Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK butuh waktu lama bagi Syafi'i untuk mengingat kembali kejadian empat tahun silam. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, ini dengan tangkas menjelaskan rangkaian prosesi pencatatan pernikahan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, dengan gadis 19 tahun, Dipta Anindita.
"Benar dia menikah di sini. Mempelai perempuan warga Cemani, Grogol," katanya kepada Tempo pertengahan Januari lalu. Syafi'i memastikan pengantin pria adalah Djoko, tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara pengadaan simulator kemudi roda dua dan empat di Korps Lalu Lintas Polri senilai Rp 196,8 miliar pada 2011.
Dalam surat nikah bernomor 909/19/XII/2008 tanggal 7 Desember 2008, terpampang foto Djoko dengan Dipta—kala itu berambut sebahu. Dalam dokumen itu, Dipta tercatat tinggal di Jati, RT 4 RW 5, Cemani, Grogol. Sedangkan Djoko beralamat di Sidodadi, RT 2 RW 2, Karetan, Purwoharjo, Banyuwangi.
Meski tertulis pernikahan berlangsung pada 7 Desember 2008, menurut Syafi'i, upacara itu sebenarnya digelar pada 1 Januari 2008. "Seluruh dokumen asli sudah disita dua penyidik KPK," katanya.
Ketika mengurus administrasi pernikahannya, mantan Gubernur Akademi Kepolisian itu menggunakan kartu tanda penduduk dengan nama Joko Susilo, bukan Djoko Susilo. Tertulis lahir pada 1970, pada kolom pekerjaan disebutkan Joko adalah wiraswasta. Sabar, modin Desa Cemani yang ikut menyaksikan pembacaan ijab kabul, menolak menyebutkan tempat acara pernikahan digelar—meski dia memastikan Djoko saat itu mengaku berasal dari Banyuwangi. "Statusnya perjaka," ujarnya.
Dipta adalah Putri Solo 2008, tapi gelar itu hanya dua bulan disandangnya. "Dipta mundur dengan alasan ikut orang tuanya yang tinggal di Yaman," kata Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Surakarta Widdi Sri Hanto.
Ditengarai Dipta, lahir di Surakarta, 24 tahun silam, adalah istri ketiga Djoko. Identitasnya terlacak saat penyidik mulai menelisik satu demi satu aset Djoko. "Saat itu namanya muncul. Terasa janggal karena Dipta bisa memiliki harta puluhan miliar rupiah," ujar sumber Tempo. Setelah ditelusuri, terungkap bahwa dia istri mantan Gubernur Akademi Kepolisian tersebut. Sejak tiga pekan lalu, Dipta dicegah ke luar negeri.
Djoko memilih bungkam saat ditanya perihal hubungannya dengan Dipta. "Silakan ke penyidik," katanya. Adapun Juniver Girsang, kuasa hukumnya, menyebutkan Dipta kerabat Djoko.
Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., memastikan pemeriksaan terhadap Dipta terkait dengan jerat hukum baru yang dituduhkan kepada Djoko dalam perkara pencucian uang. Namun dia menolak menyebutkan hubungan Djoko dengan perempuan itu. "Dipta itu ibu rumah tangga," ujarnya.
Dalam penelusuran komisi antikorupsi, nama Dipta tercatat sebagai pemilik beberapa rumah megah. Salah satunya di Jalan Sam Ratulangi Nomor 16, Kelurahan Manahan, Banjarsari, Surakarta. Rabu malam pekan lalu, sejumlah penyidik KPK telah memasang plang tanda penyitaan.
Terletak di kawasan strategis, rumah satu lantai itu paling mewah dibandingkan dengan bangunan sekitarnya. Rumah tersebut dikelilingi pagar yang tingginya sekitar tiga meter. Sebuah pos ronda milik kampung menempel di pagar bagian barat, sumbangan pemilik rumah itu.
Dari sejumlah informasi yang dihimpun Tempo, rumah tersebut dibangun di atas tanah 877 meter persegi. Tanah itu didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional Surakarta atas nama Dipta Anindita. Proses balik nama tanah dan bangunan dilakukan pada 2008.
Sehari berselang, sebuah rumah besar di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 70, Solo, juga disita KPK. Dikelilingi pagar tinggi, bangunan itu didesain bergaya kolonial. Warga di sana tidak tahu siapa pemilik rumah tersebut. Semula, penduduk mengira pemilik rumah itu bernama Candra TjahÂyadi, seperti nama yang tertulis di papan kayu tebal di samping pintu gerbang.
Namun nama Candra, menurut sumber Tempo, sengaja dipasang untuk mengecoh KPK. Sebab, dalam catatan Badan Pertanahan, pemilik rumah seluas 3.077 meter persegi itu Poppy Femialya. Tanah itu dibaliknamakan pada 2008. "Poppy adalah anak kandung Djoko dari istri pertama," katanya.
Selain di Solo, Djoko diduga memiliki tiga rumah yang tersebar di kawasan elite Yogyakarta senilai Rp 6 miliar. Satu unit rumah berdiri di atas tanah seluas 600 meter persegi di Jalan Langenastran Kidul Nomor 7, Kecamatan Keraton, Yogyakarta, yang dibeli Djoko pada Maret 2010 seharga Rp 2 miliar. Berikutnya dua unit rumah di Jalan Patehan Lor Nomor 34-36, Kampung Taman, masing-masing seluas 1.000 dan 400 meter persegi. "Dibeli seharga Rp 3,85 miliar lewat seseorang bernama Mujiharto, teman Djoko," ujar sumber Tempo.
Di Jakarta, oleh KPK, lima properti milik Djoko juga sudah dipasangi tanda penyitaan. Aset itu meliputi satu unit apartemen di The Peak, Jalan Setiabudi Raya Nomor 9, Jakarta Pusat; rumah berlantai empat yang memiliki lift di Jalan Prapanca Raya Nomor 6, Jakarta Selatan; dan rumah di Jalan Cikajang Nomor 18, Jakarta Selatan. Ada juga dua rumah megah yang masing-masing berlokasi Jalan Elang Mas Blok D2, Tanjung Mas, Jakarta Barat, dan di Pesona Khayangan Blok E, Depok, Jawa Barat.
Bukan hanya aset-aset properti yang dibidik KPK. Sumber Tempo mengatakan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum yang tersebar di wilayah Jakarta dan Jawa Tengah sedang dilacak. Seluruh harta itu tidak tercatat atas nama Djoko, tapi menggunakan nama orang lain. "Salah satunya lewat salah seorang pensiunan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya," ujarnya.
Tommy Sihotang, anggota tim pengacara Djoko, mengatakan tidak tahu soal aset kliennya. Menurut dia, Djoko tidak pernah bercerita tentang aset harta benda. "Waktu pemeriksaan juga tidak pernah ditanyakan," ujarnya.
Johan Budi memastikan KPK akan menyita semua aset hingga seluruh proses hukum yang dijalani Djoko berkekuatan hukum tetap. Menurut dia, penyitaan dilakukan untuk memudahkan jika nanti hakim memutuskan Djoko membayar denda dan uang pengganti. "Harta itu nanti akan dirampas untuk negara."
Setri Yasra, Febriana Firdaus (Jakarta), Ukky Primartantyo, Ahmad Rafiq (Solo), Pribadi Wicaksono (Yogyakarta), Edy Faisol (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo