Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Laskar Terakhir Abu Wardah

Kelompok bersenjata di Poso yang dipimpin Santoso semakin terjepit. Medan yang berat membuat mereka sulit ditangkap.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGAN polisi ke Dusun Gayatri, Desa Maranda, Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pada Ahad dua pekan lalu membuat kelompok Santoso alias Abu Wardah kian terdesak. Dua peleton anggota Brigade Mobil menyerbu sekelompok orang yang diperkirakan berjumlah tujuh laki-laki anak buah Santoso pada lepas senja hari itu.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Idham Aziz mengatakan anggotanya memang sudah mengintai gerombolan itu. Informasi intelijen mengabarkan tujuh anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin Santoso ini turun dari gunung hendak mengambil pasokan logistik. Mereka berusaha mendekati jalan raya Trans Sulawesi yang menghubungkan ibu kota Sulawesi Tengah, Palu, dengan Poso.

Seorang kurir yang juga pengikut Santoso telah menunggu tujuh orang itu di lokasi yang berjarak sekitar 45 kilometer dari arah Kota Poso. Namun, ketika mereka belum sempat mengambil pasokan perbekalan, anggota Brimob menyerangnya. "Kami sudah bersiaga di daerah itu sehari sebelum kontak senjata," kata Idham.

Baku tembak itu mengakibatkan dua orang yang diduga sebagai teroris tewas. Mereka adalah Aziz Masamba alias Papa Syifa, 27 tahun, dan Eno Lape alias Ano, 30 tahun. Dua orang ini merupakan warga Poso. Selain itu, dua polisi mengalami luka. Brigadir Kepala I Wayan Pande mendapat dua luka di lengan kiri, sedangkan Brigadir Kepala I Wayan Sudana mengalami luka di bagian kepala.

Menurut Idham, dua anggota Brimob ini terluka akibat terkena bom lontong-bom rakitan yang memanfaatkan pipa pralon sebagai pembungkus sehingga bentuknya mirip lontong. Dia mengatakan Aziz dan Eno memasang bom lontong ini di tubuh mereka.

Semua korban tewas ataupun luka semula dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Tengah di Palu. Dua polisi yang terluka akhirnya dirujuk untuk mendapat perawatan di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Sedangkan jenazah dua terduga teroris dipulangkan ke kampung mereka. Aziz dimakamkan di Dusun Tamanjeka, Desa Masani, sedangkan Eno dikuburkan di Desa Lape. Dua desa ini berada di Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso.

Haerudin, ayahanda Aziz, tak menduga anaknya menjadi korban tewas dalam baku tembak itu. Ayah-anak ini terakhir berjumpa dua tahun lebih tujuh bulan lalu. Waktu itu mereka bersama-sama menggarap kebun. "Setelah itu, kami tidak lagi ada komunikasi," ujarnya. Serupa dengan Haerudin, Masita ditinggal pergi Eno, suaminya, sejak 22 Desember 2013. Ketika itu Eno pamit kepada Masita untuk bekerja, tapi ia tidak menjelaskan jenis pekerjaannya.

Seusai baku tembak dengan kelompok Santoso, polisi menyita sepucuk senjata api M16, dua tabung wadah peluru atau magasin M16, 20 butir amunisi kaliber 5,56 milimeter, dua bom lontong, dan sebilah parang.

Pada hari yang sama dengan baku tembak di Poso, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap lima orang terduga teroris. Seorang polisi mengatakan kelima terduga teroris di Makassar itu masih berstatus mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi swasta. Mereka mahasiswa perantauan asal Bima, Nusa Tenggara Barat. Kelimanya adalah Salman Alfarizi alias Ijol, Abdul Azis alias Zaki, Andi Irawan, Hasanuddin, dan Firmansyah. Belakangan, kelima mahasiswa itu dilepaskan pada Rabu pekan lalu karena tidak terbukti terlibat jaringan teroris.

Semula, menurut versi polisi, penangkapan kelima mahasiswa itu berawal dari ditangkapnya terduga anak buah Santoso, Abdul Qadir alias Abu Ayman, di Jalan Trans Donggala, Kabupaten Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat tiga pekan lalu. Qadir, warga Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang berperan sebagai kurir, ditangkap ketika membawa 670 butir peluru kaliber 5,56 milimeter, 3 butir peluru 7,52 milimeter, dan 2 telepon seluler.

Menurut Brigjen Idham, kekuatan kelompok Santoso tinggal belasan atau paling banyak puluhan orang. Kelompok ini makin lemah setelah Daeng Koro, yang punya nama Sabar Subagyo alias Mas Koro, tewas dalam baku tembak dengan polisi di wilayah pegunungan Desa Sakinah Jaya, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Jumat, 3 April 2015. Daeng Koro adalah mantan tentara yang disebut-sebut sebagai panglima perang kelompok Santoso yang telah bergerilya sejak tiga tahun lalu.

Memang, sejak Maret lalu, polisi dan Tentara Nasional Indonesia meningkatkan perburuan terhadap kelompok teroris Santoso. Beberapa wilayah pelatihan mereka di Poso Pesisir Bersaudara telah disisir polisi dalam Operasi Camar 2015. Wilayah Gunung Biru, Kabupaten Poso, dibombardir Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI sejak 31 Maret sampai 4 April 2015. Jarak Kabupaten Poso dengan Kabupaten Parigi Moutong sekitar 150 kilometer atau butuh waktu tempuh sekitar dua setengah jam berkendaraan mobil. "Mereka sudah tidak punya kekuatan lagi," ujar Idham.

Idham meyakini kelompok Santoso telah lemah. Ia mengatakan pendukung kelompok ini kebanyakan di Poso, dari simpatisan hingga sponsor. Selama operasi pada tahun ini, ada 30 orang anggota jaringan itu yang telah ditangkap polisi. Mereka ditangkap di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

Idham menduga saat ini kelompok itu bertahan di pegunungan di wilayah Poso. Mereka menguasai wilayah yang memudahkan mendapat pasokan perbekalan. Mereka meminta makan kepada simpatisan atau penduduk di wilayah dekat hutan itu dengan cara mengintimidasi.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengakui, meski kian lemah, kelompok Santoso sulit dibekuk. Kondisi alam berupa hutan dan pegunungan menyulitkan polisi untuk cepat menumpas kelompok itu. Dari hutan, Santoso aktif merekrut orang untuk masuk ke kelompoknya. Bahkan dia rajin memanggil pengikutnya yang terpencar untuk kembali ke Poso.

Menurut Badrodin, tak ada tokoh atau orang kuat yang menjadi penyandang dana Santoso. Pendukungnya hanya orang berkualifikasi kurir yang mengantarkan makanan dan perlengkapan operasi lainnya.

Mereka, kata Idham, berasal dari luar dan dalam negeri. Itulah sebabnya polisi kini berkonsentrasi melemahkan kelompok itu dengan cara menangkapi kurirnya. "Densus 88 Antiteror berfokus mengejar kurir," ucapnya.

Sunudyantoro, Istman (jakarta), Amar Burase (poso), Tri Yari Kurniawan (makassar)


Kekuatan Mujahidin Indonesia Timur
" Pemimpin:
Santoso alias Abu Wardah.
" Anggota:
Sekitar 20 orang, terbagi dalam dua grup masing-masing sekitar 10 orang.
" Persenjataan:
Senapan rakitan, sepucuk SS-1 V2, satu revolver, dan satu pistol FM. Semua anggota kelompok melekati tubuhnya dengan bom rakitan.
" Wilayah yang dikuasai:
Kecamatan Poso Pesisir Bersaudara, Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Selatan, dan sebagian wilayah Lore Bersaudara di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
" Panjang wilayah yang dikuasai:
Dari Desa Tumora di Kecamatan Poso Pesisir Utara hingga Poso Pesisir Selatan sejauh 60 kilometer.
" Wilayah yang dikuasai jika ditarik garis lurus pantai:
Dari Pantai Poso Pesisir hingga ke arah daratan ke Gunung Biru, sejauh sekitar 30 kilometer.
" Total luas daerah kekuasaan:
1.800 kilometer persegi.
" Wilayah pergerakan:
Kawasan hutan tetangga Poso, yaitu ke Kabupaten Parigi Moutong, Bendungan Sausu, Gunung Sakinah Jaya, dan Kebun Kopi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus