Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Petani Kinjil Melawan Raksasa Sawit

Tiga petani di Kotawaringin Barat dijebloskan ke penjara. Dilatarbelakangi konflik lahan dengan raksasa sawit Grup Bumitama.

20 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Koalisi Keadilan untuk Kinjil melakukan aksi solidaritas terhadap kriminalisasi tiga petani Kinjil di depan Kantor PT Bumitama Gunajaya Agro, induk perusahaan PT Bumitama Gunajaya Abadi -perusahaan yang berkonflik dengan petani Desa Kinjil, 19 Juni 2023. Tempo/Hendrik Yaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Koalisi Keadilan untuk Kinjil menuntut pembebasan tiga warga Desa Kinjil, Kotawaringin Barat, yang ditengarai menjadi korban kriminalisasi. Mereka menggalang dana untuk menutup klaim kerugian yang dialami perusahaan sawit Bumitama.

  • Banyak kejanggalan dalam penangkapan dan penetapan tersangka tiga petani Desa Kinjil, Kotawaringin Barat, pada April lalu. Pelaporan ke polisi disinyalir dilatarbelakangi konflik lahan yang menahun.

  • Kasus yang dialami petani di Desa Kinjil merupakan contoh dari buruknya skema kemitraan plasma yang dibangun perusahaan sawit. Masyarakat yang menolak kerja sama karena merasa dirugikan rentan dikriminalisasi.

JAKARTA – Manajer Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Adam Kurniawan, naik pitam. Ia menegur seorang pria yang terus memotret satu per satu wajah peserta aksi solidaritas Koalisi Keadilan untuk Kinjil di depan kantor PT Bumitama Gunajaya Agro, di Jalan Melawai Raya Nomor 10, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenakan kemeja batik hijau, pria yang belakangan diketahui bernama Johan Sukardi, Direktur PT Bumitama Gunajaya Agro, itu juga beberapa kali berdiri di depan orator. Adam menganggap Johan mengganggu jalannya demonstrasi pada Senin, 19 Juni 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hei, jangan di situ! Jangan lakukan intimidasi!" ujar Adam kepada Johan. 

"Ini public area. Kalian yang menghalangi jalan!" ucap Johan. 

Siang itu, suasana sempat memanas. Adu mulut antara Adam dan Johan tak terhindarkan. Polisi hanya melihat cekcok di antara keduanya dari kejauhan. 

Manajer Kampanye Hutan Walhi, Uli Arta Siagian, berupaya melerai. Menggunakan pengeras suara, Uli bersuara meminta polisi menjaga situasi supaya tidak ada pihak yang memancing keributan. "Kami harap polisi menjaga kami. Kami sudah sampaikan surat pemberitahuan unjuk rasa," kata Uli.

Koalisi Keadilan untuk Kinjil menggelar unjuk rasa di depan kantor PT Bumitama Gunajaya Agro untuk menuntut pembebasan tiga anggota masyarakat adat Sekayu Darat, Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Ketiganya, yakni Aleng Sugianto, 63 tahun, Maju (63), dan Suwadi (40), menjadi tersangka dan terancam dengan hukuman hingga 7 tahun penjara lantaran dituduh mencuri tandan buah segar dari kebun sawit PT Bumitama Gunajaya Abadi, salah satu anak usaha PT Bumitama Gunajaya Agro di Kalimantan Tengah. 

Menurut Uli, dalam laporannya ke polisi, Bumitama mengklaim mengalami kerugian Rp 2,9 juta. "Padahal lahan itu milik Aleng. Faktanya,(lahan itu) berada di luar konsesi hak guna usaha Bumitama," kata Uli. 

Aksi penggalangan koin sebagai bentuk solidaritas tiga petani Kinjil di Palangka Raya, 18 Juni 2023. Dok Walhi Kalteng

Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata, mengatakan massa aksi kemarin juga berniat menyerahkan uang koin senilai Rp 3,1 juta sebagai pengganti kerugian yang diklaim Bumitama. Duit itu merupakan hasil penggalangan dana Koalisi Keadilan untuk Kinjil di Kalimantan Tengah pada Ahad, 18 Juni lalu. "Ini bukti banyak rakyat yang bersimpati terhadap tiga petani Kinjil yang dikriminalisasi," kata Bayu. 

Manajemen PT Bumitama Gunajaya Agro yang sempat melihat jalannya aksi, termasuk Johan Sukardi, masuk ke gedung tatkala massa aksi menawarkan uang koin pengganti kerugian dalam kasus di Kotawaringin Barat tersebut. Tak pelak, belasan peserta unjuk rasa pun melemparkan koin-koin tersebut ke pintu masuk kantor Bumitama, raksasa produsen crude palm oil milik keluarga taipan Lim Haryanto Wijaya Sarwono--yang juga menjadi pengendali Harita Group.

Konflik Lahan di Balik Kriminalisasi

Bayu Herinata menceritakan kriminalisasi terhadap tiga petani Kinjil bermula pada 27 April lalu. Aleng, warga Desa Kinjil, sedang membersihkan dan mengelola lahan miliknya ketika siang itu perwakilan Bumitama mendatanginya. Aleng pun menunjukkan bukti bahwa tanah yang ia garap merupakan miliknya.

Tak berselang lama setelah perwakilan Bumitama pergi, giliran anggota Kepolisian Sektor Kotawaringin Lama mendatangi Aleng. Pria berusia 63 tahun ini ditangkap dengan tuduhan mencuri tandan buah sawit. "Mereka menangkap Aleng tanpa membawa surat penangkapan," kata Bayu. 

Aleng ternyata tak sendiri. Empat warga Desa Kinjil juga diangkut ke Polsek Kotawaringin Lama. Mereka, kata Bayu, dimintai keterangan tanpa didampingi penasihat hukum. Esoknya, Aleng dan dua warga Desa Kinjil lainnya, yaitu Maju dan Suwadi, dipindahkan ke Kepolisian Resor Kotawaringin Barat. Ketiganya lantas ditetapkan sebagai tersangka. Adapun dua orang lainnya dibebaskan karena masih di bawah umur.

Bayu menilai kasus yang menjerat Aleng, Maju, dan Suwadi penuh kejanggalan. Pasalnya, proses penangkapan, pemeriksaan, serta penetapan tersangka begitu cepat, kurang dari 24 jam.

Menurut Bayu, polisi semestinya memeriksa lebih dulu kasus yang dilaporkan Bumitama tersebut. Pasalnya, kata dia, pelaporan Bumitama ditengarai berhubungan dengan konflik lahan antara masyarakat dan perseroan. "Polisi semestinya melihat siapa yang paling diuntungkan dari kriminalisasi ini," ujar Bayu. "Kami mendapat laporan, Bumitama kembali menanam sawit di lahan yang bersengketa ini."

Aleng (kiri), Maju, dan Suwadi (kanan) di Polres Kotawaringin Barat,10 Mei 2023. Dok Walhi Kalteng

Aleng dan keluarganya menggarap tanah untuk dijadikan lahan perladangan serta kebun karet di wilayah Babas Sapulai sejak 1993. Luas tanah yang Aleng miliki didasarkan pada asal-usul tanah dan hak untuk membuka tanah seluas 8,3 hektare.

Konflik lahan dengan Bumitama dimulai pada 2004. Kala itu, Bayu menuturkan, perusahaan ditengarai meminta warga menyerahkan lahan dengan iming-iming dijadikan mitra pembangunan kebun plasma sawit. Perusahaan disinyalir memberi janji bagi hasil menggiurkan, yakni setara dengan keuntungan pada 50 persen lahan yang diserahkan pengelolaannya kepada perseroan. "Misalnya, masyarakat memiliki tanah seluas 4 hektare. Hasil dari 2 hektare perkebunan sawit buat mereka," ujar Bayu.

Pada 2005, perusahaan mulai menggarap lahan milik warga Kinjil untuk ditanami sawit. Namun, setelah panen, bagi hasil yang diterima tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Aleng dan puluhan warga lantas meminta lahannya dikembalikan. "Namun perusahaan menolak dengan mengklaim bahwa lahan itu masuk dalam izin HGU," kata Bayu.

Dalam perkembangannya, tanah yang berkonflik itu terbukti milik warga. Status kepemilikan tanah diperkuat oleh adanya hasil investigasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2020. RSPO menegaskan Bumitama tidak memiliki kewenangan menggarap lahan di tanah Aleng dan warga lainnya. Lahan Aleng dan warga berada di luar HGU milik PT BGA. "Kemudian, dari proses mediasi, perwakilan Bumitama menyerahkan proses pengembalian lahan itu kepada Pak Aleng dan pemerintah Desa Kinjil," ujar Bayu. 

Perwakilan masyarakat dari Kalimantan Tengah, Gusti Samudra, menjelaskan bahwa pemerintah Desa Kinjil telah mengembalikan tanah yang diklaim oleh Bumitama tersebut kepada Aleng dan warga lainnya. Atas dasar itu, Aleng dan warga merawat serta memanen sawit yang telanjur tumbuh di lahan miliknya. “Aleng hanya tiga dari masyarakat petani yang selama ini menggugat ketidakadilan atas praktik buruk skema plasma Bumitama," kata Gusti. 

Perjalanan Konflik Lahan Sawit di Kinjil 

Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Barat, Ajun Komisaris Besar Bayu Wicaksono, membantah penetapan tersangka Aleng, Maju, dan Suwadi sebagai bentuk kriminalisasi. Dia mengklaim timnya telah mengantongi dua alat bukti atas dugaan pencurian. "Mengapa begitu cepat? Karena alat bukti sudah terpenuhi unsur pencuriannya,” kata Bayu ketika dimintai konfirmasi Tempo, kemarin. “Barang bukti itu buah kelapa sawit dan mobil.”

Menurut Bayu, Polres Kotawaringin Barat telah merampungkan penyidikan kasus ini. Penyidik akan menyerahkan barang bukti dan para tersangka kepada kejaksaan hari ini untuk proses penuntutan.

Sementara itu, Direktur PT Bumitama Gunajaya Agro, Johan Sukardi, enggan memberikan penjelasan perihal konflik lahan yang berujung pada dugaan kriminalisasi terhadap warga Desa Kinjil. Ditemui di sela-sela aksi Koalisi Keadilan untuk Kinjil, kemarin, Johan hanya sedikit berbicara. “Enggak, enggak. Proses hukum sedang berjalan,” kata dia.

Wajah Korban Skema Plasma Sawit

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan sistem kemitraan plasma di perkebunan sawit memang banyak yang bermasalah. Skema yang kerap dipakai adalah satu atap, yakni perusahaan menggarap lahan yang diserahkan petani untuk kemudian bagi hasilnya diberikan melalui koperasi.

Persoalannya, perusahaan perkebunan sawit yang juga memiliki pabrik minyak sawit sering kali menguasai koperasi-koperasi tersebut. Walhasil, bagi hasil melalui koperasi plasma tersebut tak pernah transparan, termasuk ke para petani yang menjadi anggotanya. "Ini yang kerap menjadi masalah. Di daerah lain ada yang hanya dikasih Rp 50 ribu," ujar Rio—panggilan Arie Rompas.

Menurut Rio, dalam kasus di Desa Kinjil, Bumitama terbukti menggunakan lahan warga saat membangun sistem kemitraan plasma. Dengan begitu, sebagian perkebunan sawit yang diklaim milik perusahaan jelas milik warga Desa Kinjil. “Perusahaan juga tak punya keperdataan karena lahan petani itu di luar HGU perseroan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan banyak kasus perusahaan sawit tidak menjelaskan dengan detail isi perjanjian kemitraan plasma kepada masyarakat. Bahkan, di sejumlah daerah, perusahaan perkebunan sawit memulai lebih dulu pembangunan kebun di atas lahan milik masyarakat, baru kemudian perjanjian kemitraan dibuat asal-asalan. “Bahkan kami temukan ada orang yang tak bisa baca-tulis diminta menyetujui perjanjian," kata Surambo.

Masalahnya memuncak ketika koperasi, sebagai perwakilan anggota petani plasma, justru kerap menjadi representasi kepentingan perusahaan. Masyarakat sebagai pemilik awal lahan tak mendapatkan hasil sebagaimana yang dijanjikan. “Ketika masyarakat menolak atau mengakhiri kerja sama dan menggarap lagi lahannya, dipersengketakan, dikriminalisasi,” kata Surambo.

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus