Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan berencana melakukan judicial review terhadap Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2024 tentang Pengangkatan Ketua Harian dan Sekretaris Dewan Pertahanan Nasional (DPN). Uji materi itu berkaitan dengan klausul dalam Keppres yang dinilai melampaui kewenangan DPN dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Imparsial Ardi Manto menjelaskan UU Pertahanan Negara menyatakan DPN hanya sebagai lembaga penasihat presiden dalam membantu menyusun kebijakan umum pertahanan negara. Sedangkan dalam Pasal 3 huruf F Keppres terdapat klausul yang memberikan kewenangan tanpa batasan yang jelas. Pasal itu menyatakan “DPN menjalankan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penambahan wewenang ini tidak sesuai dengan pengaturan dalam undang-undang. Penambahan luas itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan dan DPN akan menjadi lembaga superbody yang membahayakan demokrasi,” kata Ardi dalam konferensi pers di kantor Imparsial, Kamis, 19 Desember 2024.
Menurut dia, keberadaan pasal karet soal wewenang DPN itu punya kemiripan dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di masa orde baru. Dengan kewenangan yang luas, kata dia, Kopkamtib kerap melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM. “Ini tentu berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan HAM jika DPN punya wewenang yang luas sesuai yang diberikan Presiden,” ujar Ardi.
Ardi menegaskan, Dewan Pertahanan Nasional tidak boleh diberikan kewenangan yang melampaui pengaturan dalam undang-undang. Selain itu, ujar dia, Keppres DPN tidak secara tegas mengakomodasi keterwakilan pakar atau ahli dan masyarakat sipil di dalam lembaga tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (4) perpres tentang DPN.
“Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, bukan untuk kepentingan politik kekuasaan,” ujar Ardi. “Untuk itu perlu dihindari pengaturan terkait Dewan Pertahanan Nasional yang bersifat karet dan berpotensi disalahgunakan.”
Presiden Prabowo Subianto mengangkat Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin siang, 16 Desember 2024. Presiden juga melantik Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan sebagai Sekretaris DPN.
Pelantikan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 87 Tahun 2024 tentang Pengangkatan Ketua Harian dan Sekretaris DPN.
Pembentukan DPN ini dinilai tumpang tindih dengan Dewan Ketahanan Nasional. Namun, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan kedua lembaga itu punya perbedaan.
Hasan Nasbi mengatakan DPN lebih berfokus pada pertahanan secara holistik. Sementara Dewan Ketahanan Nasional atau Wantannas lebih kepada sektor ketahanan dan keamanan.
“Jadi kalau di Dewan Ketahanan Nasional mungkin masih ada unsur Polri. Kalau di Dewan Pertahanan Nasional ini memang karena pertahanan. Itu memang lebih diberikan pada aspek TNI,” kata Hasan kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin, 16 Desember 2024.
Hasan menjelaskan DPN bertugas memberikan pertimbangan dan masukan strategi kebijakan untuk pertahanan nasional. Ketua DPN adalah Presiden Prabowo Subianto dengan anggota tetap menteri pertahanan, menteri luar negeri, menteri dalam negeri, menteri keuangan, menteri sekretaris negara.
“Nanti juga akan ada anggota tidak tetap dari kementerian lain yang tergantung situasinya,” ujar Hasan.
Perbedaan lain adalah DPN bertugas merumuskan pertimbangan apabila ada ancaman dan bagaimana skema pengerahan. Selain itu, kata Hasan, posisi Presiden dan menteri pertahanan sebagai ketua DPN sifatnya strategis.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.