Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengaku mengenal Panglima TNI Pertama RI Jenderal Soedirman sebagai sosok sederhana, berkarakter, dan revolusioner. Hal itu Megawati sampaikan dalam pidato politiknya saat membuka rapat kerja nasional atau Rakernas PDIP ke-5 di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, pada Jumat, 24 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi bukan mau sombong, mau keren, saya ini benar anak presiden. Jadi saya kenal Pak Jenderal Soedirman. Beliau orangnya sederhana banget, pakai peci," kata Megawati, putri Presiden Pertama RI Sukarno itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profil Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman merupakan Panglima TNI Pertama RI yang menjabat periode 12 November 1945 hingga 26 Januari 1950 atau era revolusi. Salah satu aksi heroiknya adalah taktik perang gerilya dalam upaya mengusir kembalinya Belanda paska Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Kala itu, Soedirman memimpin perang dalam keadaan sakit, sehingga harus menggunakan tandu.
Nama lengkapnya Raden Soedirman. Ia lahir di Purbalingga, paca 24 Januari 1916. Orang tuanya, Karsid Kartawiraji dan Siyem, adalah rakyat biasa. Soedirman lalu diadopsi pamannya yang seorang priayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada 1916, ia tumbuh menjadi seorang siswa rajin. Ia aktif dalam kegiatan tambahan, termasuk mengikuti program kepanduan Muhammadiyah.
Soedirman muda disegani oleh masyarakat karena ketaatannya pada agama. Ia sempat berkuliah keguruan. Namun berhenti pada 1936 dan mulai bekerja sebagai guru serta sempat menjadi kepala sekolah. Dia juga turut menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada 1937. Saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar.
Soedirman kemudian bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang pada 1944. Dia kemudian ditunjuk sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama prajurit lainnya melakukan pemberontakan terhadap penjajah. Akibatnya, Soedirman lalu diasingkan ke Bogor. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dia melarikan diri dari pusat penahanan dan menemui Soekarno di Jakarta.
Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan, Soedirman ditugaskan mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas. Pasukannya dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohar. Pada 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi Panglima besar TKR. Saat itu usianya belum genap kepala tiga.
Selanjutnya: Kisah heroik Jenderal Soedirman, pimpin perang gerilya saat sakit
"Yang sakit Soedirman, Panglima tidak sakit," demikian kira-kira ungkapan Jenderal Soedirman kala bersikukuh memimpin pasukannya melakukan aksi gerilya mengusir tentara Belanda yang berupaya mempertahankan kolonialisme di Indonesia dalam Agresi Militer II antara Desember 1948-Januari 1949. Padahal kala itu Soedirman disebut tengah mengalami sakit Tuberkulosis (TBC). Paru-paru sebelah kanannya dikempeskan. Kondisi itu membuatnya harus ditandu.
Taktik gerilya Jenderal Soedirman bertujuan untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda yang berupaya menguasai wilayah Yogyakarta. Hal ini dilakukannya dengan berpindah-pindah tempat dan menyeberangi sungai, gunung, lembah, dan hutan. Soedirman yang mestinya berbaring nyaman dan mendapatkan perawatan, justru ikut terjun ke medan perang. Ia memimpin pasukannya berpindah-pindah tempat dan menyuntikkan semangat membara kepada mereka.
Kala itu, Ibu Kota Jakarta jatuh di tangan Belanda dan Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Indonesia sementara. Saat Belanda berupaya menguasai Yogyakarta, para pemimpin politik berlindung di kraton sultan. Sedangkan Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.
Mulanya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, Soedirman mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949.
Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, Jenderal Soedirman dilarang oleh Presiden Sukarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh. Dia pensiun dan pindah ke Magelang. Dia wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Soedirman kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pada 10 Desember 1964, Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | GERIN RIO PRANATA | NAUDAL RIDHWAN ALY | NAOMY AYU NUGRAHENI