Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah sekilas gambaran upacara adat seren taun yang berlangsung di Desa Cigugur, 30 kilometer dari ibu kota Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, akhir Maret lalu. Panggung berpusat di Paseban Tri Panca Tinggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, tetua adat Cigugur. Nur, 60 tahun, penganut agama Sunda yang menyaksikan upacara itu sembari meneteskan air mata. ''Saya pikir sudah tidak mungkin melihat yang seperti ini lagi," kata Nur pelan.
Upacara adat semacam itu memang tak lagi dilakukan warga Cigugur sejak Pemerintah Daerah Jawa Barat melarangnya pada 1982. Oleh Pemda, upacara itu dinilai berbau ''aliran kepercayaan". Baru beberapa tahun ini, setelah rezim Orde Baru tumbang, upacara itu kembali dilaksanakan. Orang seperti Nur tampaknya merasakan drama pahit di belakang ketersingkiran tradisi tersebut dan karenanya upacara itu menyentuh hatinya. Apalagi acara itu, selain meriah oleh ratusan pengunjung dan kehadiran pejabat daerah, juga istimewa karena Sekretaris Negara dan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan, Ir. Bondan Gunawan, ikut hadir.
Seren taun adalah upacara adat masyarakat agraris Sunda. Upacara untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa itu mentradisi di daerah Lebakcaweneh (sekitar Banten), Citorek, dan beberapa desa sekitar Gunung Halimun Sukabumi, juga beberapa desa di Bogor. Di beberapa tempat, waktu pelaksanaan seren taun disesuaikan dengan masa panen. Sedangkan di Cigugur, upacara itu dilaksanakan setiap tanggal 22 Rayagung, atau bulan ke-12 tahun Saka kalender Sunda. Bulan Rayagung dipilih karena menyimbolkan harapan untuk hidup lebih baik pada tahun mendatang. Selain itu, angka 22 bagi mereka melambangkan sifat kehidupan yang berpasangan: siang-malam, laki-perempuan, baik-buruk, salah-benar. Angka 20 juga menunjukkan jumlah sifat dalam diri manusia.
Berdasarkan sejarah, upacara warisan kaum petani selama berabad-abad itu sempat hilang karena faktor kemiskinan yang melanda masyarakat. Namun, upacara itu dihidupkan oleh Kiai Madrais alias Pangeran Sadewa Alibasa Kusumawijaya, petani kaya dan tokoh spiritual di Cigugur pada ahir abad ke-19. Kerabat keraton dari Babakan Cirebon yang pernah mendirikan pesantren itu mengajarkan makna kehidupan dari agama yang dia anut dan memadukannya dengan rasa cinta kasih, kemanusiaan, dan kebangsaan. Ajaran yang berkembang itu kemudian disebut ''agama Jawa-Sunda" dan dianggap sempalan agama Islam. Organisasi itu dilarang pemerintah pada 1964.
Pelarangan itu membuat sebagian pengikut Madrais kemudian memeluk agama Katolik dan sebagian lainnya memeluk Islam. Dalam perkembangannya kemudian, sebagian yang lain mendirikan Gereja Protestan di Cigugur. Djatikusumah, cucu Kiai Madrais, pada 1982 membentuk Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU), yang bertujuan melestarikan budaya leluhur.
Menurut Profesor James Danandjaja, ahli folklore dari Universitas Indonesia, upacara semacam seren taun itu disebut agriculture lorekebudayaan yang terkait erat dengan sifat agraris masyarakat. Upacara seperti itu telah berlangsung jauh sejak periode megalitikum (zaman batu). Bentuk ritual itu adalah terjemahan dari kepercayaan metafisis mereka, yaitu roh dan dewa. Dengan ritual itu, mereka mengajak bersahabat kekuatan luar yang menguasai hidup mereka. Maksudnya, agar panen mereka lancar dan kehidupan menggelinding mulus.
Kenapa ritual sejak zaman batu masih hidup juga pada zaman kloning ini? Jangan salah. Kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib seperti itu ternyata juga masih bisa ditemui di negara semaju Jepang. Di negara produsen otomotif dan berbagai robot canggih itu, orang masih melakukan ritual menjelang musim tanam dan panen. Menurut James, orang Jepang, walaupun sudah modern, masih memiliki budaya pertanian yang sangat kuat.
Kelik M. Nugroho, Agus Hidayat, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo