SENIN besok sekolah kembali ramai. Setelah libur sebulan lebih,
diharapkan murid-murid siap menerima pelajaran di sekolah lagi.
Tapi benarkah libur akhir tahun ajaran -- untuk pertama kalinya
merupakan libur panjang -- bisa dimanfaatkan para pelajar?
Di bilangan Kayu Manis, perkampungan yang terletak antara jalan
raya A. Yani dengan Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur,
siang-malam mereka yang libur hanya bergerombol main kartu,
catur atau gitar. Kumpulan anak tingkat SLTP dan SLTA itu, yang
biasanya terdiri atas 4 - 10 anak, memang termasuk mereka yang
tak bermodal uang guna mengisi liburan. Juga tak bermodal
inisiatif.
Diperkirakan yang bergaya libur macam itu tak sedikit. Ini tentu
termasuk liburan yang gagal -- ditinjau dari maksud pemerintah
mengadakan libur panjang akhir tahun ajaran, yang antara lain
untuk "dimanfaatkan bagi pembinaan mental-fisik dan pembinaan
rekreasi. " Tapi memang ada yang lebih beruntung -- baik karena
ada biaya, atau karena mendapat pengarahan.
Anggota IKOSIS (Ikatan Keluarga Organisasi Siswa Intra Sekolah)
DKI Jakarta, setelah sejak pertengahan Juni sampai minggu
pertama Juli ini melewatkan liburan di Lembaga Kepemimpinan
Pelajar, Cibubur, Senin yang lalu berangkat ke Yogyakarta,
Surabaya dan Madura berwidya wisata (study tour). "Untuk
mengenal tanah air, mengunjungi tempat bersejarah dan bertemu
dengan pramuka juga rekan-rekan Ikosis di sana," kata Sylvana,
wakil ketua IKOSIS DKI. Biayanya? "Murah. Rp 10 ribu sudah
mendapat jaket pula," kata siswi kelas III SMA Cikini ini. Tapi
IKOSIS DKI memang mendapat bantuan dari Pemdanya.
Yang kolosal adalah yang dilakukan Kanwil Ditjen Pariwisata dan
Kanwil Dep. P&K Sulawesi Utara. Mereka berhasil memperoleh
sponsor dari sebuah biro perjalanan, Garuda dan sejumlah hotel
mewah di beberapa kota besar Indonesia. Dan sejak 19 Juni yang
lalu, satu rombongan terdiri dari 35 pelajar dari tingkat SD
sampai SLTA plus orang pejabat dan juga juru kamera TV Manado,
memulai perjalanan wisata mereka. Dari Manado terbang langsung
ke Denpasar dan menginap di Hotel Bali Beach. Dari Denpasar
dengan bis malam menuju Surabaya dan menginap di Hotel Ramayana.
Terus ke Yogyakarta -- dan tentu saja tidur di Hotel Ambarukmo
Sheraton -- 24 Juni langsung ke Bandung dengan kereta api. Di
Bandung menginap di Panghegar Hotel. Kemudian ke Jakarta dan
menginap di Hotel Indonesia.
Menurut pengamatan Cuk Sutuyo karyawan Hotel Ambarukmo yang
diserahi tugas mengurus rombongan "putera cengkeh " ini selama
di Yogya "kantong mereka memang tebal-tebal." Entah sejak kapan
para pelajar itu mengumpulkan biaya, tapi untuk ikut dalam
rombongan ini harus bisa setor Rp 250 ribu. Sebuah contoh
kegiatan wisata remaja dalam negeri? Memang dengan lewat
udara, jalan raya dan rel kereta api mereka mencoba mengenal
tanah airnya, sambil membeli barang kerajinan ini-itu. Tapi
jelas, cara begini tak banyak yang bisa mengikutinya.
Ada cara lain untuk berlibur dengan usaha sendiri, yang tentu
saja memerlukan disiplin. Ny. Djokosewandoro, seorang pimpinan
Pramuka Probolinggo, Jawa Timur, sejak lebih setahun yang lalu
sudah merencanakan membawa anak buahnya mengunjungi ibu kota
Jakarta. Untuk itu, dianjurkan kepada anak-anaknya agar
menabung. Dan cita-cita mereka kini memang terlaksana. Mereka
menginap di Youth Hostel Jaya Ancol yang murah (untuk pelajar
semalam seorang Rp 750. Rombongan yang terdiri 49 pelajar dari
tingkat SD sampai SLTA ini memungut Rp 30 ribu per orang.
Liburan memang bagian juga dari pendidikan. Berkali-kali sudah
Menteri P&K sendiri selalu mengatakan, bahwa pendidikan
merupakan tanggungjawab bersama antara sekolah, keluarga dan
masyarakat. Dalam liburanlah tanggung jawab itu lebih bergeser
ke keluarga dan masyarakat. Tapi tak berarti sekolah sama
sekali lepas tangan.
Drs. Gabriel Nggebu, kepala SMP I PSKD Jakarta, yang mengaku tak
sempat mempersiapkan acara untuk anak-anaknya dalam libur kali
ini, toh masih sempat membuat selebaran yang dibagikan kepada
orangtua murid. Isinya? "Orangtua tak selalu ingat bahwa libur
bukan berarti hanya libur begitu saja. Anak-anak perlu dikontrol
juga, jangan sampai melupakan pelajaran sama sekali," katanya
kepada TEMPO.
KEBELUMSIAPAN pihak sekolah menyiapkan pengisian hari libur
seperti yang disarankan oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan
Menengah, memang ada sebab-sebabnya. Siswa yang tahun ini lulus
dari SD, SLTP dan SLTA tentulah sibuk mencari sekolah untuk
melanjutkan pendidikannya.
Dan meskipun pengumuman penerimaan murid sudah dilaksanakan
sebelum libur, tentulah masih ada buntut-buntut urusan tersebut.
J. Lesilolo, Kepala SMAN XI Jakarta sampai menjelang
anak-anaknya masuk lagi, masih sibuk mengurus ini-itu yang
berhubungan dengan penerimaan murid baru. "Ada yang minta
pindah, ada yang baru datang dari luar Jawa," kata Lesilolo. Dan
untuk itu terpaksa dia memberi penjelasan kepada yang datang
bagaimana sebaiknya menyelesaikannya.
Tapi SMA XI itu memang sempat menyusun program pengisian libur
panjang. Ada yang widya wisata ke Bogor, Bandung dan Bali. Ada
juga yang ikut Palang Merah Remaja. "Mereka yang ke luar kota
dengan membawa nama sekolah dikawal guru," katanya. "Dan
anakanak sepulangnya ditugaskan membuat karya tulis, supaya
tidak sia-sia perjalanan mereka itu."
Tapi di situlah kemudian Lesilolo mengutarakan kesulitannya.
"Program macam ini, yang menurut saya sebaiknya dipimpin seorang
atau lebih guru, akan mengalami kesulitan kalau nanti ada
penataran guru. " Dalam rencana pemerintah, salah satu manfaat
libur panjang dan serentak ini memang untuk penataran guru.
Jadi sudah berhasilkah libur panjang kali ini? "Sudah, tapi
belum intensif," kata Menteri Muda Abdul Gafur ketika melepas
IKOSIS DKI, Senin yang lalu. Disebutnya kegiatan perkemahan,
penataran IKOSIS yang sudah berlangsung di banyak daerah.
Dirjen PLSPO (Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga),
mengakui juga bahwa pemanfaatan libur panjang yang pertama kali
ini memang belum seperti yang diharapkan. "Meski belum ramai
tapi pekan olahraga dan seni pelajar telah berlangsung selama
libur kali ini," katanya sehabis menghadiri pelantikan Kelompok
Kerja Menteri P&K Sabtu minggu lalu. Yang unik dari rencana
Ditjen PLSPO ini yang direncanakan diadakan setiap libur panjang
akhir tahun ajaran, tidak dilaksanakan terpusat. "Tapi di banyak
kota menurut fasilitas yang ada di kota tersebut."
Sekolah, lembaga-lembaga resmi memang bisa menjadi motor
kegiatan pengisian liburan. Tapi inisiatif seorang anak atau
sekelompok pelajar, atau usaha satu keluarga untuk mengisi
libur, bisa sangat menarik dan mengharukan. Dengan semangat yang
didasari tahu kemampuan sendiri, mereka mencoba tak melepas
kesempatan yang diberikan libur panjang kini.
Siswadi yang baru lulus dari SMP di Sukohardjo, Surakarta, anak
seorang petani kecil mempunyai cita-cita yang unik. Lewat koran
ia berkenalan dengan Gombloh -- itu si kuda nil yang dipindah
dari kebon binatang Surabaya ke Gembira Loka, Yogyakarta, seekor
hewan yang pernah jadi berita karena hampir membinasakan
pawangnya. Dengan bekal Rp 1000 pemberian kakaknya yang jadi
polisi di Surakarta dia berangkat untuk memenuhi apa yang
dicita-citakannya.
DENGAN kolt dari Sukoharjo ia menuju Surakarta, disambung kereta
api ke Yogyakarta. Lantas jalan kaki ke Gembira Loka. Dia sedang
nongkrong di depan kandang si Gombloh ketika ditemui PembanN
TEMPO. "Sayang, kuda nil itu kok tidak muncul-muncul, ya, mas,"
katanya agak kecewa juga. Apa tak punya acara lain selama
liburan ini? "Tidak. Ya, membantu ayah saja di sawah."
Diceritakannya bahwa sekolahnya merencanakan darmawisata ke Bali
dengan biaya Rp 35 ribu seorang. "Tapi batal. Soalnya tak ada
yang mendaftarkan," katanya sambil tersenyum. "Habis, dari mana
teman-teman bisa mendapat uang sebanyak itu?"
Seorang Mohamad Khozin, kelas III PGAN Kiringan, Madiun, adalah
contoh yang tak sempat memanfaatkan libur kali ini untuk sekedar
santai. Di daerah yang dikenal sebagai penghasil batu bata itu,
sebagian besar penduduknya memang hidup dari batu bata. Khozin
memanfaatkan liburnya untuk mengumpulkan uang guna membeli
seekor kambing. Dengan mencontoh kakaknya, yang sudah sejak lama
mengusahakan baru bata, Khozin sehari bisa menghasilkan sekitar
400 buah.
Dengan harga batu bata mentah (belum dibakar) Rp 1,50 dia
membutuhkan 6.000 buah batu bata untuk mendapat seekor kambing.
Rencananya, jumlah itu akan dicapainya sebelum liburan berakhir.
Tapi kenapa tak dibakarnya sekalian batu batanya agar harganya
lebih mahal? "Saya tak mampu membeli bahan bakarnya," katanya.
Dan untuk apa kambing? "Kalau nanti berkembang biak, bisa untuk
modal hidup." Mudah-mudahan sekarang Khozin sudah memiliki
sepasang kambing.
Diceritakannya juga dulu kalau libur dia ikut menuai padi untuk
mendapat upah barang sedikit. Sekarang kebanyakan padi yang
ditanam dari jenis yang kalau panen cukup dengan dibabat saja.
Artinya tak banyak membutuhkan tenaga.
Jenis padi yang sekarang ditanam orang juga agak mengecewakan
Sulastri, kelas I PGA Tanjung, Magetan, yang biasanya ikut
menuai padi orang. Anak kedua dari seorang buruh tani ini kini
mencari penghasilan selama liburan dengan menolong orang menanam
kedelai.
Caranya? Dengan bermodal sebatang kayu yang salah satu ujungnya
runcing dia mendengar-dengarkan di mana ada orang butuh tenaga
untuk menanam kedelai, Tongkat itu digunakan untuk membuat
lubang di tanah dengan cara menonjokkan ujung runcing tongkatnya
ke tanah, lalu seorang temannya akan menaburkan benih ke dalam
lubang itu.
Dengan cara begini, tanah seluas seperempat bahu bisa
diselesaikan 15 orang dalam waktu 5 jam. Upah masing-masing
untuk lima jam itu Rp 125. "Daripada nganggur di rumah," katanya
seperti agak malu menyebutkan upah yang diterimanya.
Arif Zulkarnain, 11 tahun, yang tahun ini naik ke kelas V SD
Budi Mekar, Karawang, punya cerita lain. Setiap malam ia
berjualan teh botol di terminal bis Karawang. "Biarlah masa
libur ini lenyap asal masa depan saya terang," katanya tabah.
Dia, anak ke-6 dari sepuluh bersaudara, tahu persis kalau
orangtuanya -- seorang kuli bangunan -- tak bakal bisa
mengongkosi sekolahnya. Karena itu ia harus mencari uang dan
disimpan guna hari depan. Cita-citanya sederhana saja: "Asal tak
semelarat sekarang," katanya.
Untuk itu semua, Arif harus membayar mahal: kehilangan
kesempatan menikmati masa kanak-kanak dan juga waktu libur,
bermain dengan teman-temannya tanpa memikirkan hari esok. Berapa
yang bisa ditabung? "Menurut keadaan," sahutnya. "Sehari
rata-rata saya bisa dapat Rp 700. Untuk makan dan kadang-kadang
membantu adik-adik juga, hanya ada sisa sekitar Rp 300.
Itu diperoleh dengan nongkrong menjajakan teh botolnya dari jam
14.00 sampai jam 02.00 dinihari di terminal bis. "Memang menurut
guru saya kerja malam kurang sehat. Tapi kalau siang banyak
saingan penjual teh botol asli (bukan anak sekolah) dan tentu
saya kalah," tuturnya.
Ada yang lebih beruntung. Eri Panto, kelas II STM Bukittinggi,
sejak tahun lalu kalau libur memanfaatkan waktunya menjadi buruh
bangunan: sebagai tukang aduk semen, kapur dan pasir. "Untuk
beli pakaian dan buku, sekedar meringankan beban orangtua,"
katanya agak malu kepada TEMPO. Anak keempat dari enam
bersaudara itu terus terang mengakui kalau orangtuanya tak
begitu mampu, "padahal dua adik saya tahun ini satu masuk SMP,
satu lagi masuk SMA."
UNTUK mencari proyek yang membutuhkan tenaga buruh macam dia,
memang tak sulit. Kakaknya, Inwarman (24 tahun) sudah bekerja
sebagai tukang profesional, yang kebetulan sedang ikut membangun
sebuah rumah di Wisma Indah Padang. Tentu saja, upah yang
diterimanya hanya setengah dari buruh profesional hanya Rp 700.
Meski begitu, ia puas. Mungkin karena keluarganya memang
keluarga tukang: ayahnya tukang kayu, dan kakaknya tukang batu.
Apa tidak sayang liburan untuk bekerja? "Pokoknya saya dapat
duit, untuk meringankan keluarga," katanya tegas. Dia mengaku
hanya menggunakan liburan ini untuk istirahat selama tiga hari
pertama saja. Selanjutnya direncanakannya menjadi tukang sampai
liburan selesai.
Amrul Amri, 20 tahun, kelas 11 SMEA Padang lebih beruntung lagi
selama liburan ini dia membantu pembukuan seorang agen Koperasi
Perikanan Padang. Pekerjaan mengisi waktu libur ini diperolehnya
berkat hubungan baik dengan tetangganya, agen tersebut.
Penghasilannya minimal sehari Rp 600. Ini kalau lelang ikan tak
dimenangkan oleh agen yang dibantunya. Kalau agen yang
dibantunya menang -- di Unit Pelelangan Ikan Muara ada 10 agen
dia bisa mendapat Rp 2000.
Anak kedua dari tiga bersaudara yang ayahnya pegawai percetakan
ini, kecuali memperoleh uang sekedar meringankan beban orangtua
ada yang lebih penting diperolehnya. "Saya jadi mahir pembukuan,
berkat praktek ini. Ini 'kan tidak fiktif seperti soal-soal di
sekolahan."
Mereka yang mungkin lebih bahagia tak terdorong harus bekerja
karena alasan apa pun, bisa menikmati libur dengan lebih santai.
Rombongan pelajar dari Probolinggo itu misalnya, nampaknya
sangat senang berkesempatan melihat ibu kotanya. Bambang
Ikuryanto, kelas III SMP Katolik Probolinggo, misalnya, heran:
"Jakarta yang pembangunannya hebat kayak begini kok katanya
masih sering banjir."
Lain lagi mereka yang tingkat ekonomi orangtuanya mampu membiaya
ke mana saja anaknya ingin pergi, me manfaatkan hari libur.
Indah Iman Sukoco, siswa SMAN VI Jakarta, libur ini beserta
keluarga mengunjungi Singapura. Tak ada yang istimewa, tentu,
bagi Indah yang sudah sejak kecil sering ke Hongkong, Taiwan,
Jepang dan Filipina, apalagi Singapura. Ayahnya, Presiden
Direktur Bank Pasifik, ternyata masih ada hubungan keluarga
dengan bekas raja minyak Ibnu Sutowo.
Di tahun anak-anak internasional kini, dengan hak-hak asasi anak
dicanangkan di mana-mana, libur masih bisa saja semacam
kemewahan. Tapi si kecil yang sudah biasa bekerja untuk hidup
mungkin kelak akan jadi orang yang lebih berharga daripada
mereka yang cuma mengenal bantal empuk.
Libur panjang adalah sebuah percobaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini