MASJID Al-A'raf, Tanjungpriok, Jumat pekan lalu, disesaki 300- an orang. Yang menarik, di antara kerumunan itu terlihat sejumlah tokoh yang baru saja keluar dari rumah penjara Cipinang, Jakarta, karena terlibat dalam perkara subversi: Peristiwa Tanjungpriok. Mereka ialah Abdul Qadir Djaelani, Mawardi Noor, Syarifin Maloko, dan Abu Hamidy. Terlihat pula pengacara LBH Luhut Pangaribuan. Selain itu, 300-an hadirin itu pun bukan jemaah biasa. Kebanyakan di antaranya adalah para orang tua yang merasa kehilangan anak atau keluarga setelah meletusnya peristiwa Tanjungpriok, 12 September 1984. Banyak di antara anak mereka yang hilang itu diduga ikut dalam demonstrasi pada malam itu. Maka, inilah untuk pertama kalinya orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Tanjungpriok mengadakan pertemuan besar seperti ini. Masjid, tempat acara, pun bermakna pula. Amir Biki, pemimpin demonstrasi yang tewas dalam peristiwa tersebut, dikuburkan di belakang masjid itu. Resminya, acara yang diprakarsai oleh keluarga almarhum Amir Biki ini ditujukan untuk syukuran atas bebasnya Abdul Qadir Djaelani dan kawan- kawan. Peristiwa Tanjungpriok sudah berlalu sembilan tahun. Ketika itu 1.500-an demonstran menuju kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara, di Tanjungpriok. Mereka menuntut agar sejumlah teman mereka yang ditahan di Kodim dilepaskan. Tiba-tiba terjadi huru-hara, dan petugas ABRI melepaskan tembakan, sehingga korban pun berjatuhan. Dalam penjelasan Pemerintah, 14 jam setelah peristiwa, korban yang jatuh dalam peristiwa itu: 9 meninggal dunia, 53 luka-luka, sejumlah mobil dan rumah terbakar. Dalam versi Pemerintah, seperti dijelaskan oleh Pangab Jenderal L.B. Moerdani, saat itu, 15 petugas keamanan berhadapan dengan massa yang terdiri dari 1.500 orang. Massa itu menyerang dan berusaha merebut senjata petugas. Tembakan peringatan tak dipedulikan, sehingga petugas itu terjepit. ''Tembakan terpaksa diarahkan ke tanah dan kaki para penyerang, sehingga jatuhnya korban tak dapat dihindari,'' ujar Jenderal Benny ketika itu di layar televisi. Ekor dari peristiwa, Abdul Qadir Djaelani dan kawan-kawannya ditangkap. Tapi kenapa sekarang ada pertemuan seperti ini? Sejumlah tokoh di sana menyebut karena kini adalah zaman keterbukaan. Mereka pun menunjuk bagaimana Pemerintah mengusut korban yang jatuh dan petugas yang bertanggung jawab dalam peristiwa Dili 1991, dengan membentuk Komisi Penyelidik Nasional dan Dewan Kehormatan Militer. Sedangkan peristiwa Tanjungpriok masih gelap: berapa korban yang sebenarnya, dan bagaimana peristiwa itu terjadi? Soalnya, isu yang berkembang menyebutkan jumlah korban mencapai puluhan, bahkan ratusan orang. Korban yang sempat dimakamkan cuma Amir Biki, sedangkan yang lainnya tak pernah jelas. Hingga kini masih banyak ibu-ibu di Tanjungpriok yang merasa kehilangan anak. ''Kalau anak saya meninggal, mana kuburnya?'' kata seorang ibu dengan sendu. Maka, dalam acara siang itu, suasana penuh haru. Rusly Biki, kakak almarhum Amir Biki, membuka acara itu dengan kata-kata bersemangat. ''Ingatlah akan batu-batu nisan, baik yang ada maupun yang tidak ada. Mereka merintih dan mengharapkan: pastikan dan luruskan perjuangan,'' katanya. Sejumlah wanita tampak menyeka air mata. Rusly Biki berharap agar tokoh-tokoh Islam berusaha menyelesaikan secara tuntas kejadian-kejadian yang telah menimpa umat. ''Kita selesaikan dengan menggunakan istilah bersih,'' teriak Rusly. Bersih yang ia maksud adalah akronim. BER adalah berapa korban yang sebenarnya, SI untuk siapa yang bertanggung jawab terhadap korban-korban itu, sedangkan H adalah hasilnya nanti agar didasarkan atas keterbukaan yang jujur dan bertanggung jawab. Ia mengharap agar Pemerintah segera menuntaskan peristiwa Tanjungpriok. ''Tuntutan bersih itu bagi kami lebih penting daripada lainnya,'' kata Rusly Biki kepada TEMPO seusai pertemuan. Malah Yusron, salah seorang korban yang tertembak tapi selamat dalam peristiwa itu, dan kemudian sempat dihukum 1 tahun penjara karena dianggap terlibat huru-hara, berpendapat Pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta, agar semua tak menjadi isu yang berlarut-larut. Usul Yusron ini sebenarnya sudah pernah dikemukakan sejumlah tokoh Petisi 50 dalam buku Lembaran Putih, beberapa hari setelah peristiwa berdarah ini. Tapi tak ada respons dari Pemerintah. Setelah itu, A.M. Fatwa, konseptor Lembaran Putih, diadili dan divonis 18 tahun penjara, adapun Letjen (pur.) H.R. Dharsono terkena 7 tahun penjara. Dharsono dituduh menghasut orang setelah peristiwa Tanjungpriok dan akibatnya terjadi peledakan terhadap Bang Central Asia dan beberapa objek lainnya di Jakarta. Luhut Pangaribuan, Direktur LBH Jakarta, yang hadir dalam acara ini, menganggap tuntutan bersih itu wajar-wajar saja. ''Kalau ada orang yang merasa dirugikan, kemudian mempertanyakan kepada yang menghilangkan, itu kan wajar saja?'' katanya kepada TEMPO. Untuk itu, LBH akan mengusahakan upaya hukum kalau memang ada tuntutan dari korban. Masalahnya, hingga kini belum sampai pada tahap tuntutan seperti itu. ''Saya melihat ada usaha untuk mengajukan tuntutan tetapi masih dalam batas informal,'' kata Luhut menjelaskan. Betapapun, Luhut menganggap soal itu memang perlu diklarifikasi untuk alasan hak asasi manusia. Apa kata ABRI? Setelah mendengar adanya pertemuan itu, Kepala Pusat Penerangan ABRI Syarwan Hamid berkata, ''Ya, lihat saja nanti, mereka maunya apa,'' katanya. Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini