Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari demokrasi

Demokrasi di indonesia. pembentukan forum demokrasi. kecemasan para pemimpin. perjalanan pengukuhan demokrasi. tanggapan-tanggpan kehadiran forum dekrasi.

13 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA puluh satu tahun yang lalu, 1960, Bung Hatta, dalam risalah tipis Demokrasi Kita, pernah menulis, "Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi baru dihargai bila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar dari kesalahannya, dan berpegang kembali pada ideologi negara dengan jiwa yang murni, insya Allah demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali." Hatta waktu itu sudah tak menjadi wakil presiden lagi. Dwitunggal Soekarno-Hatta sudah pecah. Indonesia waktu itu sedang ada dalam demokrasi terpimpin, suatu konsep yang dilahirkan Bung Karno, yang dipercayainya paling cocok dengan situasi dan kondisi Indonesia saat itu. Hatta, juga sejumlah tokoh lain, menentang keras konsep itu. Ia menuding sistem itu mengarah pada diktatur. Hatta "meramalkan", sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang dari umur Soekarno sendiri. "Diktatur yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya," tulisnya. Ramalan itu ternyata benar. Demokrasi terpimpin tak lama umurnya. Pada 1966, menyusul pergolakan yang terjadi setelah gagalnya pemberontakan G30S-PKI, ia runtuh. Para mahasiswa dan pemuda ikut memelopori penumbangan itu. Tuntutan bagi kebangkitan demokrasi waktu itu dengan bagus dilukiskan penyair Taufiq Ismail dalam salah satu suratnya, ".... kita telah turun dan berlarian ke jalan-jalan raya, kita teriakkan demokrasi, kita wakilkan suara kalbu bangsa ini pada lumaran-lumaran cat di atas tembok-tembok kota ...". Demokrasi yang "tertidur sementara" pun bangun kembali. Orde Baru telah lahir. Orde yang berlandaskan suatu cita untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lampau, untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara lebih murni dan konsekuen. Semua yang terjadi itu sebenarnya adalah bagian dari proses sejarah mencari bentuk demokrasi yang paling pas untuk kita. Itu sudah lama dilakukan. Hampir 46 tahun yang silam, para founding fathers kita yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, berminggu-minggu berdebat tentang demokrasi, hak asasi, perwujudannya, dan pelaksanaannya. Dan bila di Pejambon, Jakarta Pusat, di bekas gedung Volksraad yang berlantai batu pualam itu, pada 18 Agustus 1945 akhirnya mereka berhasil merumuskan dasar-dasar negara Indonesia, asas demokrasi itu pun jelas dan tegas dirumuskan dalam Mukadimah dan Undang-Undang Dasar yang tersusun. Antara lain: kedaulatan ada di tangan rakyat, jaminan adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan tulisan. Seperti terbukti, dalam perjalanan sejarah, demokrasi yang dipraktekkan di sini ternyata bisa bergeser dan berubah dari cita semula. Sebagian mungkin karena tuntutan situasi. Sebagian karena penafsiran sendiri terhadap arti demokrasi. Kita juga telah beberapa kali melakukan koreksi. Pada 1959, kita kembali ke UUD 1945 sebagai koreksi terhadap pelaksanaan demokrasi liberal yang penuh gontok-gontokan. Lalu koreksi terhadap demokrasi terpimpin tadi, yang kemudian melahirkan apa yang kini kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila. Setelah berjalan lebih dari dua dasawarsa, mungkin banyak yang kaget dengan lahirnya gerakan yang menamakan diri Forum Demokrasi pekan lalu. Adakah yang salah dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila sekarang ini? Apa yang ingin kau cari, Forum Demokrasi? Situasi sekarang jauh berbeda dengan 1960, atau 1966. Kini tidak ada tudingan bahwa demokrasi di negeri ini telah tidur. Lalu, apakah lahirnya kehendak-kehendak yang menginginkan lebih penuhnya pelaksanaan demokrasi sekarang ini merupakan perkembangan yang wajar dari suatu dinamika zaman? Bahwa setelah perut kenyang ada hasrat-hasrat lain, seperti penghargaan pada hak-hak asasi? Atau apakah "gerakan" itu diduga memang bisa akan mengguncang kestabilan hingga patut dicurigai atau dipelototi? Selayaknya, kita perlu mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dahulu, sebelum memutuskan sesuatu. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus