Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ledakan Bom Teka-Teki Bom Manggarai

Jakarta kembali diguncang bom. Benarkah aktivis SIRA di belakang aksi itu?

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bum! Bunyi ledakan itu menggelegar keras, Kamis sore pekan lalu. Getarannya terasa dalam jarak 2 kilometer. Bom berkekuatan besar itu memorak-porandakan dinding, atap garasi, dan sebuah mobil Civic Excellent di asrama mahasiswa Aceh, di Jalan Perahu, Manggarai, Jakarta Selatan. Sesaat kemudian, dari dalam asrama, keluar Taufik Abdullah, 35 tahun, berambut gondrong awut-awutan. Kata saksi mata, ia sempat mengumpat, "Bangsat, bangsat." Di belakang Taufik menyusul Dewi, pacarnya, dengan wajah pucat pasi, dan sekujur tubuhnya gemetaran. Menurut seorang polisi, saat ledakan terjadi, Taufik yang kepala asrama Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda itu mengaku sedang bermesraan dengan pacarnya. Polisi yang datang segera mensterilkan tempat kejadian perkara yang sudah dikerumuni warga. Mereka juga memeriksa 12 penghuni asrama yang selamat, dua di antaranya hanya mengalami luka ringan, yakni Erwin dan Hidayatullah. Nama lainnya yang dimintai keterangan adalah Taufik Abdullah, Musliuhul Maarif, Tengku Hanan, Abdulzaki, Zulkarnaen, Salahudin, Syaeful, Zulfadli, Dewi, dan Tukinah (pembantu asrama). Kebanyakan penghuni asrama yang berdiri sejak 1958 itu memiliki alamat KTP Depok, Jawa Barat. Namun, polisi belum dapat mengaitkan ledakan bom di Manggarai dengan peledakan di rumah Ade Achmad, Jalan Mangga, Kelurahan Depok I, yang waktunya hanya berselisih beberapa jam. Di dekat tempat yang diduga sebagai pusat ledakan di asrama mahasiswa itu, polisi menemukan dua lelaki muda yang sudah menjadi mayat. Mayat tersebut diduga Belly, 23 tahun, dan Coki. Keesokan harinya polisi juga melihat mayat Zulkarnaen di balik reruntuhan. Dari tempat kejadian, tim Gegana Polri menyita satu bom rakitan yang tidak ikut meledak. Menurut Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, bom itu berbahan TNT (trinitrotoluene) dengan berat 3 kilogram. Dari batangan TNT itu terdapat tulisan PT PIN, pipa kontainer yang telah pecah, serta sebuah picu detonator. Selain itu, polisi juga menemukan beberapa dokumen, antara lain daftar nama pejabat pemerintah asal Aceh yang ada di Jakarta, sejumlah buku tabungan, buku harian, sejumlah VCD porno, dan sebuah paspor. Menurut Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Adang Rochjana, paspor tersebut milik Salihin Mustofa, yang diterbitkan Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, 16 Oktober 1998. Dari penyisiran polisi, diduga kuat tempat ledakan berasal dari kamar nomor 9, yang didiami Musliuhul Maarif dan Erwin Abdurahman. Dan, berdasarkan penelitian forensik dokter RSCM, Coki dan Belly menderita luka bakar pada tubuh bagian depan. Kata Adang, kemungkinan besar mereka sedang merakit bom. Sejauh ini 18 saksi telah dimintai keterangan. Enam orang di antaranya sudah dijadikan tersangka. Mereka adalah Taufik, Tengku Hanan, Syaeful, Solahudin, dan Zulkarnaen. Kedua tersangka terakhir tewas bersama meledaknya bom. Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro menuding kelompok Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) berada di belakang ledakan itu. Tuduhan polisi didasarkan temuan dokumen di tempat kejadian. Dugaan keterlibatan SIRA juga dikuatkan oleh keterangan Taufik. Di depan penyidik Polda, meluncur pengakuan dari mulut lelaki yang disebut-sebut sebagai seniman itu. Lima hari sebelum peledakan, ia mengaku bertemu dengan Mohammad Ghafi, yang mengajaknya meledakkan Pulau Jawa. Sampai saat ini Ghafi, bersama dua rekannya, Diana dan Nazaruddin, masih dalam pengejaran polisi. Ketiga orang ini diduga mengetahui asal-muasal bom tersebut. Mereka juga terlibat dalam aksi demonstrasi SIRA di depan Kedutaan Besar Belanda, beberapa pekan lalu. Tapi Faisal Saifuddin, Ketua SIRA Konsulat Jakarta, menolak keras tuduhan polisi itu. "Kami menempuh jalan demokratis dan nonkekerasan dalam menyelesaikan masalah Aceh," ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa SIRA tidak memiliki hubungan dengan asrama mahasiswa itu. Di mata Faisal, bukti dokumen itu masih sumir. Sebab, wujudnya hanya surat imbauan, rekomendasi, dan pernyataan terbuka yang bisa dimiliki oleh masyarakat umum. Lalu, ia mendesak Kapolri, Kapuspen Polri, dan Pangdam Jaya, agar minta maaf karena telah mengeluarkan pernyataan yang mencemarkan nama SIRA. Walhasil, seperti kasus-kasus peledakan bom terdahulu, bom di Manggarai pun masih menyisakan teka-teki. Edy Budiyarso, Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus