Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN baju berlumuran darah, Brigadir Dua Ifan Muhammad Saifuloh Pelupessy terbirit-birit meninggalkan Rusun Flat Densus 88 Polri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia berlari menjauh dari tubuh Brigadir Dua Ignatius Dwi Frisco Sirage yang meregang nyawa. Dinihari itu, Ahad, 30 Juli lalu, Ifan, personel Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Kepolisian RI, baru saja menembak juniornya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ifan kemudian bergegas menuju kamar mandi. Ia kembali dengan baju yang tak bernoda darah. Aksi Ifan terlihat dalam rekaman kamera pengawas (CCTV). Ketika ia kabur, waktu di rekaman CCTV menunjukkan pukul 01.43.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Resor Bogor memperlihatkan rekaman tersebut saat gelar perkara yang diikuti tim dokter dan Pusat Laboratorium Forensik pada Selasa, 1 Agustus lalu. Pimpinan Komisi Kepolisian Nasional serta keluarga korban yang didampingi tim pengacara juga hadir dalam pertemuan di Markas Polres Bogor itu.
Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Rio Wahyu Anggoro mengatakan Ignatius tewas akibat peluru yang menembus telinga kanan hingga tengkuknya. Peristiwa itu terjadi tak lama setelah Ifan masuk ke ruang asrama pada pukul 01.40. “Ada durasi 3 menit 53 detik,” ujar Rio.
Ifan dan Ignatius sama-sama bertugas di satuan elite Polri, Detasemen Khusus 88 Antiteror. Keduanya ditempatkan di Sub-bagian Tahanan dan Barang Bukti Bagian Operasional Densus 88. Meski bertugas di tempat yang sama, mereka nyaris tak berteman dan sering berkonflik.
Rio bercerita, lima jam sebelum Ignatius tewas, Ifan menenggak minuman keras bersama dua rekannya yang juga berpangkat brigadir dua, Alfanugi Kurniawan dan Achmad Yunizar. Forum gelar perkara mengungkap, Ifan meminjam telepon seluler Alfanugi untuk menghubungi Ignatius agar segera menemuinya. Ia disebut-sebut berbicara dengan nada kasar.
Di hadapan Alfanugi dan Achmad, Ifan kemudian memamerkan senjata api jenis FN. Setelah memasang magasin, ia memasukkan pistol itu ke tasnya. Pukul 01.40, ketiganya menyambangi Ignatius di ruang asrama Densus 88.
Menurut Rio, Ifan kemudian mengeluarkan pistol FN dari tasnya dan menunjukkan kepada Ignatius. Ia mengayunkan senjata itu ke arah kepala Ignatius. Lalu, dor! Moncong pistol menyemburkan peluru berkaliber 45 milimeter. Ifan panik melihat Ignatius rebah. “Dia sempat berusaha kabur, tapi ditangkap rekan-rekannya,” ucap Rio.
Baca: Bagaimana Jamaah Islamiyah Menyusup ke Berbagai Institusi?
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Surawan menyatakan kematian Ignatius terjadi karena faktor kelalaian. Polisi masih menelusuri motif jual-beli senjata api ilegal yang diduga melatari penembakan itu. Sebab, pistol yang digunakan Ifan adalah rakitan. Pemiliknya Brigadir Kepala IG, rekan Ifan. “Keduanya berstatus tersangka,” kata Surawan.
Keluarga Ignatius ragu terhadap kesimpulan polisi yang menyebut unsur kelalaian sebagai penyebab kematian. Pengacara keluarga korban, Jajang, menilai pistol Ifan tak akan meletus jika belum terkokang. Ia menganggap Ifan sebagai personel pasukan antiteror pastilah cakap menggunakan senjata. “Dalam rekaman CCTV, dia tak terlihat seperti sedang mabuk,” ujarnya pada Kamis, 3 Agustus lalu.
Prosesi pemakaman Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage di Melawi, Kalimantan Barat, 26 Juli 2023. Dok. Facebook/Putri Juang Melawi
Jajang meyakini Ifan telah merencanakan pembunuhan sebelum mendatangi Ignatius. Apalagi gesekan keduanya berlangsung sejak awal tahun ini. Menurut Jajang, meski sama-sama berpangkat brigadir dua, Ignatius yang lebih junior kerap dianiaya oleh Ifan jika tak mengikuti kehendak seniornya itu.
Ignatius pun kerap mengeluhkan perlakuan Ifan kepada orang dekatnya. Salah satu tempat curhat dia adalah pacarnya, Claudia Tesa. Jajang bercerita, Ignatius mengatakan kepada Claudia bahwa ia berulang kali mengalami penyiksaan. Bahkan Ignatius pernah menjalani perawatan di rumah sakit karena perlakuan Ifan.
Pada 13 Juni lalu, kata Jajang, Ignatius mengirim pesan kepada Claudia. Isinya menunjukkan bahwa ia sudah tak tahan dengan intimidasi dari seniornya. “Jika Tuhan sayang Abang, mungkin Dia akan panggil Abang sekarang juga,” ucap Jajang menirukan isi pesan pria yang lahir di Melawi, Kalimantan Barat, itu.
Pun keluarga Ignatius mencium gelagat tak beres di balik penembakan itu. Pada Ahad pagi, setelah Ifan menembak juniornya, ayah Ignatius, Yulius Pandi, dua kali menerima panggilan telepon dari orang yang mengaku mewakili Rumah Sakit Polri Dr Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, dan dari Kepolisian Resor Melawi. Keduanya meminta Yulius segera ke Jakarta karena putranya sakit keras.
Padahal Ahad pagi itu jasad Ignatius sudah membujur di kamar mayat Rumah Sakit Polri Dr Sukanto. “Sedari awal ada indikasi polisi ingin menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya,” ujar Jajang.
Baca: Benarkah Ada Pegasus di Mabes Polri?
Juru bicara Detasemen Khusus 88, Komisaris Besar Aswin Siregar, enggan meladeni permohonan wawancara Tempo. “Silakan tanya Divisi Humas Mabes Polri,” tuturnya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan mengatakan penyidik masih mengembangkan penyidikan kasus tewasnya Ignatius.
Pada Kamis, 10 Agustus 2023, Ahmad mengirimkan hak jawab dan menyatakan bahwa korban dan pelaku bukan anggota Korps Brimob Polri, melainkan Densus 88 Polri. Menurut dia, penembakan itu terjadi di Rusun Flat Densus 88 Polri. "Perbedaan lokasi ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan penafsiran yang keliru," kata Ahmad.
Seorang narasumber di kepolisian bercerita, Ifan ditengarai terlibat dalam bisnis jual-beli senjata. Penyidik Polri tak hanya mengusut dugaan perdagangan senjata, tapi juga penyalahgunaan barang bukti lain. Penyidik mendapat informasi bahwa Ifan juga mengkomersialkan barang bukti dalam kasus pidana selain terorisme. Ada kemungkinan, kata narasumber itu, perbuatan Ifan mendapat restu dari perwira yang lebih tinggi pangkatnya.
Tak hanya menjalani proses pidana, Ifan juga menghadapi sidang Komisi Kode Etik Polri. Pada Jumat, 4 Agustus lalu, sidang yang digelar Divisi Profesi dan Pengamanan itu berujung pada keputusan penjatuhan sanksi administratif.
Kepala Biro Pengawasan, Penyidikan, dan Pembinaan Profesi Divisi Profesi Pengamanan Polri Brigadir Jenderal Agus Wijayanto, yang memimpin sidang itu, merekomendasikan Ifan diberhentikan dengan tidak hormat. “Pelaku terbukti melakukan tindakan tercela,” ucap Ahmad Ramadhan.
Dalam gelar perkara itu disebutkan bahwa Ifan mengaku mengajak Ignatius berjualan senjata api. Namun keluarga meyakini pengakuan itu sebagai kebohongan. Pengacara keluarga Ignatius, Jajang, meyakini Ignatius pasti menolak tawaran tersebut. “Kami berharap kasus ini bisa diungkap secara terang benderang,” ujarnya.
Baca Wawancara Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas: BNPT dan Densus 88 Seperti Beternak Terorisme
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, meminta polisi bersikap profesional dan transparan dalam mengusut kasus yang melibatkan personel Densus 88 itu. Poengky mengatakan Kompolnas ikut menelusuri dugaan perdagangan senjata api yang diduga melatari pembunuhan tersebut. “Kami membentuk tim penyelidikan yang dipimpin langsung oleh Ketua Kompolnas,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M. Sidik Permana dari Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pistol Ilegal di Asrama Brimob".
Catatan redaksi: artikel ini mengalami perubahan pada Kamis, 10 Agustus 2023 pukul 19.52. Yaitu dengan menambahkan hak jawab dari Kepala Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan soal status pelaku dan korban yang bukan anggota Brimob melainkan Desnsus 88. Ahmad juga menyatakan bahwa lokasi penembakan bukan di ruang asrama Resimen I Brigade Mobil, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melainkan Rusun Flat Densus 88 Polri.