SETIAKAWAN kaum muslimin Indonesia terhadap orang Palestina kuat kaitannya dengan agama. Tak aneh. Sebab di negeri itu ada Yerusalem atau Al Quds (Yang Suci), tempat Masjid Aqsa berdiri. Orang Indonesia, kata Yasser Arafat suatu ketika, selalu menganggap perjuangan Palestina adalah perjuangan Islam. Arafat tentu tidak mudah untuk memenuhi semua harapan dan pandangan sebagian muslimin di sini. Banyak tokoh teras dalam tubuh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) beragama Nasrani. George Habash, 68 tahun, tokoh garis keras itu, adalah salah satu contohnya. Ia berasal dari keluarga Kristen Yunani Ortodoks. Baru setelah dewasa ia cenderung condong pada Marxisme. Memang, mayoritas pemimpin PLO beragama Islam. Terutama para pentolan kelompok Al Fatah, yang menjadi tulang punggung PLO. Termasuk Arafat dan Farouk Khadoumi kini menjabat menteri luar negeri dan orang nomor dua di PLO. Keduanya merupakan muslim yang taat. Tapi keduanya tidak bisa diharapkan akan bersikap sepihak. Pergaulan dan setiakawan antaragama sangat kuat dalam sejarah PLO. Arafat sendiri beristrikan Suha Daud El Tawil, yang berasal dari keluarga Palestina penganut Kristen Yunani Ortodoks. ''Kami tak pernah membuat perbedaan antara umat Islam dan Kristen di Palestina,'' kata Suha, 29 tahun, dalam wawancara dengan kantor berita Prancis, Sygma, awal tahun ini. Nyonya Arafat ini lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat Islam di Ramallah, kota di wilayah Tepi Barat. Menurut Suha, persaudaraan di antara penganut Islam dan agama lain di Palestina sudah berlangsung berabad-abad. Palestina berada di bawah kekuasaan Islam sejak 638 M. Setelah Perang Salib selama 150 tahun, sejak 1095 Masehi, Palestina kembali berada di bawah kekuasaan Arab. Sejak 1516 sampai Perang Dunia I, Palestina berada di bawah kekuasaan Turki. Selama itulah ketiga agama hidup rukun di Palestina sampai munculnya gerakan Zionisme. Menurut Arafat, kini 20% orang Palestina beragama Kristen (ada yang menyebut jumlahnya 33%). Kebanyakan penganut Kristen Yunani Ortodoks. Selebihnya Katolik dan sekte Nasrani lain. Tak jelas berapa banyak orang Palestina yang beragama Yahudi. Yang pasti, dua orang dalam delegasi Palestina yang bernegosiasi dengan Israel (untuk perundingan damai yang disponsori Amerika), adalah penganut Yahudi. ''Kami tidak menentang Yahudi. Yang kami tentang Zionisme,'' kata Arafat, ketika diwawancarai TEMPO di Jakarta, September tahun lalu, saat sang ketua PLO ini menghadiri KTT Gerakan Non-Blok. Berbicara tentang agama-agama di Palestina, tak bisa dipisahkan dengan keberadaan Yerusalem, kota suci bagi Islam, Kristen, dan Yahudi. Di kota yang memendam bara konflik dalam sejarahnya yang panjang ini, hingga kini gema suara azan, lonceng gereja, dan gumam doa-doa Yahudi seakan berbaur setiap hari. Yerusalem, yang sepenuhnya diduduki Israel (Yerusalem Barat, 1949, dan Yerusalem Timur, 1967) dan kini dijadikan ibu kota Israel, diusulkan Arafat untuk menjadi ibu kota bersama Israel dan Palestina. Jika usul ini suatu hari nanti bisa terwujud, bakal mengukuhkan negara Palestina sekuler yang dicita-citakan Arafat di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tampaknya, mayoritas bangsa Palestina (baik di pengasingan maupun penduduk wilayah pendudukan Israel) mendukung cita-cita pendirian negara Palestina yang tak berdasarkan agama. Penelitian di wilayah pendudukan (Jalur Gaza dan Tepi Barat), yang dimuat majalah Middle East Journal edisi Musim Semi 1993, misalnya, menunjukkan hanya sepertiga penduduk mendukung kelompok -kelompok Islam, yang menginginkan negara berdasarkan syariat Islam. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian tentang ''Sikap Politik Orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza'' yang dimuat Middle East Journal edisi 1988. Boleh dikatakan, sejak zaman pendudukan Inggris, ideologi nasionalisme bangsa Palestina tak berdasarkan kelompok agama. Memang benar, tahun-tahun belakangan Hamas, kelompok yang disebut sebagai kaum Islam Fundamentalis, yang menggerakkan intifadah (perang batu melawan Israel), meraih simpati penduduk di wilayah pendudukan. Tapi, diduga dukungan itu lebih didorong oleh perasaan frustrasi penduduk Palestina karena kondisi ekonomi kian memburuk dan proses perdamaian mengalami jalan buntu. Survei yang dilakukan koran Yerusalem Timur, An Nahar, awal September ini, menunjukkan 70% penduduk Jalur Gaza mendukung perjanjian damai ''Gaza-Jericho'', yang diteken PLO dan Israel di Washington. Hasil penelitian ini mungkin bisa menguatkan pendapat yang mengatakan, mayoritas bangsa Palestina mendukung pendirian pemerintahan Palestina yang tak membeda-bedakan agama. Farida Senjaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini