KAMAR kecil berukuran 3 x 3 meter itu kini sclalu tertutup rapat. Gelap, sumpek, dan berbau apek. Di situlah, di atas sehelai tikar, Samid Sani, 55 tahun, duduk sendirian. Pemilik penggilingan padi Sritani di Desa Sumberkidul, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu sampai pekan ini sudah hampir sebulan berpuasa, memprotes Pemda. Tubuhnya kelihatan lemah. Hanya bercelana hitam tak berbaju, tulang iga lelaki bertubuh tinggi itu bertonjolan. Ketika ditimbang, berat tubuhnya cuma 43 kg. berarti setelah tiga minggu menghentikan makan dan minum, Samid kehilangan bobot 12 kg. "Dulu waktu ditimbang dengar penimbang gabah, berat Bapak 55 kg," ujar Ny. Sani, 45 tahun, istrinya. Samid mulai mogok makan sejak 22 Juli lalu, setelah delapan hari sebelumnya, Pemda Cirebon menyegel mesin penggilingan padi di samping rumahnya. Tapi tak sepenuhnya dia berhenti makan dan minum seperti tekadnya semula. Terkadang mogok itu berhenti bila ada orang datang dan memberi janji penggilingan padi itu bisa dibuka kembali. Misalnya, lima hari setelah dia "berpuasa", pengacaranya, Ricky Umar Angkawijaya, berhasil membujuk. "Percayalah, kami akan membantu membuka kembali penggilingan padi ini. Tapi kamu lebih baik makan dulu," kata Ricky. Samid pun menelan dua-tiga sendok bubur nasi yang disediakan istrinya. Sehabis itu, sebatang rokok disedotnya. "Perut saya perih," keluhnya, setelah berbuka. Kepala Desa M. Kasrun juga pernah berhasil membujuk Samid setelah 12 Agustus yang lalu Kasrun menyurati Camat, meminta agar penutupan penggilingan padi itu dipertimbangkan. Besoknya, tahu bahwa Pemda Cirebon tetap tak mengubah putusan, Samid lantas menolak makan sekalian mengunci diri di kamar sumpek. Pemeriksaan yang dilakukan dr. Sumandi Kasidin pada Rabu pekan lalu menunjukkan bahwa tekanan darah Samid normal, 130/80. Kesadarannya juga masih baik. Kepala Puskesmas Kecamatan Babakan itu sengaja dibawa wartawan TEMPO, Hasan Syukur untuk memeriksa kondisi tauke kilang padi yang malang itu. Untuk bertahan hidup, Samid membutuhkan 1.200 kalori/hari, atau sama dengan 4 sampai 5 sendok nasi sehari. "Itu pun dalam keadaan dia terus-menerus tiduran," kata dr. Sadoso Sumosardjuno, ahli kesehatan olah raga itu. Artinya, tanpa gerakan yang membutuhkan banyak kalori. Tak salah kalau dr. Sumandi tadi khawatir, "Kalau Pak Samid mogok makan terus, saya khawatir dia akan mati," katanya. Dia tak berani meramal, karena ketahanan fisik tiap orang tak sama. Tampaknya, bagi Samid penggilingan padi itu adalah segala-galanya. Sebab, untuk mendirikannya dia terpaksa menjual semua hartanya yang berharga, satu setengah hektar sawah, empat ekor kerbau, dan 30 ton padi. Tapi itulah, pabrik dengan bangunan 8 x 10 meter sudah dioperasikannya Juni tahun lalu, padahal surat izin baru diminta ke Pemda Cirebon pada November 1986. Itu pun setelah sebelumnya tim Pemda memergokinya. Sebetulnya perbuatan pengusaha kecil yang buta huruf itu tak terlalu luar biasa. Menurut sebuah sumber di kabupaten itu ada 600-an pabrik huller yang sebagian besar -- terutama pabrik kecil di desa-desa tanpa surat izin. Samid kemudian mendapatkan surat izin 5 Maret yang lalu, tapi lokasinya ditunjuk Pemda di tempat lain, 200 m dari pabrik yang sekarang, di atas tanah milik Almarhum Haji Rasmi. Sebelumnya, ahli waris haji itu sudah menyetujuinya tatkala ia dibujuk petugas Pemda agar memberi izin. Tapi belakangan ia berbalik. "Ketika itu orang Pemda bilang cuma untuk formalitas agar surat izin Samid keluar. Ya, kami setuju. Kalau benar-benar, ya terang kami tak setuju," kata Edi Jaja, cucu Haji Rasmi. Mengapa pabrik itu harus di tanah orang? Rupanya, ini menyangkut soal izin gangguan (HO). Samid memang sudah mendapat persetujuan dari 10 tetangganya yang tinggal di sekeliling pabrik. Ternyata ada seorang yang kemudian diam-diam mengirim surat protes ke Pemda. "Kami dibuat bising, anak kami menderita sesak napas, diduga karena debu pabrik itu, kata Dultauhid yang tinggal persis di belakang pabrik. Setelah diteliti Pemda, pabrik yang terletak di tengah lingkungan yang padat penduduk itu memang dianggap mengganggu. Belakangan surat izin tetap dikeluarkan, tapi untuk lokasi yang baru. Persoalan timbul, sebab dalam surat izin tersebut ditulis: penggilingan padi itu diizinkan didirikan di atas "tanah milik sendiri". Merasa tak memilik tanah lain selain di tanahnya yang sekarang ditinggalinya, Samid pun tak mau memindahkan pabrik sebab tak punya lokasi lain. Samid kemudian menunjuk pengacara menggugat Pemda di pengadilan. Suasana tegang jadinya. Serombongan anggota Tibum dikerahkan menyegel pabrik itu 14 Juli yang lalu. "Lebih baik saya mati kalau sumber nafkah saya ditutup," kata Samid. Maka, mulailah ia melakukan mogok makan. Tampaknya, Sekwilda Cirebon, Drs. Nuhriyana Kusnadi, meragukan ancaman Samid. Kabarnya, ia sudah mengirimkan informan untuk menyelidiki apakah Samid benar-benar mogok makan. Katanya, "Kalau benar mogok makan, tiga hari saja pasti ia sudah dibawa ke rumah sakit." Amran Nasution Laporan Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini