PRIYANTO, 50 tahun, tampak putus asa. "Saya tak ikut pawai tahun ini," katanya lirih. Tukang becak dari Tapen Nusukan, Solo, itu sia-sia mencari foto Bung Hatta ke mana-mana. "Kalau mencari gambar Bung Karno gampang. Tapi gambar Bung Hatta sangat sulit," kata pendukung PDI yang mengaku setiap tahun ikut karnaval merayakan 17 Agustus dengan mengarak foto Bung Karno. Tapi tahun ini Panitia Peringatan HUT Kemerdekaan Kota Madya Solo melarang peserta karnaval -- yang diadakan di kota itu 18 Agustus -- mengarak gambar Bung Karno (BK). Dalam surat edaran untuk masyarakat yang disampaikan melalui RT, antara lain dikatakan, bila ada yang ingin membawa gambar tokoh proklamator dalam karnaval harus lengkap: gambar Soekarno-Hatta. Kalau yang dibawa cuma foto BK? "Tidak boleh," kata Wali Kota Madya Solo, R. Hartomo, kepada TEMPO Sabtu pekan lalu. Gambar BK harus selalu didampingi gambar Bung Hatta, karena keduanya adalah dwitunggal proklamator. "Ini dalam rangka peringatan hari ulang tahun proklamasi," kata Wali Kota. Tanpa Bung Hatta, foto BK juga dilarang menghias gapura-gapura yang biasa didirikan di semua kampung untuk memperingati hari keramat ini. "Kita akan menghadapi sidang umum MPR yang membutuhkan kemantapan stabilitas nasional," ujar Hartomo. Karena itu pula, dalam pawai karnaval di Solo tersebut, segala macam teriakan dan yel tak diperbolehkan. Kebijaksanaan itu untuk menghindari usaha mengkultusindividukan BK. Maka, di kantor-kantor milik pemerintah tak boleh pula digantungkan foto BK. Kata Hartomo, "Kalau mau memasang di rumah masing-masing, dua puluh gambar pun tak dilarang." Gubernur Jawa Tengah, Ismail, belum mengetahui kebijaksanaan yang diambil bawahannya di Solo, tapi diduganya bahwa Wali Kota ingin mendudukkan pengertian pahlawan secara positif. "Jangan sampai gambar Bung Karno yang seharusnya ditaruh di tempat yang terhormat, tapi lalu kemlarah, sampai menimbulkan kesan yang sebaliknya," katanya pada TEMPO. Untuk menghormati BK sebagai pahlawan -- juga pahlawan-pahlawan lainnya -- Gubernur itu mengingatkan, "Ada ajaran dari Pak Harto, mikul duwur, mendem jero alias kita junjung tinggi dan hormati hal-hal yang baik, dan kita kubur dalam-dalam yang tidak baik, agar jangan berbau," ujarnya. Larangan mengarak foto BK itu sempat mengagetkan Wakil Ketua DPRD Solo, Yuslam Badres. Tapi setelah mengetahui duduk soalnya, tokoh PDI ini menerimanya sebagai suatu hal yang bijaksana. "Kalau mengarak foto BK sebagai pahlawan proklamator, memang harus disertai gambar Bung Hatta, sebab kedua tokoh itulah yang menandatangani proklamasi," ujarnya. Popularitas BK, terutama di kalangan muda, belakangan memang meningkat. Itu terlihat pada waktu kampanye PDI menjelang pemilu yang lalu. Tentu, ini tak lepas dari sikap pemerintah terhadap tokoh ini. Presiden Soeharto, diketahui luas, telah bersikap mikul duwur, mendem jero terhadap BK. Rehabilitasi makam BK di Blitar dilaksanakan oleh pemerintah. Bersama Bung Hatta, BK diangkat sebagai pahlawan proklamator -- kedua nama itu kemudian diabadikan untuk nama bandara internasional di Cengkareng. Bila kini muncul sikap berhati-hati terhadap "kebangkitan kembali" BK, tentu ada alasannya Seperti yang pernah diungkapkan Mayjen Saiful Sulun. Menurut dia, penting sekali menempatkan fakta sejarah yang tepat dan benar. "Agar masyarakat, terutama generasi muda, tak menganggap Bung Karno sebagai dewa yang tak pernah punya kesalahan. Berbicara dalam berbagai acara perpisahan dengan masyarakat Jawa Timur sebelum menyerahterimakan jabatannya sebagai Pangdam V Brawijaya, awal Agustus, Saiful melihat ada keinginan orang tertentu untuk mengkultuskan BK dan sekaligus menghidupkan kembali marhaenisme yang sudah dilarang. Dia tak menjelaskan siapa dan dari kelompok mana mereka, tapi, kepada TEMPO, Saiful Sulun berkata, "Sebagai pihak keamanan, kami menilai usaha seperti itu ada, sehingga sejak awal semua pihak perlu diingatkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini