PERNAH dengar istilah "pesantren kilat"? Nah, inilah contohnya.
K.H. Ishak Farid, 55 tahun, kiyai dari Pondok Pesantren
Cintawana, Tasikmalaya, memulainya pada 1969. Ia
menyelenggarakan pendidikan bagi siswa sekolah umum pondoknya.
Semula diadakan hanya tiap libur puasa. Karena banyaknya
permintaan, sejak 1977 diselenggarakan dua kali setahun: pada
libur puasa dan salah satu libur catur wulan.
Dihitung dengan libur panjang kali ini PP Cintawana telah
mengadakan sebelas kali pesantren kilat. Jumlah peserta 2282.
Jadi rata-rata per periode ada 200 orang. Paling banyak libur
puasa tahun lalu 770 peserta. "Libur ini hanya 144 anak. Mungkin
karena banyak anak-anak SLTP dan SLTA sibuk mengurus
melanjutkan sekolahnya," kata KH Ishak. Ia pun agak pesimis:
puasa nanti jumlah peserta makin menurun karena tidak libur
penuh.
Berdasar catatan Departemen Agama, Indonesia memiliki sekitar 16
ribu Pondok Pesantren. Berapa yang menyelenggarakan pesantren
kilat, tak begitu jelas. "Mereka memang tidak wajib lapor," kata
orang Departemen Agama.
Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Jawa Barat mencatat ada 5
Pondok Pesantren di Jawa Barat yang semula merencanakan
menyelenggarakan pesantren kilat pada libur akhir tahun ajaran
kini. Tapi hanya terlaksana di 3 pondok: PP Cintawana, PP
Tegallega di Sukabumi dan PP Yapis Al-Adzar, Bogor. "Waktunya
kurang tepat," kata Mochamad Zaeni Zaenuddin pimpinan PP
Daaruttaqwa, Cibinong, yang batal menyelenggarakan pesantren
kilat pada libur akhir tahun ajaran Juni/Juli ini. "Keinginan
mengikuti pesantren kilat biasanya didorong minat ibadah. Karena
diselenggarakan tidak di bulan puasa, minat itu kurang,"
lanjutnya.
Dari Sholeh Iskandar, Ketua BKSPP Jawa Barat, diperoleh alasan
lain. "Pengisian libur panjang kali ini agak terburu-buru,
karena keputusannya baru dilakukan pada musyawarah BKSPP awal
Juni barusan," katanya memberikan alasan kenapa pesantren kilat
agak sepi.
Tapi PP Pabelan di Muntilan, Magelang, memang sengaja tak
mengadakan pesantren kilat kecuali di bulan puasa. Dengan jumlah
santri yang lebih 900 orang, PP Pabelan kesulitan tempat
apabila harus mengadakan pesantren kilat di luar bulan Ramadhan.
Menurut Muhammad Balya, 33 tahun, Staf Admmistrasi PP Pabelan,
rata-rata peserta pesantren kilat di pondoknya 400 anak per
periode. "Bahkan puasa 1978 kemarin mencapai 700 anak," katanya.
Tapi tahun ini ia sangsi, apakah jumlah tersebut bisa
dipertahankan. "Mungkin sekali merosot, 'kan nggak ada libur."
Rupanya pondok-pondok pesantren memang belum siap menyesuaikan
jadwal rutin mereka dengan sistem tahun ajaran baru. Tapi memang
untuk mencapai suasana pesantren kilat seperti tahun
sebelumnya, kiranya agak sulit. Sekolah-sekolah negeri akan
libur panjang setiap akhir tahun ajaran dan hanya beberapa hari
libur puasa. Sementara itu sekolah-sekolah Muhammadiyah,
misalnya, sebaliknya.
PADAHAL manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan tersebut ada,
dan tak hanya yang langsung berhubungan dengan agama. Di PP
Cintawana misalnya, peserta hanya dibolehkan membawa peralatan
yang perlu-perlu saja: pakaian secukupnya, tikar dan bantal
untuk tidur, alat-alat tulis-menulis, piring, gelas, sendok dan
Al-Qur'an. Tak diperkenankan membawa perhiasan, bahkan kasur
pun tak diperkenankan. "Kalau mau melihat cara hidup sederhana,
silakan melihat pesantren kilat." kata Dinni Soebandi, dari SMAN
III Bandung, yang memanfaatkan liburan ini di pesantren PP
Cintawana. Dia juga merasa bahagia karena menjadi terbiasa
bangun pagi-pagi.
Lain lagi apa yang diperoleh Agus Safruddin "santri kilat" dari
SMAN Subang. "Setiap waktu kita bisa bertanya kepada. Kiyai atau
ustadz soal-soal yang ingin kita bicarakan atau tanyakan,"
katanya. Tapi yang lebih penting didapatkan dari pesantren kilat
ialah bagaimana seharusnya menjalani hidup sehari-hari. Dan itu
tak hanya dikatakan oleh para pengasuhnya tapi langsung bisa
disaksikannya sehari-hari. "Teladan hidup sederhana dan
berakhlak baik memang menjadi tujuan utama pendidikan
pesantren," kata salah seorang Kiyai PP Cintawana.
Masih dari PP Cintawana, Dewi Andriani kelas II SMAN V Bandung,
merasa lebih taat sembahyang tanpa dipaksa. "Tidak sembahyang
sekali saja, rasanya seperti mempunyai utang," kata puteri
Bupati Bandung ini.
Anak-anak itu -- dari SLTP atau SLTA -- masuk pesantren kilat
pada umumnya datang atas kehendak sendiri. Meksipun belum pernah
mengadakan penelitian atau angket, Muhammad Balya dari PP
Pabelan menduga "niat anak-anak itu memang ingin memperdalam
agama, dengan memanfaatkan waktu libur." Bahkan ada yang sudah
berniat menjadi santri tetap. Sofyan Fatah siswa SMPN V Bogor,
yang baru saja 5 Juli lalu mengakhiri pesantren kilatnya di PP
Yapis Al-Adzar, mengaku merasa bahagia karena menjadi rajin
sembahyang. "Dan sekarang saya hafal beberapa doa, doa menjelang
dan bangun tidur," katanya berseri-seri. Dan mengapa ingin jadi
santri tetap? "Setelah merasakan sedikit, eh, akhirnya jadi mau
tahu banyak tentang agama," jawab anak seorang anggota ABRI ini.
Lain lagi perubahan yang dialami Eka Tejarahmayanti, kelas III
SMPN IV Bogor, yang ayahnya bekerja di Mabak dan ibunya Kepala
SD Kedunghalang, Bogor. "Saya baru sadar ternyata saya wajib
menurut kepada orangtua. Dan insya Allah saya berniat mengikuti
pesantren kilat lagi," katanya sambil senyum. Lho, kenapa insya
Allah? "Harus begitu, siapa tahu saya besok mati."
Dari catatan di PP Cintawana, mereka yang mengikuti pesantren
kilat kebanyakan datang dari kota Jakarta, Bogor, Bandung. Dan
datang dari keluarga perwira tinggi ABRI, pejabat tinggi
pemerintah atau pengusaha swasta. Tak heran, kalau suatu ketika,
beberapa hari setelah pesantren kilat berlangsung banyak yang
sakit perut dan gatal-gatal tubuhnya. "Mungkin sugesti saja,
karena kami biasa memakai air leding dan di sini air sumur.
Buktinya setelah biasa juga nggak apa-apa," kata salah seorang
di antara mereka.
Adapun kurikulum pesantren kilat memang disusun sendiri oleh
masing-masing penyelenggara. Di Jawa Barat memang ada pedoman
dari BKSPP-nya. Hardi M. Arifin, salah seorang staf pimpinan
BKSPP Jabar, menyebut beberapa mata pelajaran: Ilmu Baca
Al-Qur'an, Sejarah Nabi-nabi, Praktek Ibadat, Sejarah Masuknya
Islam ke Indonesia. "Tapi itu hanya pedoman. Dilaksanakan apa
tidak, terserah kelaziman masing-masing pesantren," sambungnya.
Yang jelas, kalau pada pendidikan pesantren biasa kurikulum
dibagi 50% agama dan 50% pelajaran umum, maka untuk pesantren
kilat "seratus persen ditekankan pada segi agamanya." Tapi di PP
Pabelan -- yang baru pada bulan puasa saja menyelenggarakan
pesantren kilat -- memang agak lain. Kecuali beberapa yang
pokok, diberi kesempatan juga meminta apa yang mereka butuhkan.
"Misalnya tahun lalu ada yang meminta diajar pidato," kata
Balya. Dan di PP Pabelan peserta dibolehkan memilih pelajaran
yang dibutuhkannya saja. Karena ada peraturan siswa-siswa kelas
V dan VI PP Pabelan dilarang pulang pada libur puasa, masalah
tenaga pengajar tak menJadi soal benar.
LAIN dengan PP Krapyak, Yogyakarta, yang mengharuskan peserta
"pengajian umum" -- begitu istilah mereka untuk pesantren kilat
-- mengikuti tes. Tes tersebut untuk menentukan kelompok: ada
kelompok setingkat SD, SLP, SLA dan perguruan tinggi. Jadi di PP
Krapyak memang lebih mendekati sekolah biasa. Tujuan utama
mereka memang "meningkatkan penghayatan agama." Meski begitu
pesertanya tak kurang juga: setiap libur puasa rata-rata ada 400
orang -- dan sepertiganya datang dari sekolah-sekolah umum.
Yang mungkin sudah mempunyai kurikulum mantap adalah PP
Cintawana -- yang oleh BKSPP Jabar memang disebut salah satu
pelopor pesantren kilat. Antara lain ada jam diskusi. "Diskusi
ini amat bermanfaat," kata Adang Abdullah, mahasiswa IKPP
Bandung, ketua Panitia Pendidikan Pesantren Kilat angkatan XI PP
Cintawana. "Mendorong anak-anak belajar di perpustakaan, membaca
buku-buku yang mengupas topik diskusi." Sedang khusus Jum'at
acara olah raga dan kesenian.
Pada umumnya pesantren kilat diadakan selama 3 minggu. Untuk itu
peserta diwajibkan membayar Rp 15 ribu di PP Cintawana. "Uang
tersebut pas untuk makan dan mengadakan diktat." kata Adang. Dan
peserta memang tak merasa keberatan mengeluarkan uang sebesar
itu. Bahkan Dinni Soebandini heran, "kok uang sebesar itu cukup
untuk 3 minggu dan makannya pun bergizi lagi," Di PP Yapis
Al-Adzar baik yang menetap dipungut Rp 13 ribu, sedang yang tak
menetap hanya dipungut Rp 1.000. Di PP Pabelan, Magelang, lebih
murah lagi: hanya Rp 5.500.
Ini memang salah satu bentuk pengisian hari libur dengan
kegiatan yang bermanfaat. Pun sesuai dengan fungsi libur yang
digariskan Menteri P & K, "sebagai waktu beralihnya konsentrasi
pendidikan dari sekolah, ke pendidikan pada keluarga dan
masyarakat." Soalnya sekarang, bagaimana mengatur waktu antara
pesantren kilat dan yang biasa, agar libur panjang yang
berlainan waktunya antara sekolah negeri dan yang lain sama-sama
memberi kemungkinan siswa-siswanya mengecap manfaat pesantren
kilat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini