Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Tak Henti Jadi Korban Intoleransi

Warga Ahmadiyah sering menjadi korban tindakan intoleransi dan diskriminasi. Pemerintah harus proaktif memberi pelindungan.

6 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI berjenggot tebal itu memperkenalkan diri dengan nama Anom Tulus Manembah. Ia adalah mubalig Ahmadiyah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sudah setahun ia tinggal Jakarta. "Saya mendapat ancaman pembunuhan (di Sintang),” kata Anom saat ditemui di Masjid Al Mubarak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, kemarin. “Wajah saya disebar di Facebook.”

Atas saran seorang teman, kata Anom, ia memboyong keluarganya ke Jakarta. Mereka tinggal di sebuah ruangan yang berada di bawah Masjid Al Mubarak. “Ini ruangan dinas, bukan rumah. Memang biasa dimanfaatkan para mubalig untuk menginap,” katanya.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anom sudah menjadi mubalig Ahmadiyah di Kabupaten Sintang sejak 2010. Ia menjalankan kegiatan keagamaan di Masjid Miftahul Huda yang berada di Desa Balai Harapan. Ia, termasuk warga Ahmadiyah yang lain, kerap mendapat perlakuan buruk dari masyarakat setempat. “Di jalan dilempar batu itu sudah biasa,” ujar Anom. “Kami benar-benar dikucilkan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bila ada warga non-Ahmadiyah berkunjung ke kediaman warga Ahmadiyah, kata Anom, dia akan dicurigai, bahkan diinterogasi. “Kami tidak boleh membagikan daging kurban. Penerima daging kurban akan ditanya, dari mana ini? Kemudian diminta di-balikin atau dibuang,” katanya. 

Perlakuan buruk terhadap warga Ahmadiyah itu berhubungan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri—Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung—pada 2008. Secara umum, SKB itu melarang jemaah Ahmadiyah menyebarkan ajaran mereka. “Dengan kata lain, SKB Tiga Menteri itu (menyatakan) Ahmadiyah adalah aliran sesat dan dilarang,” kata Anom.

Anom melanjutkan, sampai 2020, sebetulnya tidak ada larangan bagi warga Ahmadiyah beribadah di Masjid Miftahul Huda. Kegiatan di dalam masjid masih diizinkan asalkan tidak mengundang warga Ahmadiyah dari luar kabupaten. Namun suasana berubah ketika pengurus Ahmadiyah berencana membangun masjid karena masjid yang lama sudah lapuk dimakan usia. “Kami berencana memindahkan masjid. Tidak jauh, hanya 20 meter dari masjid lama,” katanya. 
 
Rencana pembangunan masjid itu mendapat penolakan. Gelombang protes datang bertubi-tubi. Pemerintah Kabupaten Sintang kemudian menyegel bangunan. “Tapi mereka (kelompok intoleran) tidak puas. Mereka ingin kegiatan Ahmadiyah dilarang,” ujar Anom.

Masjid Miftahul Huda milik jemaah Ahmadiyah yang dirusak di Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, September 2021. Istimewa

Puncaknya pada 3 September 2021. Sekitar 70 orang mendatangi masjid dan menyerang. Bangunan di sekitar masjid dibakar. Petugas yang berjaga di sekitar lokasi tidak mengambil tindakan apa pun. Mereka membiarkan massa bertindak anarkistis. “Penyerangan berhenti karena hujan lebat turun,” kata Anom. 
 
Sejak kejadian itu, warga Ahmadiyah mengalami trauma. Mereka takut untuk pergi ke tempat yang ramai. “Untuk ke pasar saja, mereka tidak berani,” kata Anom. Padahal banyak warga Ahmadiyah yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka benar-benar tidak bisa mencari nafkah karena diboikot oleh kelompok intoleran.


Forkopimda Minta Ahmadiyah Dilarang

Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Sintang pada 26 Januari 2023 menerbitkan kesepakatan. Mereka mendesak pemerintah kabupaten menerbitkan Surat Edaran Bupati yang melarang kegiatan-kegiatan Ahmadiyah. Kelompok intoleran memanfaatkan tahun politik untuk menekan kepala daerah.  

Juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana, mengatakan ada lima kasus kekerasan keyakinan terhadap warga Ahmadiyah selama 2022. Lima kasus itu terdiri atas tiga kasus lama yang belum ada solusi konkret dari pemerintah dan dua kasus baru. 

Tiga kasus lama itu adalah pengungsi Ahmadiyah di NTB yang ditempatkan di Asrama Transito, Kota Mataram; penyegelan Masjid Al-Hidayah Sawangan; serta penyegelan masjid dan Madrasah Diniyah di Parakansalak, Kabupaten Sukabumi. “Sedangkan kasus baru hanya lanjutan di Sintang, Kalbar; dan Nyalindung, Garut,” kata Yendra.

Peneliti kebebasan beragama atau berkeyakinan dari Setara Institute, Syera Anggreini Buntara, mengatakan Ahmadiyah adalah aliran yang paling sering menjadi korban tindakan intoleransi dan diskriminasi. Selama 2007-2022, terdapat 591 kasus pelanggaran kebebasan beragama terhadap komunitas Ahmadiyah.

Bentuk pelanggaran itu dari kekerasan dan intimidasi, larangan beribadah, penyerangan rumah ibadah, diskriminasi dalam pelayanan publik, intoleransi, represi serta pembiaran negara, hingga tindakan oleh kelompok masyarakat.

Setara mengecam tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Forkopimda Kabupaten Sintang. Menurut Syera, tindakan itu tidak sesuai dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh UUD 1945, terutama Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 29 ayat 2. “Pemerintah harus proaktif melindungi dan menjamin hak konstitusional tersebut, alih-alih merestriksi dan mendiskriminasi mereka,” kata Syera.

Setara juga mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegur Forkopimda Kabupaten Sintang. “Pemerintah daerah tidak boleh bertindak diskriminatif,” katanya. “Pemerintah tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok tertentu yang bertentangan dengan semangat toleransi dan kebebasan beragama.”  

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Rumadi Ahmad, menyampaikan bahwa kepala daerah harus mendengar arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional Forkopimda di Sentul, Bogor, 17 Januari lalu. Jokowi waktu itu mengingatkan kepala daerah agar bisa menjamin kebebasan beragama dan beribadah seluruh umat beragama. Jokowi menegaskan kebebasan beragama dijamin konstitusi.

Rumadi mengatakan situasi kehidupan keagamaan sekarang jauh lebih baik. Jangan sampai ada pimpinan daerah yang membuat situasi jadi tidak kondusif. “Apalagi menjelang tahun politik, semua harus bahu-membahu untuk menjaga situasi agar kondusif,” kata Rumadi.

Rumadi mengatakan pihaknya terus memantau perkembangan keputusan Forkopimda soal pelarangan Ahmadiyah itu. Namun, sejauh ini, pihaknya masih mempercayakan penyelesaian masalah ini kepada pemerintah daerah.  

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus