Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak tanggung-tanggung, kasus ini langsung menyeret mantan Pangkostrad Letjen Djadja Suparman (November 1999-Maret 2000), yang kini menjabat Komandan Sekolah Staf Komando TNI. Jenderal yang dikenal dekat dengan mantan Panglima TNI Wiranto itu diduga bertanggung jawab atas penyelewengan dana Kostrad senilai Rp 173 miliar. Titik soal ada di brankas Yayasan Dharma Putra dan PT Mandala Airlines milik kesatuan elite tadi.
Kasus ini, meski secara samar-samar, diungkap ke muka publik dua minggu lalu oleh Pangkostrad Letjen Agus Wirahadikusumah. Dan Senin pekan kemarin, dugaan keterlibatan Djadja dalam skandal itu ditegaskannya kembali. Kepada wartawan, Agus membenarkan bahwa terhadap pendahulunya itu "akan segera dilakukan klarifikasi" oleh tim pemeriksa dari Inspektorat Jenderal Angkatan Darat.
Korupsi di tubuh militer bukanlah hal baru. Sudah menjadi rahasia umum betapa banyak jenderal hidup bergelimang kemewahan dari yayasan dan armada bisnis tentara (juga polisi) yang didirikan atas jargon "kesejahteraan prajurit". Selama 32 tahun rezim Orde Baru, tak seujung rambut pun hukum bisa menjamah mereka.
Namun, angin reformasi telah memungkinkan institusi militer, yang dulu dianggap keramat, kini dapat disentuh audit. "Dulu, atas nama persaudaraan korps, hal semacam ini tidak mungkin dilakukan," kata peneliti LIPI Indria Samego.
Dan tak terkecuali bisnis milik Kostrad. Sebagaimana ditulis peneliti LIPI Indria Samego dalam bukunya Bila ABRI Berbisnis, Dharma Putra adalah embrio dari kerajaan bisnis tentara. Adalah Pangkostrad Mayjen Soeharto yang membidani kelahirannya pada 1964. Berkongsi dengan taipan Liem Sioe Liong, Dharma Putra langsung melesat sebagai satu dari tiga armada bisnis tentara yang amat menonjol, sejajar dengan bisnis kelompok Diponegoro dan Siliwangi (Propelat).
Pada 4 Juli lalu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan, Letjen (Marinir) Soeharto, secara terbuka juga telah mengungkap borok serupa pada dua yayasan yang bernaung di bawah lembaganyaYayasan Satya Bhakti Pertiwi dan Yayasan Sudirman. Pada 30 Mei lalu, sebuah kesepakatan antara pihak Irjen Dephan, Irjen TNI/Polri, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan telah diteken untuk mengaudit semua badan usaha milik negara di lingkungan militer.
Alkisah, borok di Kostrad pertama kali tercium setelah Jenderal Agus menggelar audit, tak lama sesudah ia menerima tongkat komando Pangkostrad dari Djadja pada Maret lalu. Tiga bulan kemudian, sekitar bulan Juni, masuk laporan dari Direktur Keuangan Mandala Airlines tentang hasil audit yang dilakukan kantor Hartono dan Rekan. Isinya mengagetkan.
Dipergoki ada sejumlah penarikan dana oleh Djadja yang tak dilaporkan saat serah terima jabatan. Dari pemeriksaan, menurut seorang sumber yang sangat layak dipercaya, Djadja diketahui telah menarik Rp 135 miliar dari kas Mandala. Dari jumlah itu, yang masuk ke rekening yayasan cuma Rp 46 miliar. Sisanya, Rp 79 miliar, habis terpakai dan tak jelas pertanggungjawabannya (lihat tabel).
Selain dari Mandala, Djadja juga diketahui pernah menarik Rp 38 miliar langsung dari kas yayasan. Dana ini ditarik Djadja sekitar Januari lalu. Statusnya disebut sebagai pinjaman. Pertanggungjawabannya? "Wallahualam," kata seorang jenderal, alias tak bisa ditelusuri sama sekali.
Jadi, selama empat bulan Djadja menjabat Pangkostrad, total jenderal ada Rp 173 miliar dana yang tak jelas pertanggungjawabannya.
Mengendus kemungkinan penggelapan, Agus lalu memanggil Kepala Keuangan Kostrad, Kol. CKU Fahmi Idris, dan Asisten Logistik, Kol. CPL A. Tanjung. Kedua perwira yang sudah menjabat sejak era Djadja ini diminta membuat rincian. Kelabakan, laporan disusun seadanya. "Sangat tidak accountable," kata sumber itu. Laporan cuma ditulis tangan. Dari dana Rp 79 miliar yang dipertanyakan, lebih dari Rp 35 miliar tak bisa dirinci hal ihwalnya.
Soal ini dibenarkan Agus. Ia terang-terangan menduga kedua stafnya itu telah merekayasa laporan dan menghalang-halangi penyelidikan. "Mereka baru membuatnya setelah saya tanya," kata Agus kepada TEMPO. Saking awut-awutan, laporan pertama ditolak Agus. Setelah direvisi, isinya masih juga compang-camping. Akhirnya, langkah tegas diambil. Kedua perwira itu dinonaktifkan sementara.
Hasil audit menunjukkan proses keluarnya dana memang memendam begitu banyak kejanggalan. Semua penarikan dilakukan Djadja sendiri hanya lewat secarik memo. Padahal, jika menyangkut uang sebesar itu, pengucuran dana hanya bisa dilakukan melalui keputusan rapat pemegang saham Mandala. Keanehan lain, dana itu ternyata menggelontor ke rekening atas nama Djadja pribadi. Begitu pula dengan nilainya. "Banyak yang di-mark-up di luar batas kewajaran, sulit dipahami, bahkan ada yang fiktif," kata sumber TEMPO itu.
Misalnya, dilaporkan penggunaan dana senilai Rp 11 miliar pada pembelian 50 hektare tanah di Ciseeng, Bogor, untuk keperluan perumahan prajurit. Padahal, alokasi anggaran untuk proyek itu belum tersedia. Lagi pula, kata sumber itu curiga, "Tanah di daerah gunung begitu, apa setinggi itu nilainya?" Belum lagi ada biaya pengurusan sertifikat tanah yang sampai melahap dana sebesar Rp 1,25 miliar. Padahal, setelah diselidiki, pengukuran tanah sama sekali belum pernah dilakukan. Dari total luas tanah, cuma 30 hektare yang dilengkapi surat dan jelas kepemilikannya. Itu pun hanya berupa girik. Sisanya nyaris seperti tanah tak bertuan. Yang mengherankan, ongkos sertifikat ini dilaporkan telah dibayar lunas. "Surat-suratnya saja tidak ada, tapi sudah dibayar lunas. Itu bagaimana?" katanya.
Djadja juga dituduh telah membuat laporan fiktif soal anggaran renovasi Gedung Persit-Kostrad senilai Rp 150 juta. Bukan apa-apa, kata sumber itu lagi, setelah dicek silang ternyata pos itu sudah lunas di masa Pangkostrad sebelumnya ketika dijabat Letjen Djamari Chaniago.
Bau penyelewengan lain tercium dari pos kegiatan Pangkostrad. Misalnya, tercatat angka Rp 1,8 miliar lebih untuk mengongkosi berbagai kunjungan Djadja. Padahal, menurut peraturan, dana itu tak boleh diambil dari keuntungan Mandala, yang seharusnya langsung dimasukkan ke pos dana abadi yayasan. Bahkan, kata seorang jenderal, dari pengeluaran bonus karyawan sebesar Rp 16 miliar, ditengarai ada Rp 4 miliar yang mengucur ke saku pribadi Djadja dan dua mantan petinggi Kostrad lainnya.
Setelah skandal ini mencuat ke permukaan, Djadja mengembalikan sebagian kecil dana. Hingga pekan lalu, total sudah sekitar Rp 9,1 miliar yang disetor balik. Yang menarik, kata sang jenderal, pengembalian itu dilakukan melalui cek atas nama pribadi Djadja.
Sayang, penjelasan dari sisi Djadja tak dapat diperoleh. Dalam tanggapan tertulisnya, Djadja menyatakan tak bisa menjawab pertanyaan TEMPO karena masalah ini telah ia laporkan kepada Kasad dan tengah dicek kebenarannya di lapangan. "Sehingga, secara prosedur hanya Kasad melalui Irjenad yang berhak menjawab semua itu," demikian ditulis Djadja. Lagi pula, menurut dia pengungkapan kasus ini tidak jelas sumber dan substansinya. Kepala Keuangan Kol. Fahmi Idris dan Asisten Logistik Kol. A. Tanjung tak bisa dikontak. Pihak Mandala Airlines juga tak bersedia menanggapi permohonan wawancara.
Jenderal Agus menegaskan, kasus ini tengah intensif diselidiki sebuah tim gabungan yang dibentuk Inspektur Jenderal Angkatan Darat (Irjenad) Mayjen Djoko Subroto. Tim yang di antaranya terdiri dari unsur polisi militer ini mulai bekerja sejak awal Juli. Agus sendiri juga menerjunkan tim penyelidik dari Inspektorat Jenderal Kostrad.
Menurut seorang petinggi Markas Besar Angkatan Darat, begitu menerima hasil audit itu, Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Tyasno Sudarto telah meminta klarifikasi dari Djadja. Tapi, dalam pertemuan tersebut, Djadja mati-matian menyangkal telah menyelewengkannya. Ia mengaku telah menggunakan dana itu semata untuk keperluan operasi pasukannya di sejumlah daerah.
Toh, langkah Agus bukan tak mengundang suara miring. Ia dituding membongkar kasus ini sebagai bagian perseteruan pribadinya dengan Djadja. Sebagaimana diketahui, keduanya pernah keras bersilang pendapat soal pemeriksaan Wiranto dalam kasus bumi hangus Timor Timur. Terakhir, peran Djadja juga disebut-sebut berada di balik beredarnya "Dokumen Bulakrantai", yang memojokkan Agus. Tapi tudingan itu ditangkis Agus. "Tidak ada kaitannya dengan politik atau figur pejabatnya siapa. Ini semata untuk kepentingan menyelamatkan uang negara," katanya lagi.
Lalu, benar bersalahkah Djadja? Pembuktiannya memang masih mesti ditunggu. Tapi, yang terpenting, inilah saatnya memotong habis kanker korupsi di tubuh militer.
Karaniya Dharmasaputra, Tiarma Siboro, Endah W.S., Darmawan Sepriyossa
Ditarik Djadja Suparman:
Tanggal | Jumlah (Rp) | Disalurkan ke: | ||
PT MANDALA AIRLINES | As. Logistik Kol. A. Tanjung | 48.927.399.050 | ||
1 Desember 1999 | 10.000.000.000 | Ka. Keuangan Kol. Fahmi Idris | 86.072.600.950 | |
Januari 2000 | 61.000.000.000 | |||
29 Januari 2000 * | 64.000.000.000 | |||
Jumlah ** | 135.000.000.000 | |||
YAYASAN DHARMA PUTRA: | Dana abadi yayasan | 44.470.000.000 | ||
Jumlah | 38.000.000.000 | Bonus karyawan | 16.250.000.000 | |
TOTAL | 173.000.000.000 | Total | 60.720.000.000 |
Dikembalikan Djadja Suparman:
Tanggal | Jumlah (Rp) |
10 Juli 2000 *** | 3.700.000.000 |
Juli 2000 | 400.000.000 |
Juli 2000 | 5.000.000.000 |
Total | 9.100.000.000 |
Keterangan:
* Semula total penarikan Rp 89 M, tapi dikembalikan lagi Rp 25 M atas keberatan Dir. Keuangan Mandala karena belum ada sertifikat depositonya.
** Dari jumlah itu, Rp 33 M diambil dari dividen Mandala tahun 1998 yang diterimakan tahun 1999 dan 2000.
*** Berbentuk cek pribadi a.n. Djadja Suparman
Sumber: penelusuran TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo