Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Langkah Kuda dari Langitan

Para kiai pendukung Choirul Anam sepakat membidani kelahiran sebuah partai baru. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memilih abstain.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kue lapis, lemper, serta singkong dan jagung rebus ikut mengantarkan lahirnya satu kekuatan politik baru di lingkungan warga Nahdlatul Ulama. Senin pekan lalu, belasan kiai sepuh berhimpun di Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Ditingkahi guyonan khas ala pesantren, seraya bersila, kesepakatan pun ditarik: partai politik baru akan dibentuk guna menampung aspirasi warga nahdliyin.

”Tak ada perdebatan, semua sudah sepakat,” kata KH Mas Ahmad Subadar, pemimpin Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan. Selanjutnya, mereka masih harus membahas nama, lambang, bendera, hymne, dan atribut partai, di waktu lain.

Pembentukan partai baru ini ibarat langkah kuda yang dimainkan para kiai setelah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Choirul Anam dikalahkan Mahkamah Agung pada Agustus 2006. Keputusan MA itu sekaligus mengakhiri perseteruan dua PKB, yakni kelompok yang dipimpin Muhaimin Iskandar versus kelompok yang dipayungi Anam (hasil Muktamar Surabaya).

Keok di pengadilan tak membikin kubu Anam takluk. Mereka segera membentuk Tim 17 yang terdiri dari para kiai khos. Tugasnya mematangkan pembentukan partai baru. Para pemuka itulah yang hadir di Langitan pekan lalu, antara lain KH Abdullah Faqih selaku tuan rumah, KH Warsun Munawir (Krapyak), KH Abdurrahman Chudlori (Magelang), KH Muhaiminan Gunardo (Temanggung), KH Sholeh Qosim (Surabaya), KH Mas Ahmad Subadar (Pasuruan), KH Sofyan (Situbondo), KH Dimyati Rois (Kaliwungu), KH Idris Marzuki (Kediri) dan KH Makruf Amin (Jakarta).

Sebenarnya, pembentukan partai anyar ini tak semulus harapan Anam. Sepuluh hari sebelum rembuk Langitan, Anam menuai kekecewaan dari para kiai. Dia dinilai tergesa-gesa mendaftarkan partai barunya ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 16 Oktober lalu. Nama yang dipilihnya adalah Partai Kebangkitan Nasional Umat (PKNU).

Para kiai merasa dilangkahi. Saking berangnya, KH Nurul Huda Aljazuli dan Zainuddin Djazuli, kakak-beradik pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, menolak mendukung partai baru. Soal nama juga melahirkan masalah. KH Idris Marzuki sudah mengusulkan nama Partai Bintang Sembilan. Usulan nama lain, Partai Ahlus Sunah wal Jamaah atau Partai NU 1951.

Agar tak berlarut-larut, Anam pun dipanggil para kiai ke Pondok Pesantren Al-Falah di Ploso, Kediri, pada 10 November lalu. Di sana, dia ”disidang” untuk menjelaskan semua langkahnya. Tentu dia punya serenceng argumentasi. Kata dia, setidaknya dibutuhkan 14 bulan agar PKNU memenuhi syarat verifikasi peserta Pemilu 2009. Adapun soal nama, Anam punya sandaran kuat. ”Itu hasil salat istikharahnya Kiai Faqih.” Rupanya penjelasan tersebut bisa diterima. Buktinya, di Langitan, para kiai sepakat membidani lahirnya partai baru.

Satu urusan beres, tetapi bagaimana peluangnya dalam Pemilu 2009 nanti? Anam amat optimistis. Dia mengklaim punya cabang di 24 provinsi dan 318 kabupaten. Anam juga yakin bakal menguasai suara Jawa Tengah dan Jawa Timur—dua kawasan yang menyumbangkan 80 persen suara PKB pada pemilu sebelumnya. ”Separuh dari 80 persen itu dari Jawa Timur,” ujar dia.

Hanya saja dia masih mesti berhitung, karena tak ada dukungan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ketua PB NU Hasyim Muzadi mengatakan, secara organisasi, Pengurus Besar tak akan ikut campur. Kritik juga datang dari Saifullah Yusuf, bekas Sekretaris Jenderal PKB. ”Terlalu terburu-buru,” kata dia.

Kelahiran partai ini tak membikin keder kubu PKB. Mahfud M.D., anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa di DPR, mengatakan bahwa PKNU tak punya dua syarat partai berbasis nahdliyin. Syarat itu adalah melibatkan NU secara organisatoris dan adanya figur ikon partai. ”Mustahil mereka berumur panjang,” kata dia.

Kelompok Anam tak hendak memperpanjang konflik. Di Langitan, sore itu, KH Abdullah Faqih berpesan: ”Sesama partai NU dilarang saling menggembosi.”

Kurie Suditomo, Kukuh Setyo Wibowo (Surabaya), Dwidjo U. Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus