Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerinda dan Golkar berbeda sikap di Pilkada Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.
Kaesang menguat di Pilkada Jawa Tengah.
Dinamika politik lokal di pilkada 2024 membuat koalisi parta tak konsisten.
PEMILIHAN kepala daerah alias pilkada 2024 diprediksi sarat kepentingan pragmatis partai politik. Ideologi partai politik dikesampingkan demi memenangi pilkada. Akibatnya, koalisi partai politik di daerah sangat dinamis dan berbeda dengan peta koalisi partai politik pada saat pemilihan presiden 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena partai politik punya kepentingan yang berbeda-beda,” kata peneliti Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim, Kamis, 11 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kennedy mencontohkan, kepentingan pragmatis itu terlihat jelas dalam pertarungan di pilkada Banten. Tujuh partai politik di Koalisi Indonesia Maju (KIM)—penyokong Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024—berbeda sikap politik di Banten.
KIM terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Gelora, dan Partai Bulan Bintang. Dalam pemilihan presiden, KIM berseberangan sikap politik dengan Koalisi Perubahan—terdiri atas Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera—serta poros koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, dan Partai Persatuan Indonesia.
Tiga dari tujuh partai di KIM, yaitu Gerindra, PSI, dan PAN, justru berkoalisi dengan NasDem, PKB, PKS, dan PPP dengan nama Koalisi Banten Maju. Mereka mengusung Andra Soni dan Achmad Dimyati Natakusuma sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Andra merupakan Ketua DPD Gerindra Banten dan Achmad Dimyati kader PKS.
Adapun Golkar tetap berkukuh mengusung bekas Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sebagai calon gubernur. Kini Golkar ada kemungkinan berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Sedangkan Demokrat masih bimbang antara bergabung ke Koalisi Banten Maju atau berkoalisi dengan Golkar. Ketiga partai ini sama-sama tidak memenuhi syarat untuk mengusung sendiri pasangan calon gubernur di pilkada Banten sehingga mesti berkoalisi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan keputusan itu diambil karena Golkar tidak berkenan memilih Andra sebagai pendamping Airin. Karena itu, Gerindra memutuskan mengusung Andra sebagai calon gubernur. "Pihak sana (Golkar) enggak berkenan," kata Habiburokhman, Kamis, 4 Juli 2024.
Ridwan Kamil berbincang dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kiri) dan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie (kanan) dalam acara pembekalan kepada calon kepala daerah yang akan diusung pada pilkada 2024, di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, 21 November 2023. ANTARA/Muhammad Adimaja
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto melihat kondisi politik di pilkada Banten bukan berarti terjadi perpecahan di KIM. Meski begitu, ia menegaskan bahwa Golkar sudah jelas mengusung Airin.
"Terlihat belum jelas. Tapi, bagi Golkar, semua sudah jelas," ujarnya di kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Rabu, 10 Juli 2024.
Situasi politik di pilkada Banten hampir serupa di pilkada Jawa Barat. Partai politik di KIM juga tidak solid mengusung calon gubernur yang sama. Gerindra akan mengusung Dedi Mulyadi, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra sekaligus mantan Bupati Purwakarta, sebagai calon gubernur. Lalu Golkar hendak memilih Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, sebagai calon gubernur.
Kennedy mengatakan tanda-tanda keretakan KIM di pilkada Jawa Barat makin kuat. Sebab, Golkar berkukuh akan mengusung Ridwan Kamil di Jawa Barat. Pertimbangannya, elektabilitas mantan Wali Kota Bandung itu tertinggi di sana di antara sejumlah nama yang disurvei Indikator Politik Indonesia pada Juni 2024. Elektabilitas Ridwan unggul 5 persen dari Dedi yang ada di posisi kedua.
Ia menilai wajar Gerindra mendorong Ridwan berkontestasi di pilkada Jakarta. Sebab, partai besutan Prabowo Subianto itu akan diuntungkan ketika Ridwan bersedia menjadi calon gubernur di pilkada Jakarta.
“Dedi Mulyadi lebih mudah menjadi Jawa Barat I bila tidak ada Ridwan Kamil,” kata Kennedy.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa, tanpa Ridwan Kamil, elektabilitas Dedi unggul dari sejumlah kandidat potensial calon gubernur lainnya di Jawa Barat. Dari simulasi tiga nama, elektabilitas Dedi mencapai 74,4 persen.
Kennedy berpendapat saat ini Gerindra dan Golkar bersaing dalam pilkada 2024 untuk kepentingan jangka panjang Pemilu 2029. Sebab, partai politik yang berhasil memenangkan kadernya di pilkada akan mendapat banyak keuntungan dalam pemilu mendatang. Misalnya, kata dia, suara elektoral partai akan meningkat dalam pemilihan legislatif 2029.
“Ini terbukti dari survei kami. Ketika ada kepala daerah dari partai tertentu, suara partai akan terdongkrak,” ujarnya.
Menurut Kennedy, peta politik pilkada tidak akan bisa betul-betul sejalan dengan peta koalisi dalam pemilihan presiden. Sebab, partai politik akan memilih mencari figur dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi untuk diusung sebagai calon kepala daerah.
Ia mencontohkan pilkada Jawa Tengah. Di sini, elektabilitas Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi paling tinggi di antara sederet kader PDI Perjuangan. Padahal Jawa Tengah selama ini dikenal sebagai kandang partai berlambang banten dengan moncong putih itu.
Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep di kantor Muhammadiyah DKI Jakarta, 21 Juni 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Sesuai dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia, elektabilitas Kaesang mencapai 22,8 persen dan di urutan kedua Ahmad Luthfi sebesar 15,6 persen. Karena elektabilitas yang tinggi ini, partai politik di KIM berencana mengusung Kaesang atau Ahmad Luthfi sebagai calon gubernur di pilkada Jawa Tengah.
“Ini menunjukkan bahwa aspek personalitas kandidat, elektabilitas, dan popularitas lebih menentukan ketimbang mesin partai,” kata Kennedy.
Ia melanjutkan, sikap pragmatis partai politik dalam pilkada 2024 ini sudah tergambar dalam pilkada 2020. Saat itu, PDI Perjuangan justru berkoalisi dengan PKS di sejumlah daerah. Padahal PDIP merupakan penyokong utama pemerintahan Joko Widodo dan PKS menjadi oposisi terhadap pemerintah.
Direktur Eksekutif Para Syndicate, Ari Nurcahyo, membagi koalisi pilkada 2024 menjadi empat kluster. Pertama, koalisi yang akan diwarnai dengan pelibatan keluarga Jokowi, seperti Bobby Nasution. Wali Kota Medan itu didukung oleh semua partai di KIM dan dua partai di Koalisi Perubahan untuk menjadi calon gubernur dalam pilkada Sumatera Utara. Tersisa PDI Perjuangan, PKS, dan Perindo yang tidak mendukung menantu Jokowi ini.
Wali Kota Medan Bobby Nasution memberi keterangan setelah menjalani uji kelayakan dan kepatutan bakal calon gubernur Sumatera Utara di DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta, 4 Juni 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
Lalu kluster kedua, koalisi yang berkaitan dengan relasi Jokowi. Contohnya, Ahmad Luthfi di pilkada Jawa Tengah dan Sendy Fardiansyah, sekretaris pribadi Iriana Jokowi, dalam pemilihan Wali Kota Bogor.
Kluster ketiga, koalisi partai yang serupa dengan koalisi dalam pemilihan presiden. Misalnya, KIM yang kompak mengusung Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada Jawa Timur.
“Kluster di pilkada Jakarta berpotensi serupa di Jawa Timur karena Jakarta adalah episentrum politik nasional,” kata Ari Nurcahyo.
Selanjutnya, kluster keempat adalah koalisi partai politik yang berjalan sesuai dengan dinamika politik lokal. Peta koalisi partai sangat cair dan banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik di daerah bersangkutan.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengatakan pilkada serentak 2024 berbeda dengan pilkada sebelumnya. Sebab, jarak antara pilkada 2024 dan pemilihan presiden sangat dekat sehingga situasi politik di pilpres masih terbawa ke kontestasi pilkada.
Namun menjadi masalah, kata dia, karena partai politik kekurangan kader mumpuni dengan elektabilitas tinggi untuk bisa dicalonkan di pilkada. Kondisi ini membuat ada figur tertentu yang justru dijagokan di beberapa daerah. “Kita bisa melihat ada nama Kaesang di pilkada Jakarta dan Jawa Tengah,” kata Mada.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri mengatakan situasi politik di pilkada ini menunjukkan bahwa partai gagal dalam fungsi rekrutmen dan kaderisasi. Sebab, partai politik hanya mencari nama populer dan elektabilitas tinggi untuk diusung sebagai calon kepala daerah, meski figur itu terkait dengan dinasti politik. “Kompetisi jadi tidak ada dan berpotensi ada kotak kosong di pilkada,” katanya.
Menurut Aisah, koalisi gemuk atau aksi borong partai di pilkada akan berbahaya bagi demokrasi. Partai jadi bersifat pragmatis. Koalisi partai dibentuk hanya untuk kepentingan kelompok. “Keadaan ini juga membuat tidak ada oposisi, padahal check and balances itu penting.”
Juru bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim, mengatakan partainya akan mengandalkan kader untuk diusung dalam pilkada 2024. “Kader kami tersebar di semua instansi pemerintah, menteri, dan kepala daerah. Kami prioritaskan kader,” ujarnya.
Adapun Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan pilkada 2024 ini masih sangat dinamis sehingga sikap partai di sejumlah daerah belum diputuskan. Ia mencontohkan, di pilkada Jakarta, PAN akan tetap mengusulkan Zita Anjani, putri Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. “Kami akan tetap berkoalisi dengan KIM untuk menawarkan Zita,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sultan Abdurrahman dan Fauzi Ibrahim berkontribusi dalam penulisan artikel ini.