Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinilai rawan memicu terjadinya transaksi politik. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, Djayadi Hanan, mengatakan transaksi politik sangat mungkin terjadi lantaran partai-partai diharuskan berkoalisi untuk memenuhi ketentuan syarat pencalonan sebesar 20 persen dari jumlah kursi di parlemen atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu legislatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Djayadi, partai yang diajak berkoalisi oleh partai lain yang memiliki sedikit kursi bisa mematok syarat tertentu. Misalnya dengan membayar lebih mahal atau pemberian tertentu apabila bersedia berkoalisi. “Itulah yang bisa menimbulkan transaksi,” kata dia, Kamis, 16 November 2017.
Baca: UU Pemilu Disahkan, Adopsi Presidensial Threshold 20-25 Persen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hasil Pemilu 2014, tak ada partai yang bisa mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain. Sebab, tidak ada partai politik yang memperoleh kursi parlemen atau suara sah nasional mencapai batas minimal yang disyaratkan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang merupakan partai paling besar dalam Pemilu 2014, hanya meraih 18,95 persen suara. Adapun Partai Golkar juga hanya mendapat 14,75 persen dan Partai Gerindra 11,81 persen. Transaksi politik rawan terjadi saat penentuan siapa calon yang akan diusung.
Djayadi menuturkan, selain sarat transaksi politik, syarat ambang batas 20 persen kursi parlemen dan 25 persen perolehan suara sah nasional juga berpotensi digunakan untuk menjegal lawan politik. Seperti saat ada sejumlah partai yang tidak menyukai calon tertentu, “Maka, dia mengajak partai lain supaya mengupayakan calon itu tidak memperoleh dukungan yang cukup untuk maju,” kata Djayadi.
Hal tersebut diakui Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. Menurut dia, syarat ambang batas memicu politik transaksional. “Untuk berkoalisi, terjadi transaksi. Akhirnya jadi ada mahar politik,” kata dia.
Baca: Pilpres 2019, GRN Yogya Pasangkan Muhaimin dengan Jokowi
Aturan mengenai ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden mendapat gugatan sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi. Salah satu pihak penggugat adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK akan segera memutuskan hasil putusan uji materi aturan tersebut.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, tak menampik anggapan bahwa ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden rawan tawar-menawar politik yang tak alami antarpartai. Penyebabnya, “Tidak ada kesetaraan akses ke pencalonan presiden antara partai politik baru dan partai politik peserta pemilu terakhir,” ujar dia.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Arwani Thomafi, mengaku tak khawatir soal potensi munculnya transaksi politik buah dari ketentuan ambang batas. Alasannya, aturan itu sudah diterapkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya. “Karena toh selama ini juga sudah kita ikuti setiap pemilu,” kata dia.