Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pesantren Kilat

K.h Ishak Farid dari pondok pesantren Cintawana, Tasikmalaya membuka pesantren kilat. Menyelenggarakan pendidikan bagi siswa sekolah umum pondoknya. (pdk)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAH dengar istilah "pesantren kilat"? Nah, inilah contohnya. K.H. Ishak Farid, 55 tahun, kiyai dari Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, memulainya pada 1969. Ia menyelenggarakan pendidikan bagi siswa sekolah umum pondoknya. Semula diadakan hanya tiap libur puasa. Karena banyaknya permintaan, sejak 1977 diselenggarakan dua kali setahun: pada libur puasa dan salah satu libur catur wulan. Dihitung dengan libur panjang kali ini PP Cintawana telah mengadakan sebelas kali pesantren kilat. Jumlah peserta 2282. Jadi rata-rata per periode ada 200 orang. Paling banyak libur puasa tahun lalu 770 peserta. "Libur ini hanya 144 anak. Mungkin karena banyak anak-anak SLTP dan SLTA sibuk mengurus melanjutkan sekolahnya," kata KH Ishak. Ia pun agak pesimis: puasa nanti jumlah peserta makin menurun karena tidak libur penuh. Berdasar catatan Departemen Agama, Indonesia memiliki sekitar 16 ribu Pondok Pesantren. Berapa yang menyelenggarakan pesantren kilat, tak begitu jelas. "Mereka memang tidak wajib lapor," kata orang Departemen Agama. Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Jawa Barat mencatat ada 5 Pondok Pesantren di Jawa Barat yang semula merencanakan menyelenggarakan pesantren kilat pada libur akhir tahun ajaran kini. Tapi hanya terlaksana di 3 pondok: PP Cintawana, PP Tegallega di Sukabumi dan PP Yapis Al-Adzar, Bogor. "Waktunya kurang tepat," kata Mochamad Zaeni Zaenuddin pimpinan PP Daaruttaqwa, Cibinong, yang batal menyelenggarakan pesantren kilat pada libur akhir tahun ajaran Juni/Juli ini. "Keinginan mengikuti pesantren kilat biasanya didorong minat ibadah. Karena diselenggarakan tidak di bulan puasa, minat itu kurang," lanjutnya. Dari Sholeh Iskandar, Ketua BKSPP Jawa Barat, diperoleh alasan lain. "Pengisian libur panjang kali ini agak terburu-buru, karena keputusannya baru dilakukan pada musyawarah BKSPP awal Juni barusan," katanya memberikan alasan kenapa pesantren kilat agak sepi. Tapi PP Pabelan di Muntilan, Magelang, memang sengaja tak mengadakan pesantren kilat kecuali di bulan puasa. Dengan jumlah santri yang lebih 900 orang, PP Pabelan kesulitan tempat apabila harus mengadakan pesantren kilat di luar bulan Ramadhan. Menurut Muhammad Balya, 33 tahun, Staf Admmistrasi PP Pabelan, rata-rata peserta pesantren kilat di pondoknya 400 anak per periode. "Bahkan puasa 1978 kemarin mencapai 700 anak," katanya. Tapi tahun ini ia sangsi, apakah jumlah tersebut bisa dipertahankan. "Mungkin sekali merosot, 'kan nggak ada libur." Rupanya pondok-pondok pesantren memang belum siap menyesuaikan jadwal rutin mereka dengan sistem tahun ajaran baru. Tapi memang untuk mencapai suasana pesantren kilat seperti tahun sebelumnya, kiranya agak sulit. Sekolah-sekolah negeri akan libur panjang setiap akhir tahun ajaran dan hanya beberapa hari libur puasa. Sementara itu sekolah-sekolah Muhammadiyah, misalnya, sebaliknya. PADAHAL manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan tersebut ada, dan tak hanya yang langsung berhubungan dengan agama. Di PP Cintawana misalnya, peserta hanya dibolehkan membawa peralatan yang perlu-perlu saja: pakaian secukupnya, tikar dan bantal untuk tidur, alat-alat tulis-menulis, piring, gelas, sendok dan Al-Qur'an. Tak diperkenankan membawa perhiasan, bahkan kasur pun tak diperkenankan. "Kalau mau melihat cara hidup sederhana, silakan melihat pesantren kilat." kata Dinni Soebandi, dari SMAN III Bandung, yang memanfaatkan liburan ini di pesantren PP Cintawana. Dia juga merasa bahagia karena menjadi terbiasa bangun pagi-pagi. Lain lagi apa yang diperoleh Agus Safruddin "santri kilat" dari SMAN Subang. "Setiap waktu kita bisa bertanya kepada. Kiyai atau ustadz soal-soal yang ingin kita bicarakan atau tanyakan," katanya. Tapi yang lebih penting didapatkan dari pesantren kilat ialah bagaimana seharusnya menjalani hidup sehari-hari. Dan itu tak hanya dikatakan oleh para pengasuhnya tapi langsung bisa disaksikannya sehari-hari. "Teladan hidup sederhana dan berakhlak baik memang menjadi tujuan utama pendidikan pesantren," kata salah seorang Kiyai PP Cintawana. Masih dari PP Cintawana, Dewi Andriani kelas II SMAN V Bandung, merasa lebih taat sembahyang tanpa dipaksa. "Tidak sembahyang sekali saja, rasanya seperti mempunyai utang," kata puteri Bupati Bandung ini. Anak-anak itu -- dari SLTP atau SLTA -- masuk pesantren kilat pada umumnya datang atas kehendak sendiri. Meksipun belum pernah mengadakan penelitian atau angket, Muhammad Balya dari PP Pabelan menduga "niat anak-anak itu memang ingin memperdalam agama, dengan memanfaatkan waktu libur." Bahkan ada yang sudah berniat menjadi santri tetap. Sofyan Fatah siswa SMPN V Bogor, yang baru saja 5 Juli lalu mengakhiri pesantren kilatnya di PP Yapis Al-Adzar, mengaku merasa bahagia karena menjadi rajin sembahyang. "Dan sekarang saya hafal beberapa doa, doa menjelang dan bangun tidur," katanya berseri-seri. Dan mengapa ingin jadi santri tetap? "Setelah merasakan sedikit, eh, akhirnya jadi mau tahu banyak tentang agama," jawab anak seorang anggota ABRI ini. Lain lagi perubahan yang dialami Eka Tejarahmayanti, kelas III SMPN IV Bogor, yang ayahnya bekerja di Mabak dan ibunya Kepala SD Kedunghalang, Bogor. "Saya baru sadar ternyata saya wajib menurut kepada orangtua. Dan insya Allah saya berniat mengikuti pesantren kilat lagi," katanya sambil senyum. Lho, kenapa insya Allah? "Harus begitu, siapa tahu saya besok mati." Dari catatan di PP Cintawana, mereka yang mengikuti pesantren kilat kebanyakan datang dari kota Jakarta, Bogor, Bandung. Dan datang dari keluarga perwira tinggi ABRI, pejabat tinggi pemerintah atau pengusaha swasta. Tak heran, kalau suatu ketika, beberapa hari setelah pesantren kilat berlangsung banyak yang sakit perut dan gatal-gatal tubuhnya. "Mungkin sugesti saja, karena kami biasa memakai air leding dan di sini air sumur. Buktinya setelah biasa juga nggak apa-apa," kata salah seorang di antara mereka. Adapun kurikulum pesantren kilat memang disusun sendiri oleh masing-masing penyelenggara. Di Jawa Barat memang ada pedoman dari BKSPP-nya. Hardi M. Arifin, salah seorang staf pimpinan BKSPP Jabar, menyebut beberapa mata pelajaran: Ilmu Baca Al-Qur'an, Sejarah Nabi-nabi, Praktek Ibadat, Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. "Tapi itu hanya pedoman. Dilaksanakan apa tidak, terserah kelaziman masing-masing pesantren," sambungnya. Yang jelas, kalau pada pendidikan pesantren biasa kurikulum dibagi 50% agama dan 50% pelajaran umum, maka untuk pesantren kilat "seratus persen ditekankan pada segi agamanya." Tapi di PP Pabelan -- yang baru pada bulan puasa saja menyelenggarakan pesantren kilat -- memang agak lain. Kecuali beberapa yang pokok, diberi kesempatan juga meminta apa yang mereka butuhkan. "Misalnya tahun lalu ada yang meminta diajar pidato," kata Balya. Dan di PP Pabelan peserta dibolehkan memilih pelajaran yang dibutuhkannya saja. Karena ada peraturan siswa-siswa kelas V dan VI PP Pabelan dilarang pulang pada libur puasa, masalah tenaga pengajar tak menJadi soal benar. LAIN dengan PP Krapyak, Yogyakarta, yang mengharuskan peserta "pengajian umum" -- begitu istilah mereka untuk pesantren kilat -- mengikuti tes. Tes tersebut untuk menentukan kelompok: ada kelompok setingkat SD, SLP, SLA dan perguruan tinggi. Jadi di PP Krapyak memang lebih mendekati sekolah biasa. Tujuan utama mereka memang "meningkatkan penghayatan agama." Meski begitu pesertanya tak kurang juga: setiap libur puasa rata-rata ada 400 orang -- dan sepertiganya datang dari sekolah-sekolah umum. Yang mungkin sudah mempunyai kurikulum mantap adalah PP Cintawana -- yang oleh BKSPP Jabar memang disebut salah satu pelopor pesantren kilat. Antara lain ada jam diskusi. "Diskusi ini amat bermanfaat," kata Adang Abdullah, mahasiswa IKPP Bandung, ketua Panitia Pendidikan Pesantren Kilat angkatan XI PP Cintawana. "Mendorong anak-anak belajar di perpustakaan, membaca buku-buku yang mengupas topik diskusi." Sedang khusus Jum'at acara olah raga dan kesenian. Pada umumnya pesantren kilat diadakan selama 3 minggu. Untuk itu peserta diwajibkan membayar Rp 15 ribu di PP Cintawana. "Uang tersebut pas untuk makan dan mengadakan diktat." kata Adang. Dan peserta memang tak merasa keberatan mengeluarkan uang sebesar itu. Bahkan Dinni Soebandini heran, "kok uang sebesar itu cukup untuk 3 minggu dan makannya pun bergizi lagi," Di PP Yapis Al-Adzar baik yang menetap dipungut Rp 13 ribu, sedang yang tak menetap hanya dipungut Rp 1.000. Di PP Pabelan, Magelang, lebih murah lagi: hanya Rp 5.500. Ini memang salah satu bentuk pengisian hari libur dengan kegiatan yang bermanfaat. Pun sesuai dengan fungsi libur yang digariskan Menteri P & K, "sebagai waktu beralihnya konsentrasi pendidikan dari sekolah, ke pendidikan pada keluarga dan masyarakat." Soalnya sekarang, bagaimana mengatur waktu antara pesantren kilat dan yang biasa, agar libur panjang yang berlainan waktunya antara sekolah negeri dan yang lain sama-sama memberi kemungkinan siswa-siswanya mengecap manfaat pesantren kilat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus