UDARA sejuk di kawasan Cibeureum tak cukup untuk mendinginkan hangatnya perdebatan di seputar soal-soal aktual di negeri ini. Di sana, persisnya di sebuah aula di penginapan Taman Safari Garden, Cisarua -- atau sekitar 75 kilometer arah selatan dari Jakarta -- berkumpul sekitar 40 orang, pertengahan Maret 1991 silam. Pertemuan yang berlangsung dua hari itu memang sarat dengan obrolan politik. Dimulai sejak Sabtu, 16 Maret 1991, sampai Minggu sore, sejumlah nama beken bertukar pendapat. Di antara mereka, misalnya Ketua dan Sekjen PBNU Abdurrahman Wahid dan A. Gaffar Rahman, tokoh ICMI Soetjipto Wirosardjono. Lalu tokoh dari LP3ES Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae dan Manuel Kaisiepo. Ada juga pakar hukum T. Mulya Lubis, yang baru saja menyelesaikan program doktornya di AS, serta A. Rahman Tolleng, bekas pemimpin redaksi koran Suara Karya. Tak ketinggalan Arief Budiman, dosen Universitas Satya Wacana Salatiga, yang belakangan ini bikin berita karena tak mendapat exit permit dari kantor Imigrasi Semarang. Hadir juga di sana pastor seperti Romo Mangunwijaya, Pater Danuwinata, Frans Magnis Suseno, dan Mudji Sutrisno. Dan sejumlah wartawan seperti Aristides Katoppo, Rikard Bagun, Parakitri, dan Alfons Taryadi. Juga Marianne Katoppo dan Mimis Sasmoyo. Ada pula pengusaha seperti Bondan Gunawan, yang kini memimpin PT Hasta Manunggal -- sebelumnya ia pernah dikenal sebagai aktivis di Dewan Mahasiswa UGM tahun 1973-1974. Ada aktivis lainnya seperti Chris Siner Key Timu dan Marsilam Simanjuntak -- keduanya termasuk yang menandatangani Petisi 50. Dan Kristiya Kartika (Ketua GMNI), aktivis PMKRI Eko Tjokrodjojo, serta pegawai negeri dari Departemen Agama Djohan Effendi. Pertemuan yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid itu berlangsung gayeng. Sebagian peserta ada yang mendapat undangan tertulis dari Gus Dur (begitu panggilan akrab Abdurrahman Wahid), ada juga yang hanya lewat telepon. Bahkan Arief Budiman menganggap pertemuan itu seperti reuni, kangen-kangenan. "Kami ini jarang kumpul. Ada Rahman Tolleng juga Eko itu kan teman saya di SMA," katanya. Nama Eko -- lengkapnya Eko Tjokrodjojo -- yang disebut oleh Arief tadi dalam pertemuan itu menjadi moderator. Pembicaraan pun berlangsung bebas, dan semua banyak berbicara tentang demokrasi dan kebebasan berpendapat. "Tak ada yang membuat makalah atau memberikan pengarahan. Pokoknya, yang dibicarakan adalah soal demokrasi dari macam-macam aspek," kata Bondan Gunawan. Akhirnya mereka menutup pertemuan itu dengan membuat selembar dokumen yang diberi judul "Mufakat Cibeureum". Isi dokumen itu antara lain menelurkan empat rencana kerja yang akan dijalankan oleh Kelompok Kerja (Pokja). Yaitu, "memperluas keikutsertaan pendapat umum dalam upaya-upaya pendewasaan bangsa lewat proses demokratisasi". Lalu, "meningkatkan komunikasi antara kelompok-kelompok pendukung proses demokratisasi" dan "menggalang kaitan-kaitan antara berbagai upaya perjuangan demokratisasi yang masih tersebar dan serba kecil itu". Serta "melestarikan tradisi perjuangan demokratisasi dengan berbagai sarana dan publikasi". Pendeknya, mereka sepakat menggelindingkan sebuah gerakan yang diberi nama Forum Demokrasi. Forum ini nantinya akan bergerak dalam kegiatan penyadaran politik dan kultural untuk menumbuhkan wawasan politik yang benar, jujur, dan sehat. "Forum Demokrasi bukan lembaga, dan tak punya hierarki yang rumit," kata Gus Dur, yang mengaku didaulat menjabat sebagai Ketua Pokja tatkala mengumumkan terbentuknya Forum Demokrasi kepada belasan wartawan di Jakarta, Rabu pekan silam. Sebagai ketua, Gus Dur didampingi empat anggota Pokja: Bondan Gunawan, Alfons Taryadi, Marianne Katoppo, dan T. Mulya Lubis. Memang suara-suara yang bergema dalam pertemuan itu nadanya mencerminkan keprihatinan. Seperti kata Mulya Lubis, sejumlah peristiwa akhir-akhir ini merupakan picu terbentuknya Forum Demokrasi. Seperti pelarangan pementasan Opera Kecoa dan pembacaan sajak W.S. Rendra. Kemelut Ikadin dan soal yang kini masih simpang-siur, yaitu larangan pergi ke luar negeri bagi Arief Budiman. "Ini merupakan bagian dari kegelisahan kami yang mendorong kami berkumpul," kata Mulya. Gus Dur juga tak lupa menambahkan adanya kecenderungan kepentingan golongan makin menonjol atau sikap sektarian. Menurut dia, kalangan profesi seolah-olah hanya memperhatikan kepentingan profesinya masing-masing. Begitu juga menghangatnya lagi semangat kedaerahan kelompok agama, dan etnis. Akibatnya, "Semangat kebersamaan dan demokrasi makin melemah." Malah, menurut Gus Dur lagi, terkadang demokrasi dan kepentingan bersama bisa dikalahkan dengan kepentingan golongan. Ini tentu dapat mengganggu kesatuan dan persatuan bangsa, ujarnya. Ia menunjuk kasus tabloid Monitor yang SIUPP-nya harus dicabut. Padahal, katanya, terlepas dan kemarahan sebagian orang Islam, penyelesaiannya harus terlebih dahulu lewat pengadilan. "Pencabutan SIUPP itu kan pembunuhan kepada salah satu sarana demokrasi," kata Gus Dur. Untuk itulah Gus Dur juga mengungkapkan perlu adanya upaya kongkret untuk menegaskan kembali adanya komitmen Indonesia yang satu dan terintegrasi. Dan prasyarat tercapainya integrasi hanyalah kalau demokrasi bisa diterapkan secara jujur. Dalam dimensi ini, di samping kelembagaan demokrasi juga perlu ditumbuhkan budaya demokrasi. Namun, ada juga yang tak sepakat dengan Gus Dur, yang khawatir atas menggejalanya pengelompokan yang berakar pada primordialisme. Apalagi gejala sektarian yang dituding oleh Gus Dur itu ada yang menghubung-hubungkannya dengan kelompok organisasi yang dianggap berbau "primordial" seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang diketuai oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Justru, seperti kata pakar politik dari Univercitas Gadjah Mada Yogyakarta Dr. Affan Gaffar, dalam alam demokratis adalah sah kalau semakin banyak orang dalam masyarakat membentuk kelompok-kelompok. Ini memang merupakan konsekuensi karena adanya demokrasi. Tampaknya, persoalan "sektarian" dan "demokrasi" yang dikemukakan oleh Gus Dur itu sebenarnya dua hal yang berbeda, sekalipun memang, mungkin dalam batas tertentu, bisa menunjang satu sama lainnya. Persoalannya memang, seperti yang diamati Aswab Mahasin, selama ini orang hanya melihat demokrasi dari sisi ideal. Padahal, di sisi yang lain, demokrasi juga sekaligus berarti problematik. Ini tak lain karena salah satu unsur penting dalam demokrasi adalah: soal kemajemukan. Dalam konteks ini berarti ada unsur mayoritas dan minoritas. Maka, tentu tak terelakkan kalau mun- cul "ketegangan" dalam hubungan mayoritas dan minoritas. Selalu ada kekhawatiran, minoritas merasa terpojok atau tergusur. Malah, kalau di Indonesia saat ini, kata Aswab, "Yang terjadi adalah kalangan mayoritas pun merasa tergusur." Ia melihat kelompok Islam di sini -- yang mayoritas -- masih ada yang mempunyai perasaan begitu dalam hubungannya dengan kelompok militer. Problematik lainnya, menurut Aswab, yang juga tak terelakkan dalam alam demokrasi adalah politik massa, terutama yang bersifat mob atau beringas. Dan itu bisa saja terjadi karena tak adanya interaksi antar sekat. Contohnya, Aswab menunjuk buntut kasus yang menimpa tabloid Monitor tadi, yang kantornya sempat diamuk massa. Untuk itulah, ia mengingatkan perlunya jaminan hak asasi buat kaum minoritas yang menerima pemerintahan kelompok mayoritas. Kata "demokrasi" memang seperti sesuatu yang gaib. Sebuah kata yang mengandung -- sekaligus mengundang -- banyak interpretasi. Itu pula sebabnya, seperti kata Gus Dur, dalam mewujudkan kehidupan supaya lebih demokratis, selalu dihadapi perbedaan persepsi antara yang duduk di pemerintahan (yang berkuasa) dan yang tak duduk di pemerintahan alias rakyat. Sejarah memang pernah menunjukkan upaya tarik ulur antara pemerintah dan yang diperintah dalam merumuskan format demokrasi. Bahkan the founding fathers negeri ini pun tak luput dari perdebatan tentang demokrasi macam apa yang akan mewarnai negeri ini -- ketika mereka merumuskan konstitusi. Maka, perjalanan republik ini pun penuh dengan warna-warni "demokrasi". Ada Demokrasi Parlementer yang liberal. Ada Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Dan sekarang ada Demokrasi Pancasila. Menurut Mulya Lubis, Demokrasi Pancasila itu seharusnya bisa belajar dari dua bentuk demokrasi sebelumnya. Ketika Demokrasi Liberal berlangsung, semuanya merasakan kebebasan di semua bidang. Namun, celakanya, pemerintahan rapuh. Pada zaman Demokrasi Terpimpin, yang ada justru sebaliknya. Suatu pemerintahan yang kuat, tetapi tanpa ada kebebasan bagi masyarakatnya. Kini, "Saya ingin negara kuat, dan juga masyarakat yang kuat. Dan itu hanya mungkin kalau kita menciptakan budaya demokrasi. Kalau tidak, yang ada hanyalah negara kuat dan masyarakat yang lemah," kata Mulya. Masyarakat memang terus berubah, seiring dengan merasuknya iklim keterbukaan. Kemudian muncul kelas menengah baru -- kelompok bisnis, kelompok intelektual. Kondisi ini mau tak mau menghendaki persyaratan-persyaratan mutlak kepastian hukum dan kelonggaran berekspresi. Mungkin dari sinilah timbul bibit-bibit perlunya untuk menginterpretasikan kembali format " demokrasi" kita. Barangkali itu sebabnya, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono cukup berhati-hati dalam menanggapi terbentuknya Forum Demokrasi. "Saya percaya maksudnya baik. Mungkin yang dimaksud adalah forum komunikasi yang demokratis. Memang kadang-kadang nama bisa membuat orang salah mengerti. Saya harus mendengar dulu langsung dari dia (maksudnya Gus Dur), tujuannya apa, sih," katanya Menteri Dalam Negeri Rudini juga bersikap serupa. Ia akan mengutus stafnya menjumpai Gus Dur untuk mencari tahu soal Forum Demokrasi itu. Namun, lain lagi tanggapan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Sudomo -- perbedaan ini boleh jadi merupakan cerminan masih adanya perbedaan pendapat. Menurut dia, Forum Demokrasi sebenarnya tak perlu dibentuk. "Ini aneh. Maunya apa? Gus Dur cuma membuat kejutan yang tak perlu. Sekarang ini kan kita sedang melaksanakan demokrasi," katanya sambil tertawa. Bagaimanapun bola demokrasi yang digelindingkan oleh Gus Dur dan kawan-kawannya itu tampaknya bersambut. H.J.C. Princen pada tanggal 21 Maret 1991 silam, juga memprakarsai berdirinya Liga Pemulihan Demokrasi (LPD). Tak berbeda dengan Gus Dur, Princen juga mendirikan LPD karena merasa, "Prihatin dengan keadaan demokrasi dan hak-hak asasi di tanah air kita," katanya. Menurut Princen, yang kini menjabat Ketua Presidium LPD, organisasinya itu didukung oleh delapan lembaga swadaya masyarakat. Tokoh-tokohnya antara lain Soenardi, Eggi Sudjana, dan Hamid Husein (tokoh Serikat Buruh Merdeka Setiakawan). Tampaknya, Princen masih belum kapok dengan pengalamannya ketika ia (anggota IPKI) mengikuti jejak Imron Rosyadi (tokoh NU yang kini menjadi anggota MPR) membentuk Liga Demokrasi pada tahun 1960. Ketika itu, Liga Demokrasi dibentuk sebagai reaksi atas peranan Bung Karno yang membubarkan parlemen dan kemudian membentuk DPR GR. "Padahal, seharusnya DPR itu kan dipilih rakyat," katanya. Kontan Bung Karno, yang ketika itu berada di Tokyo, berang setelah mendapat kabar tentang terbentuknya Liga Demokrasi. Setahun kemudian Liga Demokrasi dibubarkan Bung Karno karena dianggap bertentangan dengan Manipol. Upaya dengan misi yang serupa juga pernah dilakukan oleh Bung Hatta dan kawan-kawan pada tahun 1978. Ketika itu, ia bersama A.H. Nasution, I.J. Kasimo, Azis Saleh, Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Hoegeng Iman Santoso, beberapa tokoh parpol dan aktivis lainnya, membentuk Lembaga Pengembangan Pengertian dan Kesadaran Berkonstitusi 1945. Entah bagaimana, kelanjutan lembaga yang mencoba mengingatkan "Tekad Orde Baru yang berintikan pelaksanaan secara murni dan konsekwen Pancasila dan UUD '45" itu menjadi kempis. Kini malah tak terdengar apa-apa tentang kegiatan yang sudah dilakukan oleh lembaga itu. Lalu, apakah Forum Demokrasi juga akan mengalami nasib yang sama? "Kalau kami dilarang ngomong, ya semua arisan harus diberantas. Ini kan (maksudnya, Forum Demokrasi) cuma arisan saja, arisan demokrasi," kata Gus Dur. Ahmed K. Suriawidjaja, Liston P. Siregar, Ardian T. Gesuri, Iwan G. Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini