Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Kekerasan Seksual Dokter Residen Unpad, IDI Sebut karena Lemahnya Pengawasan

IDI menyebut lemahnya pengawasan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin

12 April 2025 | 23.11 WIB

Polda Jabar saat menghadirkan tersangka berinisial PAP atas kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat, 9 April 2025. ANTARA/Rubby Jovan
Perbesar
Polda Jabar saat menghadirkan tersangka berinisial PAP atas kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat, 9 April 2025. ANTARA/Rubby Jovan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menyatakan keprihatinan mendalam atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter residen Universitas Padjadjaran (Unpad) Priguna Anugerah Pratama terhadap pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat. Ia menyebut kurangnya pendampingan dokter senior dan lemahnya pengawasan rumah sakit sebagai faktor penyebab yang harus ditelisik lebih lanjut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menurut Slamet, dalam standar operasional prosedur (SOP) rumah sakit, dosen residen tidak dibenarkan mengambil tindakan medis, termasuk memindahkan pasien atau mengambil obat bius, tanpa didampingi oleh tenaga medis lain.

“Semua SOP itu harus ada orang lain. Entah itu seniornya, atau perawat, atau yang lainnya itu harus ada. Obat itu dari mana dia dapatnya, itu harus tahu,” kata Slamet saat ditemui usai acara Pelantikan Pengurus IDI 2025-2028 di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu, 12 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menekankan seluruh tindakan medis, termasuk pengambilan satu obat harus dilakukan dengan pendampingan dan harus tercatat sesuai aturan akreditasi rumah sakit. SOP tersebut, kata Slamet, merupakan bentuk perlindungan terhadap pasien dan tenaga medis sendiri.

Lebih lanjut, Slamet menyebut lemahnya pengawasan sebagai akar dari berbagai pelanggaran serius dalam pelayanan kesehatan. “Pengawasannya kurang melekat. Harusnya, ya mohon maaf, yang namanya rumah sakit kan seperti itu (SOP-nya),” katanya.

Pembatasan Jam Kerja

IDI, menurut Slamet, juga mendorong pembatasan jam kerja bagi para residen menjadi maksimal 40-50 jam per minggu, menyesuaikan standar yang ada di Eropa. Ia menyebut kelelahan akibat jam kerja panjang menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada munculnya kekerasan, bullying, hingga potensi tindakan kriminal.

“Kalau dibatasi jam kerja, dia nggak lelah, nggak ada kesempatan. Itu saya kira mengurangi sekali tindakan-tindakan kriminal seperti itu,” ujarnya.

IDI pun menyerukan agar pihak-pihak yang terlibat, termasuk manajemen rumah sakit, turut dievaluasi dan dijatuhi sanksi apabila terbukti membiarkan pelanggaran SOP terjadi. Slamet menyampaikan prinsip IDI adalah tidak menolerir pelanggaran etika dan mendorong penegakan hukum secara tuntas.

Tempo telah berupaya menghubungi pihak humas dari Rumah Sakit Hasan Sadikit (RSHS), baik melalui aplikasi perpesanan maupun sambungan telepon. Namun, hingga berita ini ditulis, pihak humas dari RSHS belum memberikan respons.

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta pada 2019. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus