Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi berjanji tetap menggenjot operasi penangkapan di masa transisi berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fungsional Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK, Budi Santoso, mengatakan lembaganya tidak pernah surut dalam melakukan operasi penangkapan, walau KPK dilemahkan dengan revisi undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebelum UU KPK baru efektif berlaku, kami akan terus gempur dengan operasi tangkap tangan, biar masyarakat merasakan bagaimana kondisi sebelum dan sesudah revisi undang-undang," kata dia dalam acara diskusi bertema "masa depan pemberantasan korupsi pada periode kedua Joko Widodo" di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, sejak Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU KPK hasil revisi bulan lalu, KPK melakukan beberapa operasi penangkapan. Operasi itu antara lain menangkap tiga kepala daerah selama bulan ini, yaitu Wali Kota Medan T. Dzulmi Aldin; Bupati Indramayu, Jawa Timur, Supendi; dan Bupati Lampung Utara, Lampung, Agung Ilmu Mangkunegara. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap.
Sesuai dengan data KPK, lembaga ini melakukan 69 kali operasi penangkapan selama tiga tahun terakhir. Setelah pengesahan revisi UU KPK di Dewan, 17 September lalu, KPK melakukan lima operasi tangkap tangan.
Dua hari lalu, Sekretariat Negara resmi mempublikasikan UU KPK hasil revisi di website mereka, yaitu Jdih.setneg.go.id. Perubahan kedua UU KPK ini dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Beberapa poin pelemahan itu antara lain KPK bukan lagi lembaga negara yang independen, meniadakan kewenangan pemimpin KPK sebagai penyidik dan penuntut, memangkas kewenangan penyelidikan KPK, dan menghilangkan kewenangan KPK mengangkat penyidik independen.
Kemudian, meniadakan kewenangan penyadapan KPK pada tahap penuntutan, mempersulit proses penuntutan karena harus berkoordinasi Kejaksaan Agung, serta memperpanjang jalur penanganan perkara dengan membentuk dewan pengawas yang berwenang memberi atau tidak memberi izin terhadap penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan aset.
Walau undang-undang itu resmi berlaku, KPK belum sepenuhnya dapat menerapkan undang-undang hasil revisi. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan ada beberapa pasal dalam undang-undang yang multitafsir dan diduga bertentangan sehingga lembaganya butuh kejelasan. Dua pasal yang dianggap saling bertentangan adalah Pasal 69D dan 70C. Pasal 69D menyatakan tugas dan kewenangan KPK mengacu pada undang-undang lama sebelum dewan pengawas terbentuk, yang akan dibentuk Presiden pada Desember nanti. Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan Pasal 70C yang menyatakan penanganan perkara yang belum tuntas didasarkan pada undang-undang baru.
"Banyak pertanyaan hukum yang perlu dijawab secara hati-hati, termasuk dua pasal itu," kata Febri. Ia mengatakan saat ini KPK tengah merumuskan sejumlah solusi lewat tim transisi. Tim itu tengah menyiapkan beberapa poin rekomendasi kepada pemimpin KPK.
Adapun Budi Santoso mengatakan tim transisi tersebut bertugas menyesuaikan pegawai dan lembaga KPK dengan undang-undang baru. Misalnya, kata dia, undang-undang hasil revisi mengharuskan status pegawai KPK sebagai aparat sipil negara. Adapun komposisi pegawai KPK terdiri atas pegawai tetap dan tidak tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK, serta pegawai kontrak. "Masalah ini akan disesuaikan dengan undang-undang hasil revisi," kata dia.
HALIDA BUNGA FISANDRA | RUSMAN PARAQBUEQ
Judicial Review UU KPK Hasil Revisi Dikoreksi
Sebanyak 18 mahasiswa yang mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi mengoreksi permohonan mereka. Dalam sidang pendahuluan dua hari lalu, mereka mengganti nomor undang-undang hasil revisi tersebut.
Saat mendaftarkan permohonan pada 14 Oktober lalu, atau tiga hari sebelum undang-undang hasil revisi resmi diundangkan dalam lembaran negara, mereka menuliskan Undang-Undang KPK baru dengan nomor 16 tahun 2019. Padahal, pemerintah mengundangkannya pada 17 Oktober lalu dengan nomor 19 tahun 2019.
"Kami sudah menerima dan menyerahkan buktinya, kami terpaksa melakukan revisi dalam sidang ini," kata Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, perwakilan mahasiswa, Senin lalu. Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang memimpin sidang ini, mengabulkan perbaikan tersebut.
Permohonan judicial review ini mengenai pengujian formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK. Pemohon mendalilkan bahwa pembentukan undang-undang itu tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mereka juga menganggap ada tujuh pasal dalam undang-undang hasil revisi yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 12b, 12c, 21 ayat 1, 40 ayat 2, 47, 69a, dan 69d.
Selain mahasiswa, ada dua kelompok yang mengajukan permohonan judicial review terhadap UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi, pekan lalu. Keduanya adalah gabungan para advokat dan kelompok masyarakat. Adapun kelompok masyarakat itu didampingi pengacara Gregorius Yonathan Deowikaputra. Sesuai dengan jadwal di Mahkamah Konstitusi, sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan Gregorius ini diagendakan berlangsung hari ini.
Sejumlah pegiat antikorupsi juga berencana mengajukan judicial review UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan lembaganya masih mengkaji undang-undang tersebut karena pemerintah baru mempublikasikannya di website Sekretariat Negara, dua hari lalu. "Kami akan segera mengajukan judicial review ini ke Mahkamah Konstitusi," kata dia.
Ia mengatakan saat ini koalisi pegiat antikorupsi masih mendiskusikan agenda mereka untuk mendaftarkan permohonan judicial review itu ke Mahkamah Konstitusi.
RUSMAN PARAQBUEQ | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo