Noor Din memang kuat. Dia bergabung dengan JI pada 1998, pada waktu Mantiqi I, sebuah divisi dalam JI yang wilayah operasinya meliputi Singapura dan Malaysia, sudah mencapai puncak kekuatannya. Pada saat itu juga Usamah bin Ladin memproklamasikan fatwa perang terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, entah sipil atau militer, di mana pun mereka berada.
Menurut fatwa tersebut, sudah wajib—fardhu ’ain—bagi semua orang Islam untuk ikut jihad tersebut. Di bawah pimpinan Hambali (sekarang ditahan di penjara Guantanamo oleh Amerika Serikat) dan kemudian Mukhlas (dieksekusi pada November tahun lalu di Nusakambangan), Mantiqi I adalah bagian JI yang paling bersemangat untuk jihad global. Anggotanya bukan warga negara Indonesia saja, tapi juga orang Singapura dan Malaysia, walaupun semua petingginya orang Indonesia.
Janganlah Anda pikir bahwa Noor Din-lah yang mencuci otak orang Indonesia di Johor. Justru sebaliknya. Hambali, orang Cianjur, adalah anggota Mantiqi I yang melakukan komunikasi langsung dengan Al-Qaidah. Dialah yang mengatur latihan khusus tentang teknik pengeboman untuk Dr Azahari, yang tewas di Batu, Jawa Timur, pada 2005, dan Fajar Taslim, orang Singapura yang baru divonis 18 tahun penjara atas perannya di kelompok Palembang. Keduanya pernah dikirim ke Afganistan pada 1999 dan 2000.
Hambali jugalah yang mendorong pendirian kelompok sel Al-Ghuraba di Karachi, Pakistan, pada 1999-2003. Sel dalam kelompok tersebut terdiri atas warga negara Indonesia, termasuk adik Hambali sendiri, dan orang Malaysia yang sebagian besar merupakan anak atau adik anggota Mantiqi I. Al-Ghuraba dekat dengan suatu kelompok serupa yang terdiri atas mahasiswa Thailand Selatan di Karachi. Jadi, sudah berkembang suatu hubungan yang bersifat regional.
Anggota Mantiqi I berbeda orientasi dengan Mantiqi II. Mereka selalu lebih tertarik oleh ideologi Al-Qaidah dibandingkan dengan teman-teman di Mantiqi II (meliputi Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara Barat), yang lebih terfokus pada konflik di Ambon dan Poso. Mereka juga lebih terfokus pada Daulah Islamiyah Nusantara—atau Negara Islam di Asia Tenggara—daripada teman-temannya di Jawa yang sudah yakin Negara Islam Indonesia harus didirikan lebih dulu.
Dalam deklarasi pertanggungjawaban atas pengeboman Bali II pada 2005, Noor Din menandatanganinya atas nama ”Pimpinan Tandzim Qoidatul-Jihad untuk Gugusan Kepulauan Melayu”, suatu formulasi yang lebih mirip bahasa Malaysia daripada bahasa Indonesia. Walau bagaimanapun, ”Gugusan Kepulauan Melayu” menunjuk ke suatu daerah yang sedikitnya meliputi Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, dan Indonesia.
Pada saat itu, sudah ada indikasi bahwa tim Noor Din-Azahari punya hubungan tidak langsung dengan orang JI yang jadi buron di Mindanao, Filipina Selatan. Masuk dalam kelompok buron ini Umar Patek dan Dulmatin—keduanya warga Indonesia—dan seorang Malaysia bernama Marwan, yang punya adik ipar bernama Dani, pelaku bom Plaza Atrium pada 2001. Mereka bisa berkomunikasi melalui orang-orang dan aktivis KOMPAK yang sering bolak-balik.
Mungkin juga ada hubungan finansial dengan Johor yang tetap dipertahankan Noor Din dan Azahari setelah melarikan diri ke Indonesia. Seorang Indonesia yang melindungi Azahari pada 2005 di Jawa mengatakan kepada polisi bahwa Noor Din dan Azahari mengantisipasi sumbangan dari kawan-kawan mereka yang kaya di Malaysia. Di lingkaran mereka, rupanya, orang Malaysia dilihat cukup mampu atau berduit, sedangkan orang Indonesia sama sekali tidak.
Dalam hubungan regional, kemungkinan besar ada kontak sporadis antara Noor Din dan lima anggota JI dari Singapura, termasuk Mas Selamat Kastari, yang lari dari Singapura ke Indonesia pada akhir 2001 (beberapa minggu sebelum Noor Din sendiri). Baru-baru ini ada laporan di media bahwa satu di antara lima orang itu, Hendrawan alias Husaini, yang ditangkap Juni lalu, didekati oleh Noor Din dan dimintai uang.
Kalau benar bahwa Noor Din, pada 2005, menamakan dirinya sebagai Al-Qaidah ”untuk Gugusan Kepulauan Melayu”, mengapa di dalam blog yang dikeluarkan empat tahun kemudian, yaitu dalam http://mediaislam-bushro.blogspot.com, hanya menyebut ”Al-Qo’idah-Indonesia”? Kalau blog itu benar dari kelompok Noor Din, ada beberapa kemungkinan. Bisa jadi ruang gerak Noor Din terbatas, sehingga tidak mungkin menjangkau ke luar Indonesia. Atau ada orang lain yang mewakili Al-Qaidah di negara-negara tetangga, jadi terpaksa Noor Din mengurangi ”sphere of influence”-nya.
Pernyataan tentang ”jihad” di Thailand Selatan muncul di beberapa situs blog di Indonesia dan Malaysia, pada April dan Agustus 2008, termasuk http://pintusyurgadipattani.blogspot.com. Pernyataan ini atas nama Khattab Media Publication dan ditandatangani oleh Abu Ubaidah (Hafizahullah), ”Muhajir dan Mujahid Pattani Darussalam Merangkap Jeneral Awwal Majlis Asy-Syura Al-Mujahidin, Tandzim Al-Qaeda Bahagian Asia Tenggara”. Anggota lain terdiri atas Abu Ukkasyah al-A’rabi sebagai amir majelis, Imam Waqqas sebagai wakilnya, dan Abu Abdillah sebagai ”jeneral kedua”.
Jika dilihat dari aspek bahasanya, tampak bahwa pernyataan ini rupanya berasal dari seorang Malaysia yang sudah ”hijrah” ke Thailand. Tapi, setelah Agustus 2008, tiba-tiba tidak ada posting lagi. Tidak pernah jelas apakah Al-Qaidah Asia Tenggara betul-betul eksis. Kalaupun ada, apakah ada hubungan dengan Noor Din. Salah satu kemungkinan adalah kelompok Abu Ubaidah meminjam nama Al-Qaidah hanya karena setuju dengan ideologi Usamah, bukan karena mereka di bawah wewenang petinggi Al-Qaidah pusat.
Meski bisa saja terjadi, tidak ada satu titik pun bukti bahwa Noor Din dan beberapa orang Asia Tenggara lainnya sudah dibaiat sebagai anggota Al-Qaidah. Afiliasinya betul-betul struktural. Salah satu pertanyaan yang tidak pernah dijawab adalah soal identitas seorang Aljazair, bernama Jakfar, yang pada akhir 2007 dan awal 2008 berada di Jakarta.
Jakfar inilah yang pada awal 2008 mendampingi dua petinggi JI ke Kuala Lumpur. Dia memberikan tiket pesawat dengan tujuan Damaskus, Suriah, kepada mereka dan dua paspor palsu. Sehari kemudian, orang JI ditangkap dan si Jakfar menghilang. Kecurigaan beredar bahwa Jakfar adalah orang Afrika Utara yang berafiliasi ke AQIM, Al-Qaeda in the Islamic Maghreb, tapi tidak ada yang tahu secara pasti.
Jawaban yang lebih konkret mungkin bisa diperoleh setelah sumber dana untuk pengeboman 17 Juli dibongkar. Kalau semua dananya didapat dari perampokan dan sumbangan lokal, makin besar kemungkinan bahwa Noor Din hanya berbicara alias mengaku-aku ada kaitan dengan Al-Qaidah, padahal tidak punya hubungan langsung.
Namun, kalau dananya benar dari luar, implikasinya lebih serius. Ini berarti, untuk pertama kalinya sejak bom Marriott I pada 2003, Noor Din berhasil menarik uang dari asing. (Pada 2003, Hambali-lah yang mengatur dana yang dikirim dari Pakistan ke Thailand, yang terus dibawa dalam bentuk kontan ke Indonesia oleh seorang kurir Malaysia.)
Kalau dananya berasal dari Pakistan, bisa berarti lain. Hubungan dengan negeri itu, yang hampir terputus setelah Hambali ditangkap di Bangkok dan Al-Ghuraba terbongkar pada 2003, sudah dipulihkan kembali. Dengan begitu, ada beberapa penafsiran, dan semuanya buruk: bahwa Al-Qaidah pusat kini lebih peduli terhadap Asia Tenggara, setelah lama sekali lebih terfokus ke Eropa, Afrika Utara, dan Asia Selatan; bahwa ada channels yang sampai sekarang belum terdeteksi antara Pakistan-Afganistan dan Asia Tenggara; dan bahwa kalaupun Noor Din tertangkap, orang-orang Al-Qaidah pusat mungkin akan tetap mencari mitra lain di Indonesia.
Benarkah demikian? Saat ini semuanya masih spekulasi. Investigasi terhadap pengeboman di dua hotel mewah itu masih pada tahap awal, dan kita tidak tahu akan berakhir di mana. Mungkin saja kelompok Noor Din terdiri atas anak-anak baru, dengan uang relatif sedikit, dan melakukan teror atas kemauan dia saja. Namun, kalau ternyata dia sudah main di atas pentas yang lebih besar, itu berarti ada indikasi bahwa pengeboman macam ini bukan yang terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo