ANWAR HARJONO, 70 tahun, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah PERJUANGAN pembebasan Palestina sudah lebih dari 45 tahun, tapi masih belum jelas prospeknya. Kalau sekarang Yasser Arafat mengambil jalan persetujuan damai dengan Israel, hal itu merupakan realitas politik. Mudah-mudahan terobosan Arafat ini diikuti dengan langkah kongkret mengembalikan Palestina yang berdaulat dan utuh. Kita semua yakin, suatu waktu kelak Masjidil Aqsa, yang kini dikuasai oleh Israel, akan kembali ke tangan umat Islam. Karena itu masalah Palestina dan Masjidil Aqsa adalah masalah umat Islam. Tapi, mengenai persetujuan damai itu sendiri, rakyat Indonesia memang perlu mendengar penjelasan dari tangan pertama, Arafat, karena di sini ada perbedaan pendapat. Seperti halnya di Palestina, di sini perbedaan pendapat itu sudah dapat diatasi sehingga tidak terjadi bentrokan. Saya lihat KISDI, misalnya, tidak melancarkan demonstrasi ketika Arafat datang. TUTTY ALAWIYAH A.S., 51 tahun, Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI PERJANJIAN perdamaian di Washington itu ibarat angin segar bagi Timur Tengah. Dan kunjungan Arafat ke Indonesia untuk bertemu dengan ketua Gerakan Nonblok merupakan langkah jitu. Sebab, GNB terdiri dari banyak negara, dan Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim yang terbanyak. Memang saat ini bangsa Palestina baru mendapatkan wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun, seperti kata Abul A'la al Maududi dari Pakistan, sejengkal tanah yang dikuasai umat Islam masih lebih berharga daripada tanah selebar dunia milik orang lain. Setidaknya, kini Palestina sudah punya tanah air. Aksi protes yang tidak menyetujui perjanjian damai itu, menurut saya, kurang tepat. Kita sudah menyaksikan Arafat berjuang begitu lama. Mungkin, sikap umat Islam di Indonesia sebaiknya seperti yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas: menunggu. Tentang Yerusalem dan Masjidil Aqsa, saya kira sebaiknya jangan dibebankan ke pundak Palestina. Sebab, masalah ini merupakan perjuangan seluruh umat Islam karena Masjidil Aqsa merupakan tempat suci bagi umat Islam. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA, 68 tahun, Duta Besar Keliling Gerakan Nonblok SEORANG pemimpin seharusnya tidak hanya idealistis, tapi juga realistis. Nah, itulah perbedaan antara politikus dan negarawan. Politikus selalu melihat apa yang terbaik untuk dicapai, sedangkan negarawan melihat apa yang paling mungkin untuk dicapai. Sebagai negarawan, Arafat telah melihat apa yang paling mungkin untuk dicapai: ya, perjanjian damai itu. Dengan demikian, Gaza dan Yeriko merupakan modal pertama bagi tercapainya kemerdekaan Palestina. Memang, terhadap langkah Arafat ini, muncul sikap pro dan kontra. Yang setuju tentu mengerti ''ilmu'' kenegarawanan, dan dapat melihat langkah Arafat sebagai taktik untuk mencapai tujuan. Dan yang tidak setuju berpikir seperti politikus, mengharapkan yang terbaik bisa dicapai sekaligus dalam waktu sesaat. Jadi, jelaslah bahwa Arafat adalah negarawan yang mampu memilah antara idealisme dan realitas. Dulu pun Indonesia memperoleh kemerdekaan secara bertahap. Ini juga berlaku untuk Palestina. Misalnya soal Yerusalem, kedua pihak mungkin sudah sama-sama memikirkan kemungkinannya. Apakah Yerusalem akan diinternasionalisasi, atau dibagi menjadi Yerusalem Timur dan Barat seperti pada tahun 1967. Tapi untuk dapat diperhitungkan, Palestina harus kuat lebih dahulu. Artinya, menyusun kekuatan bermodalkan Yeriko dan Gaza. Jadi, langkah Arafat itu sangat tepat. ABDURRAHMAN WAHID, 52 tahun, Ketua Umum PB NU, Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi WAJAR saja kalau ada orang yang tidak sepakat dengan Arafat. Perdamaiannya belum jelas, penyelesaian dan prospeknya juga belum jelas. Serba-kebelumjelasan tersebut tentu saja membuat orang pada ribut. Keributan itu ada tiga tingkat. Pertama di tingkat PLO, termasuk bangsa Palestina. Kedua, keributan di kalangan negara-negara Arab. Dan ketiga, di negeri-negeri muslim. Pada ketiga tingkat itu tentu ada yang tidak setuju dengan langkah Arafat. Dan di kalangan negeri-negeri muslim, Iran yang paling keras pengaruhnya. Di Indonesia ada juga kelompok yang begitu, saya rasa karena terpengaruh oleh sikap Iran. Tapi dalam soal ini saja. Menurut saya, ini tak apa-apa. Di Indonesia itu seratus ribu orang kan belum kuat. Kalau sudah jutaan, baru kuat. Jadi, biasa dan wajar-wajar saja, dan mereka belum tentu Syiah seperti Iran. Mereka itu kan menyatakan pendapat, dan mereka umumnya berada di Jakarta. Tapi mayoritas diam. Mayoritas umat Islam Indonesia rata-rata bersikap menunggu, seperti halnya Pemerintah. Adapun sikap NU, ya, kami menunggu saja. Kan kami belum tahu benar ke mana arah perkembangannya. Jadi, mengapa lantas bereaksi duluan? Orang- orang, sih, kebanyakan melihat ini seperti intermezo saja. Ini kan baik, supaya Arafat dan Amerika juga tahu bahwa tak semua orang sependapat. LUKMAN HARUN, 59 tahun, Ketua Komite Solidaritas Islam, Ketua Panitia Pembantu Pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsa PENDAPAT dunia Islam tentang perjanjian damai Palestina- Israel macam-macam. Kita juga pernah mengalami hal serupa dalam perang kemerdekaan dulu. Ada Perundingan Linggarjati, ada KMB, akhirnya sampai pengakuan kedaulatan. Inilah yang juga terjadi di Palestina. Mereka tengah berusaha secara bertahap, sampai seluruh Yerusalem kelak kembali ke tangan bangsa Palestina. Teman-teman yang tidak setuju, saya kira salah paham saja. Barangkali mereka tidak begitu cermat membaca dokumen perjanjian. Dan saya kira tidak benar demonstrasi itu diikuti puluhan ribu orang. Pamfletnya saja yang banyak. Lagi pula, bagaimana kok Arafat dianggap pengkhianat? Dari kecil dia itu berjuang untuk Palestina. Apakah kita sendiri ikut perang bersama mereka? Setahu saya, tidak ada sukarelawan jihad dari Indonesia yang terjun di sana. PLO sudah berusaha maksimal, melalui perang intifadah dan diplomasi. Intifadah itu hasilnya besar. Tentara Israel ngeri menghadapi wanita dan anak-anak. Kalau menghadapi tentara Suriah, Mesir, atau negara Arab lainnya, mereka bangga karena selalu menang. Tapi menghadapi anak kecil yang berani mati, bagaimana? Nah, dibuatlah terobosan dengan perjanjian ini. Jalan lupa, perjanjian ini merupakan langkah awal, karena yang diakui Israel adalah PLO yang mewakili rakyat Palestina, bukan negara Palestina. Tapi, setidaknya, dengan begitu PLO diakui dan punya pijakan. Pertama, mengubah citra Yasser Arafat yang dulu selalu disebut teroris. Sampai 12 September ia masih disebut teroris, tapi esoknya sudah sebagai presiden dengan protokoler yang sama dan sederajat dengan PM Yitzhak Rabin dari Israel. Kedua, Palestina diakui Amerika. Jadi, penyelesaian ini merupakan tahap awal untuk terus berjuang hingga seluruh Palestina kembali. Arafat selalu bilang, ia akan memperjuangkan kembalinya Masjidil Aqsa. Maka, dengan pijakan awal tadi, ia sudah masuk ke babak perjuangan mengembalikan masjid suci tersebut. Tapi, di lain pihak, kini PLO sangat lemah. PLO tengah dilanda krisis politik dan krisis keuangan. Coba kalau dunia Arab bersatu, PLO tentu tidak seperti sekarang. Saat ini, Arafat butuh duit US$ 5 miliar untuk membangun segala sarana yang hancur akibat perang. Ini merupakan kewajiban dunia Islam untuk membantunya. JALALUDDIN RAKHMAT, 44 tahun, Ketua Yayasan Muthahhari, Bandung INI perjanjian yang sangat tidak adil. Seperti halnya perjanjian antara Serbia dan Bosnia, ini juga bukan perjanjian perdamaian, melainkan ketertundukan, rekapitulasi, penyerahan diri Palestina kepada Israel. Jadi, Palestina kalah. Dalam sebuah perjanjian, posisi kedua belah pihak harus seimbang. Sebenarnya, orang-orang Israel sudah sangat kewalahan menghadapi Hamas dan gerakan intifadah yang hanya mengandalkan semangat itu. Baru berjuang tujuh tahun, mereka ternyata sudah berhasil memudarkan perjuangan Arafat selama puluhan tahun. Pada saat yang sama, Israel bingung karena kesulitan ekonomi, sementara kepemimpinan PLO mulai bangkrut. Beberapa pemasok dana untuk PLO mulai menutup keran gara-gara PLO berpihak pada Irak sewaktu Perang Teluk. Tampaknya, PLO mengorbankan seluruh wilayah Palestina demi secuil daerah dengan kekuasaan yang terbatas. PLO nanti mungkin akan menugasi polisi penjaga keamanan dan ketertiban serta menindas Hamas dan gerakan intifadah. Nanti yang mematahkan tangan-tangan kecil itu bukan tentara Israel, melainkan saudara-saudara mereka orang Palestina. Israel tenang saja di belakang karena punya peliharaan yang bisa disuruh apa pun. Yang menarik, kok PLO bersedia memerangi sesama Palestina. Saya mendukung protes-protes yang dilancarkan masyarakat Indonesia terhadap perjanjian tak adil itu. Mereka mulai kritis melihat permasalahan. Bukan saja kesadaran politik berskala nasional, tapi juga kesadaran politik yang bersifat internasional. Arafat, yang sebelumnya begitu dipuja, kini gara-gara perjanjian itu dikecam sebagai pengkhianat bangsa Palestina. Ini kepedulian yang pastas diacungi jempol. Kalau pemerintah Indonesia menyetujui perjanjian itu, itu berarti merestui penjajahan bangsa Israel atas bangsa Palestina. Ini jelas bertentangan dengan Mukadimah UUD 1945. Saya berpendapat, biarkan rakyat Palestina memilih bentuk negaranya sendiri, dan memilih pemimpin secara demokratis tanpa campur tangan Amerika, Israel, atau tangan-tangan kotor lain. CHALID MAWARDI, 57 tahun, Ketua Tim Diskusi Palestina di DPA, bekas Duta Besar RI di Suriah MEMANG tak ada posisi tawar-menawar yang seimbang dalam perjanjian PLO-Israel itu. Tapi pemberian otonomi oleh Israel terhadap Jalur Gaza dan Yeriko itu merupakan perubahan penting. Karena, bagi Palestina, a peace of land is better than the land for peace. Secuil tanah, tapi riil. Sebab, konsep menukar perdamaian dengan pengembalian wilayah Arab yang direbut Israel pada tahun 1967 tak akan pernah diterima. Bagi Arafat, secuil tanah itu justru lebih penting, sebagai embrio negara Palestina yang dicita-citakan. Soal untung-rugi, orang Palestina kan lebih tahu. Bagi Arafat, pertemuannya dengan Ketua Gerakan Nonblok akan merupakan kemenangan diplomatis. Apalagi jika ketua GNB bisa menggunakan pengaruhnya untuk meyakinkan negara-negara Arab dan anggota Nonblok lainnya agar mereka bisa menerima perjanjian damai itu. Kalau usaha meyakinkan mereka bahwa langkah Arafat itu merupakan jalan terbaik, ini akan merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi Arafat. Kita harus tahu bahwa PLO itu organisasi yang sekuler. Lihat saja anggaran dasarnya. Kalau kita mendukung perjuangan Palestina, itu karena amanat dalam Pembukaan UUD 45 yang mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka dan berdaulat di tanah air mereka. Kita mendukung perjuangan Palestina bukan karena alasan agama, tapi semata-mata karena amanat UUD kita. Kita menentang penjajahan Israel atas tanah-tanah Arab yang direbutnya pada tahun 1967. Jadi, kita menuntut mundurnya Israel bukan karena di Yerusalem berdiri Masjidil Aqsa, tapi karena kawasan itu menjadi sebuah koloni. Sebaliknya, kita menentang Israel juga bukan karena Israel beragama Yahudi, tapi karena mereka itu imperialistis. Ada yang menuduh Arafat ''menjual murah''. Tapi, kalau ia ''menjual'' dengan harga tinggi, kan tidak laku-laku. Dan kalau ada yang mendemonstrasi Arafat, itu tidak relevan, tidak mengenai inti perjuangan rakyat Palestina. Memang ada prasangka terhadap Zionisme, tapi itu kini kan sudah tidak relevan. Zionisme itu mencita-citakan negara Yahudi sebatas Sungai Nil dan Sungai Eufrat. Konsepnya tanah Yudea dan Samaria yang diklaim di sekitar wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Memang masih ada yang bergaris keras separti Partai Likud itu, tapi sekarang yang berkuasa kan Partai Buruh. AMIEN RAIS, 49 tahun, Ketua PP Muhammadiyah, pengamat Timur Tengah SAYA tak sependapat bahwa perjanjian itu merupakan miracle, suatu keajaiban. Sebab, pihak Palestina cuma mendapat konsesi sangat kecil dibandingkan dengan cita-cita untuk memiliki negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Memang ada pendapat yang optimistis bahwa perjanjian itu merupakan modal awal untuk mencapai tujuan Palestina merdeka. Menurut saya, perjanjian itu sangat rawan. Pertama, permukiman Yahudi di Gaza dan Yeriko tidak dibicarakan sama sekali. Padahal, permukiman itu timbul dan sekaligus merupakan aktualisasi dari penjajahan Israel atas Palestina. Kedua, 1,5 juta rakyat Palestina yang terserak-serak di luar tanah airnya sering disebut Biaspora Palestina juga tak disinggung- singgung. Artinya, kemungkinan besar, mereka tidak akan punya hak kembali pulang. Ketiga, otonomi yang hanya meliputi Jalur Gaza dan Yeriko merupakan dagelan yang tidak lucu. Jalur Gaza kan wilayah kecil dan berpenduduk padat, sekitar 800 ribu orang, tanpa dukungan lahan pertanian dan industri. Mereka sepenuhnya bergantung pada kemurahan Israel untuk menampung buruh kasar mereka dengan nasib yang tidak menentu. Jadi, mengharapkan otonomi yang mandiri adalah mustahil, sementara bantuan yang diharapkan hanya fatamorgana. Amerika tak bakal memberikan bantuan dalam jumlah lumayan, sedangkan Jepang, Jerman, dan negara-negara petrodolar hanya bisa membantu secara sukarela. Keempat, dengan politik belah bambu ini, persatuan Palestina retak parah. Orang Palestina di Gaza dan Yeriko diangkat, sementara saudara-saudaranya di wilayah pendudukan lainnya yang lebih luas tetap diinjak. Secara politis dan psikologis, hal ini akan memecah persatuan Palestina. Kelima, tak ada keterangan sama sekali soal status Yerusalem. Agenda yang jelas ke arah pembentukan negara Palestina merdeka juga tidak ada. Stereotipe tokoh-tokoh Israel, baik dari Partai Buruh maupun Likud, punya logika bahwa negara Palestina merupakan ancaman bagi eksistensi Israel. Maka, yang dikatakan miracle ialah jika Israel benar-benar menyetujui otonomi seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang dihubungkan dengan koridor untuk keperluan komunikasi dan transportasi yang efektif. Dan secara bertahap terjadi peralihan administrasi, keamanan, dan politik luar negeri meski bisa saja dipersyaratkan agar membangun kekuatan militer. Kalau begini kondisinya, baru bisa dibilang terobosan. Sekalipun begitu, kita tak perlu mengutuk Arafat, apalagi menganggapnya sebagai pengkhianat bangsa Palestina. Itu sudah tidak proporsional. Paling baik sikap kita ialah memberikan fair chance, memberikan kesempatan yang adil pada perjanjian itu agar bergulir dulu. Bila satu tahun berjalan situasi malah memburuk, dan PLO ternyata masuk jebakan Israel, saya kira aksi demonstrasi yang lebih hebat perlu digelar. K.H. HASAN BASRI, 73 TAHUN, Ketua Umum MUI Pusat Langkah Yasser Arafat menyelesaikan masalah Palestina sangat tepat. Ini langkah awal yang baik. Bayangkan, setelah lebih dari setengah abad berperang, baru kelihatan langkah kongkret. Bukankah selama ini sudah banyak yang terbunuh dan mengungsi? Kunjungannya ke Jakarta ini menunjukkan itikad baik Arafat. Ia memberi opini kepada dunia bahwa dia memang ingin menghentikan permusuhan. Dan dunia harus memberi dukungan. Tidak benar kalau umat Islam di Indonesia menentang Arafat. Ada sejumlah orang yang sikapnya memang salah, tapi itu dari sebuah kelompok yang tidak jelas asal-muasalnya. Tapi mereka tidak mewakili umat Islam Indonesia. Wahyu Muryadi, Nunik Iswardhani, Ardian Taufik Gesuri (Jakarta), Ahmad Taufik (Bandung), dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini