Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lima Episode yang Mematikan

Poso di Sulawesi Tengah berkobar lagi. Dua belas tewas. Lemahnya penyelesaian konflik sepele membuat api kecil menjadi besar.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua pekan ini Idrus Salim kena wajib ribath. Badannya yang kurus kelihatan layu, tapi lelaki berjenggot separuh abad ini tak bisa menghindar dari kewajiban berjaga malam seperti warga lain di Sayo, Kecamatan Poso Kota. Malam belakangan makin mengerikan. Damai yang sempat datang setelah Deklarasi Malino ditandatangani Desember tahun lalu sudah hilang pergi. Kelompok muslim dan Kristen kembali terseret pusaran kekerasan yang mematikan (lihat infografik Kekerasan Setelah Malino). Kabupaten dengan penduduk sekitar 370 ribu jiwa itu nyaris kembali seperti sebelum konflik besar pada 1998. Portal dan barikade yang semula sudah disingkirkan kembali dipasang di jalan-jalan. Ekonomi macet. "Semula saya sudah bisa badagang, tapi kini terpaksa baronda lagi," kata Idrus, yang kini bergabung dengan Laskar Jihad setempat. Hidup Idrus terganggu setelah penyerangan di Desa Matako, Kecamatan Tojo, 4 Agustus silam. Penyerbuan oleh kelompok orang tak dikenal membuat desa itu terbakar, puluhan penduduknya luka tembak. Setelah itu, kerusuhan terjadi susul-menyusul. Teror oleh kelompok misterius dilakukan dengan cepat dan terampil, seperti yang terjadi di Desa Sepe-Silanca dan Desa Batugencu di kawasan Tentena, Senin malam, 12 Agustus pekan lalu. Serbuan didahului pemadaman lampu, disusul penembakan dan pembakaran. Di tempat kejadian juga ditemukan selongsong peluru dari senjata organik militer. Kekerasan dan kematian bisa datang semaunya. Bahkan datang bergelombang. Sejak kerusuhan besar pada Desember 1998, sudah empat gelombang kekerasan menyusul. Yang terakhir terjadi November tahun lalu. Siapa pun di sana merasa hidup dalam ancaman. Termasuk Hamzah, sopir truk yang sudah delapan tahun melintasi berbagai jalur di Sulawesi Tengah. Ia bukan saja takut bom dan tembakan, tapi tak tahan dengan kutipan liar. Kutipan oleh massa bersenjata rakitan itu makin brutal. Besarnya mereka tentukan seenaknya. Di tiap pos bisa Rp 3.000 sampai Rp 20.000. Padahal, sepanjang rute yang biasa dilalui Hamzah ada 40 pos. Dikawal aparat? "Aparat juga belum berani mengawal," kata lelaki 38 tahun ini. Hamzah pusing, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla pun tujuh keliling. Penggagas Deklarasi Malino I ini membuat pertemuan dengan para deklarator di Palu Golden Hotel, 11 dan 12 Agustus silam. Mereka sepakat membangun perdamaian mulai dari awal lagi. "Apa sesungguhnya yang terjadi di antara kita? Kita seperti kembali lagi ke nol," kata Jusuf Kalla dengan nada marah. Ya, apa yang terjadi? Beragam. Ada yang berpendapat pemerintah daerah kurang sigap menuntaskan konflik-konflik lokal sehingga cepat membesar. Ada yang beranggapan bahwa aspirasi rakyat kurang diakomodasi, misalnya dalam kasus pemilihan sekretaris wilayah daerah Poso. Selama konflik, ada sekitar 40 orang dari kedua agama di sana yang ditangkap dan diadili—termasuk Fabianus Tibo yang dijatuhi hukuman mati—tapi rupanya akar masalah tak terjamah. Malino sempat memberi harapan, tapi akhirnya tak sanggup menahan ledakan bom dan senapan. Apalagi bila sang pelaku adalah gerombolan bersenjata misterius seperti yang menyerang Desa Sepe. Siapa mereka? Kepala Bagian Serse Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Ricky Wakano, menyatakan sudah tahu identitasnya, tapi tak bersedia menjelaskannya lebih lanjut. "Yang terang, kelompok itu sangat kuat karena dilindungi oleh pihak tertentu," katanya. Jusuf Kalla berpendapat serupa. "Yang jelas, bukan masyarakat di sana," katanya. Dua pejabat itu seakan mau bilang ada pasukan "asing" berkeliaran di Poso. Sejak Juni lalu memang ada 12 orang pasukan Sandi Yudha dari Kopassus yang turun ke Poso. Namun, menurut keterangan resmi, mereka ditugasi mengamati para turis yang diduga menjadi bagian dari kekuatan pasukan asing (lihat Aksi Pasukan Misterius). Tetap tak jelas siapa bikin ulah. Tapi ancaman sudah dipatok. Panglima Kodam Wirabuana, Mayjen Amirul Isnaeni, bekas Komandan Jenderal Kopassus yang belum lama duduk di posnya, mengeluarkan ancaman tembak di tempat bagi perusuh di Poso. Ancaman yang sebenarnya tidak perlu jika hal-hal sepele cepat diredam oleh penguasa setempat. Betapa sepelenya kejadian yang memicu ledakan pertama. Sekelompok orang memukul seorang pemuda yang kedapatan tidur di Masjid Darussalam, Sayo, Kota Poso, pada dini hari 25 Desember 1998. Akibatnya tak masuk akal. Toko-toko minuman keras dan tempat hiburan malam digeledah. Beberapa bangunan dibakar. Kerusuhan gelombang kedua, mulai 16 April 2000, juga dipicu oleh hal remeh. Menurut S. Sinansari Ecip, wartawan senior dan dosen Universitas Hasanuddin, dalam buku Rusuh Poso Rujuk Malino, dua episode konflik itu mungkin berkaitan dengan konflik elite politik setempat. Ketika konflik terjadi, memang sedang ada pemilihan bupati dan sekretaris wilayah daerah. Di koran lokal Mercusuar (15 April 2000), Haelani Umar, seorang anggota DPRD, menyatakan Poso akan rusuh lagi karena aspirasi rakyat yang menginginkan calon tertentu tidak didengar. Namun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang melakukan investigasi atas Poso pada 1999, menyatakan tidak ada bukti keterlibatan elite politik lokal. Komisi ini berpendapat, konflik tersebut disebabkan oleh salah komunikasi saja. Belum lagi salah komunikasi itu diluruskan, kekerasan episode ketiga datang. Serangan datang dari gerombolan pemuda berpakaian hitam-hitam yang dipimpin oleh Fabianus Tibo, 24 Mei 2001, ke Kota Poso. Episode keempat dan lima, Juli dan November 2001, lebih mengerikan, lebih terorganisasi, dan menggunakan senjata rakitan. Pasukan merah (Kristen) dan putih (Islam) saling serang dan menduduki wilayah-wilayah yang semula dikuasai "musuhnya". Maka, Poso pun kembali ke titik awal. Penyebab konflik harus dicari, tapi yang terpenting darah mengalir harus secepatnya disetop. Perundingan semacam Malino bisa dilakukan lagi. Dan, seperti kata Jusuf Kalla, hukum perlu ditegakkan lagi. Bina Bektiati, Tomi Lebang (Jakarta), Darlis Muhammad (Poso), Syarief Amir (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus