Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Libur telah selesai. apa yang terjadi?

Libur panjang di akhir tahun ajaran diisi murid-murid dengan bermacam-macam acara. selain berdarmawisata dan mencari penghasilan, ada yang mengikuti pelajaran agama islam di pesantren kilat. (pdk)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN besok sekolah kembali ramai. Setelah libur sebulan lebih, diharapkan murid-murid siap menerima pelajaran di sekolah lagi. Tapi benarkah libur akhir tahun ajaran -- untuk pertama kalinya merupakan libur panjang -- bisa dimanfaatkan para pelajar? Di bilangan Kayu Manis, perkampungan yang terletak antara jalan raya A. Yani dengan Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, siang-malam mereka yang libur hanya bergerombol main kartu, catur atau gitar. Kumpulan anak tingkat SLTP dan SLTA itu, yang biasanya terdiri atas 4 - 10 anak, memang termasuk mereka yang tak bermodal uang guna mengisi liburan. Juga tak bermodal inisiatif. Diperkirakan yang bergaya libur macam itu tak sedikit. Ini tentu termasuk liburan yang gagal -- ditinjau dari maksud pemerintah mengadakan libur panjang akhir tahun ajaran, yang antara lain untuk "dimanfaatkan bagi pembinaan mental-fisik dan pembinaan rekreasi. " Tapi memang ada yang lebih beruntung -- baik karena ada biaya, atau karena mendapat pengarahan. Anggota IKOSIS (Ikatan Keluarga Organisasi Siswa Intra Sekolah) DKI Jakarta, setelah sejak pertengahan Juni sampai minggu pertama Juli ini melewatkan liburan di Lembaga Kepemimpinan Pelajar, Cibubur, Senin yang lalu berangkat ke Yogyakarta, Surabaya dan Madura berwidya wisata (study tour). "Untuk mengenal tanah air, mengunjungi tempat bersejarah dan bertemu dengan pramuka juga rekan-rekan Ikosis di sana," kata Sylvana, wakil ketua IKOSIS DKI. Biayanya? "Murah. Rp 10 ribu sudah mendapat jaket pula," kata siswi kelas III SMA Cikini ini. Tapi IKOSIS DKI memang mendapat bantuan dari Pemdanya. Yang kolosal adalah yang dilakukan Kanwil Ditjen Pariwisata dan Kanwil Dep. P&K Sulawesi Utara. Mereka berhasil memperoleh sponsor dari sebuah biro perjalanan, Garuda dan sejumlah hotel mewah di beberapa kota besar Indonesia. Dan sejak 19 Juni yang lalu, satu rombongan terdiri dari 35 pelajar dari tingkat SD sampai SLTA plus orang pejabat dan juga juru kamera TV Manado, memulai perjalanan wisata mereka. Dari Manado terbang langsung ke Denpasar dan menginap di Hotel Bali Beach. Dari Denpasar dengan bis malam menuju Surabaya dan menginap di Hotel Ramayana. Terus ke Yogyakarta -- dan tentu saja tidur di Hotel Ambarukmo Sheraton -- 24 Juni langsung ke Bandung dengan kereta api. Di Bandung menginap di Panghegar Hotel. Kemudian ke Jakarta dan menginap di Hotel Indonesia. Menurut pengamatan Cuk Sutuyo karyawan Hotel Ambarukmo yang diserahi tugas mengurus rombongan "putera cengkeh " ini selama di Yogya "kantong mereka memang tebal-tebal." Entah sejak kapan para pelajar itu mengumpulkan biaya, tapi untuk ikut dalam rombongan ini harus bisa setor Rp 250 ribu. Sebuah contoh kegiatan wisata remaja dalam negeri? Memang dengan lewat udara, jalan raya dan rel kereta api mereka mencoba mengenal tanah airnya, sambil membeli barang kerajinan ini-itu. Tapi jelas, cara begini tak banyak yang bisa mengikutinya. Ada cara lain untuk berlibur dengan usaha sendiri, yang tentu saja memerlukan disiplin. Ny. Djokosewandoro, seorang pimpinan Pramuka Probolinggo, Jawa Timur, sejak lebih setahun yang lalu sudah merencanakan membawa anak buahnya mengunjungi ibu kota Jakarta. Untuk itu, dianjurkan kepada anak-anaknya agar menabung. Dan cita-cita mereka kini memang terlaksana. Mereka menginap di Youth Hostel Jaya Ancol yang murah (untuk pelajar semalam seorang Rp 750. Rombongan yang terdiri 49 pelajar dari tingkat SD sampai SLTA ini memungut Rp 30 ribu per orang. Liburan memang bagian juga dari pendidikan. Berkali-kali sudah Menteri P&K sendiri selalu mengatakan, bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam liburanlah tanggung jawab itu lebih bergeser ke keluarga dan masyarakat. Tapi tak berarti sekolah sama sekali lepas tangan. Drs. Gabriel Nggebu, kepala SMP I PSKD Jakarta, yang mengaku tak sempat mempersiapkan acara untuk anak-anaknya dalam libur kali ini, toh masih sempat membuat selebaran yang dibagikan kepada orangtua murid. Isinya? "Orangtua tak selalu ingat bahwa libur bukan berarti hanya libur begitu saja. Anak-anak perlu dikontrol juga, jangan sampai melupakan pelajaran sama sekali," katanya kepada TEMPO. KEBELUMSIAPAN pihak sekolah menyiapkan pengisian hari libur seperti yang disarankan oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, memang ada sebab-sebabnya. Siswa yang tahun ini lulus dari SD, SLTP dan SLTA tentulah sibuk mencari sekolah untuk melanjutkan pendidikannya. Dan meskipun pengumuman penerimaan murid sudah dilaksanakan sebelum libur, tentulah masih ada buntut-buntut urusan tersebut. J. Lesilolo, Kepala SMAN XI Jakarta sampai menjelang anak-anaknya masuk lagi, masih sibuk mengurus ini-itu yang berhubungan dengan penerimaan murid baru. "Ada yang minta pindah, ada yang baru datang dari luar Jawa," kata Lesilolo. Dan untuk itu terpaksa dia memberi penjelasan kepada yang datang bagaimana sebaiknya menyelesaikannya. Tapi SMA XI itu memang sempat menyusun program pengisian libur panjang. Ada yang widya wisata ke Bogor, Bandung dan Bali. Ada juga yang ikut Palang Merah Remaja. "Mereka yang ke luar kota dengan membawa nama sekolah dikawal guru," katanya. "Dan anakanak sepulangnya ditugaskan membuat karya tulis, supaya tidak sia-sia perjalanan mereka itu." Tapi di situlah kemudian Lesilolo mengutarakan kesulitannya. "Program macam ini, yang menurut saya sebaiknya dipimpin seorang atau lebih guru, akan mengalami kesulitan kalau nanti ada penataran guru. " Dalam rencana pemerintah, salah satu manfaat libur panjang dan serentak ini memang untuk penataran guru. Jadi sudah berhasilkah libur panjang kali ini? "Sudah, tapi belum intensif," kata Menteri Muda Abdul Gafur ketika melepas IKOSIS DKI, Senin yang lalu. Disebutnya kegiatan perkemahan, penataran IKOSIS yang sudah berlangsung di banyak daerah. Dirjen PLSPO (Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga), mengakui juga bahwa pemanfaatan libur panjang yang pertama kali ini memang belum seperti yang diharapkan. "Meski belum ramai tapi pekan olahraga dan seni pelajar telah berlangsung selama libur kali ini," katanya sehabis menghadiri pelantikan Kelompok Kerja Menteri P&K Sabtu minggu lalu. Yang unik dari rencana Ditjen PLSPO ini yang direncanakan diadakan setiap libur panjang akhir tahun ajaran, tidak dilaksanakan terpusat. "Tapi di banyak kota menurut fasilitas yang ada di kota tersebut." Sekolah, lembaga-lembaga resmi memang bisa menjadi motor kegiatan pengisian liburan. Tapi inisiatif seorang anak atau sekelompok pelajar, atau usaha satu keluarga untuk mengisi libur, bisa sangat menarik dan mengharukan. Dengan semangat yang didasari tahu kemampuan sendiri, mereka mencoba tak melepas kesempatan yang diberikan libur panjang kini. Siswadi yang baru lulus dari SMP di Sukohardjo, Surakarta, anak seorang petani kecil mempunyai cita-cita yang unik. Lewat koran ia berkenalan dengan Gombloh -- itu si kuda nil yang dipindah dari kebon binatang Surabaya ke Gembira Loka, Yogyakarta, seekor hewan yang pernah jadi berita karena hampir membinasakan pawangnya. Dengan bekal Rp 1000 pemberian kakaknya yang jadi polisi di Surakarta dia berangkat untuk memenuhi apa yang dicita-citakannya. DENGAN kolt dari Sukoharjo ia menuju Surakarta, disambung kereta api ke Yogyakarta. Lantas jalan kaki ke Gembira Loka. Dia sedang nongkrong di depan kandang si Gombloh ketika ditemui PembanN TEMPO. "Sayang, kuda nil itu kok tidak muncul-muncul, ya, mas," katanya agak kecewa juga. Apa tak punya acara lain selama liburan ini? "Tidak. Ya, membantu ayah saja di sawah." Diceritakannya bahwa sekolahnya merencanakan darmawisata ke Bali dengan biaya Rp 35 ribu seorang. "Tapi batal. Soalnya tak ada yang mendaftarkan," katanya sambil tersenyum. "Habis, dari mana teman-teman bisa mendapat uang sebanyak itu?" Seorang Mohamad Khozin, kelas III PGAN Kiringan, Madiun, adalah contoh yang tak sempat memanfaatkan libur kali ini untuk sekedar santai. Di daerah yang dikenal sebagai penghasil batu bata itu, sebagian besar penduduknya memang hidup dari batu bata. Khozin memanfaatkan liburnya untuk mengumpulkan uang guna membeli seekor kambing. Dengan mencontoh kakaknya, yang sudah sejak lama mengusahakan baru bata, Khozin sehari bisa menghasilkan sekitar 400 buah. Dengan harga batu bata mentah (belum dibakar) Rp 1,50 dia membutuhkan 6.000 buah batu bata untuk mendapat seekor kambing. Rencananya, jumlah itu akan dicapainya sebelum liburan berakhir. Tapi kenapa tak dibakarnya sekalian batu batanya agar harganya lebih mahal? "Saya tak mampu membeli bahan bakarnya," katanya. Dan untuk apa kambing? "Kalau nanti berkembang biak, bisa untuk modal hidup." Mudah-mudahan sekarang Khozin sudah memiliki sepasang kambing. Diceritakannya juga dulu kalau libur dia ikut menuai padi untuk mendapat upah barang sedikit. Sekarang kebanyakan padi yang ditanam dari jenis yang kalau panen cukup dengan dibabat saja. Artinya tak banyak membutuhkan tenaga. Jenis padi yang sekarang ditanam orang juga agak mengecewakan Sulastri, kelas I PGA Tanjung, Magetan, yang biasanya ikut menuai padi orang. Anak kedua dari seorang buruh tani ini kini mencari penghasilan selama liburan dengan menolong orang menanam kedelai. Caranya? Dengan bermodal sebatang kayu yang salah satu ujungnya runcing dia mendengar-dengarkan di mana ada orang butuh tenaga untuk menanam kedelai, Tongkat itu digunakan untuk membuat lubang di tanah dengan cara menonjokkan ujung runcing tongkatnya ke tanah, lalu seorang temannya akan menaburkan benih ke dalam lubang itu. Dengan cara begini, tanah seluas seperempat bahu bisa diselesaikan 15 orang dalam waktu 5 jam. Upah masing-masing untuk lima jam itu Rp 125. "Daripada nganggur di rumah," katanya seperti agak malu menyebutkan upah yang diterimanya. Arif Zulkarnain, 11 tahun, yang tahun ini naik ke kelas V SD Budi Mekar, Karawang, punya cerita lain. Setiap malam ia berjualan teh botol di terminal bis Karawang. "Biarlah masa libur ini lenyap asal masa depan saya terang," katanya tabah. Dia, anak ke-6 dari sepuluh bersaudara, tahu persis kalau orangtuanya -- seorang kuli bangunan -- tak bakal bisa mengongkosi sekolahnya. Karena itu ia harus mencari uang dan disimpan guna hari depan. Cita-citanya sederhana saja: "Asal tak semelarat sekarang," katanya. Untuk itu semua, Arif harus membayar mahal: kehilangan kesempatan menikmati masa kanak-kanak dan juga waktu libur, bermain dengan teman-temannya tanpa memikirkan hari esok. Berapa yang bisa ditabung? "Menurut keadaan," sahutnya. "Sehari rata-rata saya bisa dapat Rp 700. Untuk makan dan kadang-kadang membantu adik-adik juga, hanya ada sisa sekitar Rp 300. Itu diperoleh dengan nongkrong menjajakan teh botolnya dari jam 14.00 sampai jam 02.00 dinihari di terminal bis. "Memang menurut guru saya kerja malam kurang sehat. Tapi kalau siang banyak saingan penjual teh botol asli (bukan anak sekolah) dan tentu saya kalah," tuturnya. Ada yang lebih beruntung. Eri Panto, kelas II STM Bukittinggi, sejak tahun lalu kalau libur memanfaatkan waktunya menjadi buruh bangunan: sebagai tukang aduk semen, kapur dan pasir. "Untuk beli pakaian dan buku, sekedar meringankan beban orangtua," katanya agak malu kepada TEMPO. Anak keempat dari enam bersaudara itu terus terang mengakui kalau orangtuanya tak begitu mampu, "padahal dua adik saya tahun ini satu masuk SMP, satu lagi masuk SMA." UNTUK mencari proyek yang membutuhkan tenaga buruh macam dia, memang tak sulit. Kakaknya, Inwarman (24 tahun) sudah bekerja sebagai tukang profesional, yang kebetulan sedang ikut membangun sebuah rumah di Wisma Indah Padang. Tentu saja, upah yang diterimanya hanya setengah dari buruh profesional hanya Rp 700. Meski begitu, ia puas. Mungkin karena keluarganya memang keluarga tukang: ayahnya tukang kayu, dan kakaknya tukang batu. Apa tidak sayang liburan untuk bekerja? "Pokoknya saya dapat duit, untuk meringankan keluarga," katanya tegas. Dia mengaku hanya menggunakan liburan ini untuk istirahat selama tiga hari pertama saja. Selanjutnya direncanakannya menjadi tukang sampai liburan selesai. Amrul Amri, 20 tahun, kelas 11 SMEA Padang lebih beruntung lagi selama liburan ini dia membantu pembukuan seorang agen Koperasi Perikanan Padang. Pekerjaan mengisi waktu libur ini diperolehnya berkat hubungan baik dengan tetangganya, agen tersebut. Penghasilannya minimal sehari Rp 600. Ini kalau lelang ikan tak dimenangkan oleh agen yang dibantunya. Kalau agen yang dibantunya menang -- di Unit Pelelangan Ikan Muara ada 10 agen dia bisa mendapat Rp 2000. Anak kedua dari tiga bersaudara yang ayahnya pegawai percetakan ini, kecuali memperoleh uang sekedar meringankan beban orangtua ada yang lebih penting diperolehnya. "Saya jadi mahir pembukuan, berkat praktek ini. Ini 'kan tidak fiktif seperti soal-soal di sekolahan." Mereka yang mungkin lebih bahagia tak terdorong harus bekerja karena alasan apa pun, bisa menikmati libur dengan lebih santai. Rombongan pelajar dari Probolinggo itu misalnya, nampaknya sangat senang berkesempatan melihat ibu kotanya. Bambang Ikuryanto, kelas III SMP Katolik Probolinggo, misalnya, heran: "Jakarta yang pembangunannya hebat kayak begini kok katanya masih sering banjir." Lain lagi mereka yang tingkat ekonomi orangtuanya mampu membiaya ke mana saja anaknya ingin pergi, me manfaatkan hari libur. Indah Iman Sukoco, siswa SMAN VI Jakarta, libur ini beserta keluarga mengunjungi Singapura. Tak ada yang istimewa, tentu, bagi Indah yang sudah sejak kecil sering ke Hongkong, Taiwan, Jepang dan Filipina, apalagi Singapura. Ayahnya, Presiden Direktur Bank Pasifik, ternyata masih ada hubungan keluarga dengan bekas raja minyak Ibnu Sutowo. Di tahun anak-anak internasional kini, dengan hak-hak asasi anak dicanangkan di mana-mana, libur masih bisa saja semacam kemewahan. Tapi si kecil yang sudah biasa bekerja untuk hidup mungkin kelak akan jadi orang yang lebih berharga daripada mereka yang cuma mengenal bantal empuk. Libur panjang adalah sebuah percobaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus