Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mengintip Alumni Pondok

Hasil penelitian perhimpunan pengembangan dan masyarakat (p3m) tentang penghidupan alumni pesantren penelitian dilakukan di pesantren-pesantren besar di jawa.(pdk)

9 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESANTREN tak lagi dipercaya para alumninya? Dari 151 alumni pesantren yang dijadikan responden penelitian ternyata sekitar 65% menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Hanya sekitar 30% yang memasukkan anaknya ke sekolah agama, misalnya madrasah. Itulah hasil penelitian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Agustus sampai November tahun lalu. Hasil itu kemudian dirangkum dalam satu analisa oleh M.M. Billah di depan sarasehan tentang pendidikan pesantren di pesantren Pabelan, Magelang, Minggu pekan lalu. Sebenarnya, menurut Billah, dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, penehtian tersebut kurang valid. Dari para responden yang dulu pernah mondok di pesantren di Banten, Sukabumi, Cirebon, Tasikmalaya, Krapyak, Lasem, Kebarongan, Gontor, dan Tebuireng, sebenarnya hendak diketahui dampak pendidikan pesantren dalam kehidupan sehari-hari mereka. Juga akan dicari relevansi antara pendidikan pesantren dan tuntutan masyarakat. "Tapi tak dijelaskan bagaimana relevansi dan dampak itu mau diukur," kata Billah. Dan pada akhirnya, para peneliti dan pihak P3M memang tak menyimpulkan dua hal tersebut. Tak berarti penelitian itu sia-sia. Billah, setidaknya, melihat beberapa soal menarik. Ternyata, katanya, ada empat tipe alumni pesantren. Yaitu, yang semangat wiraswastanya menonjol, punya semangat berdakwah yang lumayan, tapi tipis semangatnya untuk jadi pegawai (25%). Tipe ini banyak dihasilkan oleh pesantren Tebuireng. Lalu, para alumni yang bersemangat dakwah tinggi, minat untuk jadi pegawai lumayan, dan tipis niatnya menjadi wiraswasta tercatat lebih dari 31%. Dan sebagian besar mereka ini berasal dari pesantren-pesantren diJawa Barat. Ada pula tipe yang semangat dakwahnya tinggi, dan semangat menjadi wiraswasta sama besar dengan minat jadi pegawai (8%). Mereka kebanyakan keluaran pesantren di Jawa Tengah, antara lain Krapyak, Lasem Kebarongan. Terakhir adalah tipe alumni yang semangat jadi pegawainya tinggi, punya minat lumayan untuk berdakwah, tapi tipis semangat wiraswastanya (31,8%). Mereka ini kebanyakan datang dari Pondok Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Sayang, belum diteliti bagaimana hubungan adanya berbagai tipe ini dengan pendidikan pesantren-pesantren itu. Misalnya, apakah semangat berkoperasi di pesantren Tebuireng, Jombang, adalah pembawa semangat berwiraswasta alumninya. Seperti diketahui, ketika H.M. Jusuf Hasjim menjadi pimpinan pesantren ini, 1965, berbagai perubahan diusahakannya. Salah satunya, didirikannya koperasi. Sebab, Kiai Jusuf melihat, sekitar Rp 25 juta uang saku para santri (di sini mondok sekitar 1.500 santri) tiap bulan lari ke pasar Cukir dan toko-toko sekitarnya. Dengan adanya koperasi, uang itu beredar di lingkungan pesantren itu sendiri dan keuntungan usaha akhirnya kembali kepada para santri. Atau, adakah pesantren Krapyak - yang kini dipimpin oleh K.H. Ali Ma'sum - yang boleh dikata maslh mempertahankan suasana tradisional menjadikan alumninya bersemangat dakwah tinggi? Pesantren ini termasuk terlambat mendirikan madrasah, yaitu baru di tahun 1978. Sementara itu, pesantren lain, Cipasung di Tasikmalaya misalnya, pada tahun 1940-an sudah mendirikan madrasah, bahkan tahun 1953 Cipasung mendirikan sekolah umum (SR, SMP, dan SMA). Pimpinan pesantren Cipasung bahkan mengakui, selain semangat berdakwah tinggi, santri di sini cenderung jadi pegawai. "Saya amati kebanyakan para santri akhirnya lebih suka mencari ijazah, lalu menjadi pegawai negeri, misalnya jadi karyawan KUA," kata Ilyas Ruhiat, putra Almarhum K.H. Ruhiat, pendiri pesantren Cipasung pada 1930. Billah memberanikan diri membuat hipotesa bahwa pesantren yang menonjol ajaran llmu alatnya, yaitu bahasa Arab, ternyata memberikan semangat wiraswasta menonjol. Dan yang menonjol pengajaran ilmu agamanya memang melahirkan pendakwah-pendakwah. Tapi kesimpulan ini masih bersifat hipotesa, masih memerlukan pembuktian lebih tegas. Yang menarik pula yakni bagaimana para alumni membina keluarga. Ternyata, 60% responden memilih istri yang bersekolah di sekolah agama. Sekitar 11% memilih yang pernah sekolah agama dan umum. Dan, lebih dari 7% memilih istri dari pesantren. Hanya sekitar 28% memilih istri dari sekolah umum. "Mungkin itu demi kehidupan rumah tangga yang harmonis," kata Billah. "Juga, karena suami-istri berlatar belakang agama kuat, pendidikan anak-anak di rumah bisa bercorak agama." Diungkapkan pula, para alumni pesantren ternyata terbatas hubungannya dengan tokoh-tokoh politik dan ilmu pengetahuan. Ini disayangkan Billah, "Karena kegiatan dakwah akan menciut jangkauannya." Tapi Billah pun memahami hal ini, karena, "Tradisi pesantren yang menitikberatkan pada hafalan, kurang mengajarkan analisa masalah." Tapi masih perlu dipertanyakan apakah karena hal itu lalu para alumni takut berdebat dengan ilmuwan atau politikus, lalu agak menjauhi mereka. Dan, adakah karena itu lalu para alumni lebih suka memasukkan anaknya ke sekolah umum? "Mungkin juga karena mereka beranggapan, nilai keagamaan bisa mereka berikan sendiri, karena mereka alumni pesantren," kata Billah. Kalau ini memang benar, sungguh disayangkan ternyata para alumni pesantren lebih melihat pesantren sebagai tempat memperoleh ajaran asrama. Padahal, pendidikan pesantren pun ternyata memberikan bekal untuk hidup. Sebagian besar responden (60%) mengaku berpenghasilan antara Rp 200.000 dan Rp 400.000. Satu berpenghasilan di atas Rp 500.000, dan sisanya di bawah Rp 100.000. Dugaan Billah, jumlah itu tak hanya diperoleh dari pekerjaan pokok, tapi juga kegiatan lain, seperti menjadi khatib, sebagai panitia hari keagamaan, ceramah, dan menjadi pengurus masjid. Soalnya, di Jakarta, seorang penceramah di sebuah pengajian paling tidak bisa mendapat Rp 25.000 sekali tampil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus