Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penderita insomnia di Thailand memakai ganja medis sebagai pengobatan.
Banyak kafe di Bangkok menjual berbagai jenis ganja untuk bersantai.
Sejak 9 Juni lalu, warga Thailand dibolehkan menanam serta mengkonsumsi ganja dalam makanan dan minuman.
BANGKOK – GAMBAR daun ganja terpajang pada dinding kaca klinik Bangkok Integrative Medicine di Silom, kawasan Bangkok bagian selatan, Thailand. Di bagian atas gambar Cannabis sativa itu, tertulis Medical Cannabis Clinical Research Center. Bangkok Integrative Medicine ini melayani pasien yang membutuhkan ganja medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat Tempo bertandang ke klinik itu pada Rabu kemarin, sesekali terlihat orang keluar-masuk pusat pengobatan tersebut, meski tak terlalu padat. Petugas di meja resepsionis, Natramada Sitthiraat, mengatakan Bangkok Integrative Medicine beroperasi sejak 2018, tak lama setelah pemerintah Thailand melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, klinik tersebut rata-rata melayani 50-60 orang setiap bulan. “Paling banyak orang datang ke sini dengan keluhan insomnia,” kata Natramada kepada Tempo, Rabu, 13 Juli 2022.
Natramada menjelaskan, pasien yang ingin mengakses pengobatan cannabis atau tanaman ganja perlu membuat janji lebih dulu untuk berkonsultasi dengan dokter klinik. Dokter lantas akan menjelaskan gejala-gejala yang dialami kepada pasien. Selanjutnya, dokter akan memutuskan apakah pasien perlu diobati dengan minyak ganja.
Biaya konsultasi dokter mencapai 500 baht per pasien atau setara dengan Rp 207 ribu. Lalu harga minyak cannabis sebesar 300 bath atau setara dengan Rp 125 ribu.
“Harga ini tergolong terjangkau bagi masyarakat,” kata perempuan yang akrab disapa Dear ini.
Natramada ikut menggunakan minyak ganja tersebut untuk mengobati insomnia atau gangguan yang menyebabkan susah tidur pada dirinya. Dia sudah tiga bulan mengkonsumsi minyak ganja tersebut. Saat ini kualitas tidur Natramada meningkat setelah rutin mengkonsumsi tiga tetes minyak ganja setiap malam.
Pasien menggunakan obat dari ganja bernama DTAM saat peluncuran klinik ganja medis resmi pertama di Bangkok, Thailand, 6 Januari 2020. REUTERS/Jorge SIlva
Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis sejak 2018. Tiga tahun setelahnya, pemerintah Thailand mengeluarkan ganja dari daftar narkotik kategori V, yang berarti bukan lagi tanaman terlarang. Hanya ekstrak ganja dengan kadar tetrahydrocannabinol atau THC lebih dari 0,2 persen yang tergolong narkotik.
Sejak 9 Juni lalu, warga Negeri Gajah Putih dibolehkan menanam serta mengkonsumsi ganja dalam makanan dan minuman. Legalisasi ganja ini berlaku lebih dulu dari pengesahan Rancangan Undang-Undang Ganja dan Rami yang hingga kini masih dalam tahap pembahasan di Sapha Phuthaen Ratsadon—sebutan parlemen Thailand.
Di Indonesia, pegiat kesehatan dan sebagian masyarakat mulai mengusulkan legalisasi ganja medis. Mereka meminta legalisasi ganja medis masuk dalam revisi Undang-Undang Narkotika yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Kesehatan Publik Thailand, Anutin Charnvirakul, mengatakan latar belakang legalisasi ganja mengacu pada hasil riset lembaganya selama tiga tahun terakhir. Hasil riset tersebut menunjukkan manfaat pemakaian ganja bagi pengidap penyakit kanker, alzheimer, parkinson, insomnia, stres, serta penyakit kronis lainnya.
Mengacu pada hasil riset tersebut, kata Anutin, Partai Bhumjaithai, yang dia pimpin, menjanjikan legalisasi ganja dalam kampanye mereka pada 2018. “Partai saya yakin tanaman ganja ini bisa meningkatkan perekonomian dan mengerek citra Thailand sebagai pusat ganja medis untuk Asia dan dunia,” kata Anutin dalam diskusi bersama forum jurnalis asing, Rabu pekan lalu.
Dalam sejumlah kesempatan, politikus berusia 55 tahun ini berulang kali menyampaikan bahwa tujuan utama legalisasi ganja adalah untuk kepentingan medisnya. Namun ia juga tak menampik adanya kekhawatiran pemakaian ganja untuk relaksasi atau kebugaran tubuh, misalnya untuk dibakar. Masyarakat Indonesia menyebutnya mengisap ganja atau nyimeng. “Saya pastikan pemakaian ganja untuk rekreasi tak pernah menjadi keputusan kami,” kata Anutin.
Kendati begitu, penjual ganja untuk kepentingan relaksasi mulai bermunculan. Tempo menyambangi beberapa toko yang menjual bunga mariyuana di Bangkok, salah satunya Humbrid Cannabis di Jalan Ram Buttri, satu blok dari kawasan Jalan Khao San yang kondang didatangi pelancong mancanegara.
Kanny, salah satu budtender—sebutan bagi orang yang melayani pelanggan di toko ganja—mengatakan Humbrid baru beroperasi beberapa hari lalu. Menurut perempuan berusia 28 tahun ini, mereka lebih dulu mengumpulkan informasi selama satu bulan terakhir, termasuk mencari penyuplai ganja berkualitas di Thailand. “Kami membangun ini semua dalam satu bulan,” kata Kanny, Senin, 11 Juli 2022.
Saat Tempo singgah di Humbrid Cannabis, sejumlah wisatawan dari luar Thailand silih berganti memasuki toko tersebut. Seorang pria berwajah Kaukasoid menanyakan bunga ganja yang bisa memberikan efek paling kuat. “Saya sudah merokok ganja selama 20 tahun,” kata pria tersebut.
Ada lebih dari 20 jenis bunga ganja yang dijual di Humbrid. Setiap sampel dipajang dalam stoples kecil yang bisa dibuka dan dicium aromanya oleh calon pembeli. Masing-masing stoples dilengkapi keterangan mengenai efek yang ditimbulkan serta persentase THC dan cannabidiol (CBD) yang dikandungnya. Keduanya adalah senyawa yang terkandung dalam ganja. Hanya, THC bisa memabukkan penggunanya, sedangkan CBD tidak memabukkan.
Satu gram kembang ganja di Humbrid dibanderol dengan harga 150-650 baht atau Rp 62-272 ribu. Mereka juga menjual peralatan melinting, seperti kertas dan grinder untuk menghaluskan bunga ganja.
Toko penjual ganja ini berkonsep seperti kafe. Meski begitu, Kanny mengatakan Humbrid melarang pengunjung merokok di area toko.
“Masih jauh sekali untuk sampai ke sana (boleh merokok di area publik),” kata Kanny.
Pemerintah Thailand sebelumnya menyatakan merokok ganja di tempat publik dapat dianggap mengganggu masyarakat. Bagi pelanggar aturan ini diancam pidana 3 bulan penjara dan denda 25 ribu baht atau sekitar Rp 10,5 juta.
Budtender Highland Cafe bersiap melayani pembeli ganja di Bangkok, Thailand, 7 Juli 2022. TEMPO/Budiarti Utami Putri
Kondisi serupa terlihat di Highland Cafe—toko penjual ganja—di Jalan Lat Phrao, Bangkok. Saat Tempo mampir ke Highland Cafe pada Senin, 4 Juli lalu, seorang petugas yang berjaga di depan pintu meminta tanda pengenal.
“Kami ingin memastikan tidak menjual ganja kepada orang-orang yang berusia di bawah 20 tahun,” kata pemilik Highland Cafe, Rattapon Sanrak, kepada Tempo.
Di kafe itu, Tempo bertemu dengan beberapa pengunjung yang menyesap ganja di langkan lantai dua kafe. Mereka mengisap ganja bukan untuk kepentingan medis. Seorang dari mereka mengaku mengisap mariyuana membuatnya lebih rileks dan kreatif. “Kami cuma ingin bersantai,” kata pria berkebangsaan Inggris itu.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo