PROTES dengan cara membakar diri biasanya jarang terjadi. Tapi entah kenapa sepanjang awal Agustus ini saja, sedikitnya dua orang telah melakukan perbuatan nekat itu. Seorang di Surabaya, dan satunya lagi di Semarang. Di Surabaya, yang bernasib buruk itu adalah Marlikah. Wanita tua berumur 57 tahun itu, suatu hari, tiba-tiba saja lari ke dapur, kemudian menyiram dirinya dengan minyak tanah, lantas membakar diri. Selanjutnya ia hanya bisa berguling-guling di lantai, dan melolong kesakitan. Api sempat melalap beberapa perabot dapur. Para tetangga berhamburan datang, mencoba menyelamatkan Marlikah, lalu melarikannya ke RS Dr. Sutomo. Rambut dan kulitnya mengelupas. Tiga hari kemudian, 6 Agustus lalu, pembantu pada keluarga Ny. Siti Rochani di permukiman Simolawang Barat II, Surabaya, itu tewas. Sebelum maut menjemputnya, Marlikah sempat mengeluh. "Kalau saya mencuri kalung itu, ya untuk apa? Saya ini toh hanya butuh makan," katanya, dengan suara sangat lemah, sembari mcnahan pedih -- di badan dan hatinya. Agaknya ia merasa terhina oleh Ny. Siti, majikannya sendiri, yang telah diabdinya selama 27 tahun, gara-gara tuduhan mencuri seuntai kalung emas. Bakar diri itu tampaknya dilakukan wanita tanpa keluarga, tanpa keturunan, itu setelah gagal meyakinkan majikannya. Bahkan sampai bersumpah sumpah segala, bahwa dirinya bukan pencuri kalung itu. Hari itu, Senin 3 Agustus lalu, Ny. Siti pagi-pagi sudah ribut tak keruan, lantaran kalung emas kesayangannya hilang. Semua pojok rumah sudah ia periksa, segala lubang dan sela tak luput pula dari perhatiannya. Tapi barang itu tak ketemu juga. Janda yang sehari-hari berdagang di Pasar Pabean, Surabaya, ini jadi sewot sendiri. Dukun ia hubungi. Konon, seperti yang kemudian dituturkan oleh seorang tetangganya, atas petunjuk sang dukun, pencurinya tak lain adalah orang dalam juga. Yaitu Marlikah. Ny. Siti yakin, Marlikah-lah pencurinya. Apa pun yang dikatakan Marlikah, sampai disertai sumpah segala, tak berguna lagi. Pagi itu juga, dalam suasana gaduh adu kata, seluruh tubuh Marlikah digeledah Ny. Siti. Pakaian Marlikah memang sempat dilucuti. Yang membuat Marlikah malu tak tertahankan adalah karena para tetangga menyimak keributan pagi hari itu. Cuma mereka tidak ikut campur. Setelah pembantu tua yang tak berdaya menghadapi majikannya itu membakar diri dan melolong kesakitan, dan rumah Ny. Siti jadi ramai oleh pekikan panik, barulah para tetangga berdatangan masuk. Sesudah peristiwa itu, Ny. Siti, yang tergolong paling berada di lingkungannya, tak mau banyak bicara. Penjelasannya perihal kebakaran di dapurnya yang menghabisi nyawa Marlikah adalah bukan karena pembantunya itu membakar diri. Tapi ada kompor meledak dan Marlikah mencoba menyelamatkan keadaan. "Tapi ia sendiri jadi ikut terbakar," katanya kepada TEMPO. "Selebihnya, tanyakan saja ke polsek. Masalah ini sudah ditangani polisi." Hanya itu. Sementara itu, kejadian bakar diri yang di Semarang, menyangkut seorang penganggur, Suciptanto, 30 tahun. Lelaki tanpa pekerjaan itu ditinggalkan istrinya yang pulang ke rumah orangtuanya di Blora bersama satu-satunya anak mereka. Ia sendiri tinggal di rumah ibunya yang beberapa bulan terakhir ini lebih banyak tinggal di Brebes. Anak kelima dari delapan bersaudara itu seperti sengaja disingkirkan oleh saudara-saudaranya. Sebagian kakak dan adiknya, kendati masih dalam satu kota, lebih suka tinggal di tempat lain. Sehari-hari, Suciptanto, lulusan Pendidikan Ahli Teknik Universitas Diponegoro, hanya menghadapi kekosongan dan kelengangan di rumahnya -- barangkali juga di hatinya. Maka, Sabtu siang 8 Agustus lalu, ia membakar diri. Belum jelas, kenapa ia melakukan perbuatan nekat itu. Para pegawai CV Aneka Ilmu, yang kantornya berseberangan dengan rumah Suciptanto, sempat repot ketika mencoba menolong, karena semua pintu terkunci dari dalam. Orang-orang yang tengah bekerja itu bergerak setelah mendengar jeritan kesakitan dari seberang. Tengah malam, hari itu juga, Suciptanto meninggal di RS Dr. Kariadi, dalam kondisi mengenaskan, tanpa setahu anak dan istrinya. Bahkan ibunya, Ny. Suwitodihardjo tiba di Semarang hari Minggu lewat tengab hari keesokannya, bukan karena kabar anaknya tewas, tetapi kebetulan saja. "Saya tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu," katanya. Menjadi pengangguran pada zaman sekarang memang tak menyenangkan. Apalagi bila sudah punya tanggungan keluarga. Soalnya bila benar bunuh diri itu karena kesal tak punya pekerjaan, maka kepada siapa protes Suciptanto itu mesti dialamatkan? Mohamad Cholid Laporan Biro Jatim dan Jateng
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini