Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Dua Kemungkinan di Balik Kasus Teddy Minahasa

Surat bantahan Teddy Minahasa yang beredar di dunia maya dibenarkan oleh ajudannya. Pemeriksaan Teddy sebagai tersangka ditunda karena alasan pengacara.

17 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Bekas Kapolda Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, memberikan bantahan tertulis ihwal dugaan keterlibatannya dalam kasus peredaran narkoba. Bantahan itu menyebar di sejumlah platform digital dengan judul “Saya bukan pengguna atau pengedar narkoba”. Ajudan Teddy bernama Arief membenarkan surat bantahan itu berasal dari atasannya. "Iya, dari beliau, klarifikasi beliau begitu," ujar Arief.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam surat itu, Teddy mengatakan datang ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri pada 13 Oktober malam. Tujuannya mengklarifikasi atas dugaan keterlibatannya dalam penggunaan dan peredaran narkoba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam surat yang sama tertulis, sehari sebelumnya, Teddy menjalani perawatan suntik lutut, spinal, dan engkel kaki di Vinski Tower, Jakarta. Dalam proses tersebut, ia harus dibius total selama dua jam. Kemudian, pada Kamis siang lalu, ia datang ke Rumah Sakit Medistra Jakarta untuk perawatan akar gigi. Di sana ia juga dibius total selama tiga jam. Karena itu, ketika menjalani tes urine di Mabes Polri, hasilnya positif mengandung unsur narkoba.

Untuk dugaan keterlibatan Teddy dalam jaringan pengedar narkoba, dalam surat itu tertulis bahwa, memang, jenderal bintang dua itu pernah menyusun operasi penangkapan terhadap bandar narkoba bernama Anita alias Linda. Namun, dalam pelaksanaan operasi, Kapolres Bukittinggi tidak menjalankan prosedur secara benar. “Di sinilah saya disebut terlibat telah memperkenalkan Anita alias Linda kepada Kapolres Kota Bukittinggi untuk transaksi narkoba,” kata Teddy dalam surat bantahan tersebut.

Meski membenarkan surat tersebut berasal dari Teddy, Arief tidak bisa menjelaskan bagaimana atasannya menyusun dan menyebarkan surat tersebut di dunia maya. Sebab, setelah mengantar Teddy ke Mabes Polri pada Kamis malam lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dengan atasannya itu. "Saya sendiri yang mengantar," ujarnya. "Karena kan (selama pemeriksaan) tidak bisa didampingi. Jadi, hanya bisa menunggu kabar dari beliau."

Irjen Pol Teddy Minahasa (kedua dari kiri) saat menjabat sebagai Kapolda Sumbar dan AKBP Dody Prawinegara (kedua dari kanan) dalam pengungkapan kasus narkoba di Polres Bukittinggi, Sumatera Barat, 21 Mei 2022. Dok. Polri

Teddy Minahasa Diperiksa sebagai Tersangka

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Nurul Azizah, enggan menanggapi surat bantahan Teddy itu. Ia meminta masyarakat menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Endra Zulpan, mengatakan tidak tahu proses penangkapan Teddy. "Saya enggak bisa jelaskan karena awalnya kan Mabes Polri yang menahan," ujar dia.

Direktorat Polda Metro Jaya sedianya akan memeriksa Teddy Minahasa pada Sabtu lalu. Namun pemeriksaan itu ditunda karena Teddy menolak memberi keterangan tanpa didampingi pengacara. Ia tidak bersedia menerima pendamping hukum yang telah disediakan oleh Polda Metro Jaya. "Irjen TM meminta pemeriksaan ditunda hari Senin,” kata Endra Zulpan.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan telah memerintahkan langsung Syahardiantono untuk menjemput dan memeriksa Teddy. Langkah ini dirasakan perlu setelah Listyo mendapat informasi tentang dugaan keterlibatan Teddy dalam kasus peredaran narkoba. "Irjen TM dinyatakan sebagai terduga pelanggar dan sudah dilakukan penempatan khusus," ujar Listyo.

Listyo juga telah membatalkan mutasi Teddy sebagai Kapolda Jawa Timur. Teddy langsung digeser menjadi perwira menengah Pelayanan Markas Mabes Polri. "Yang bersangkutan segera diproses dengan ancaman hukuman pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH," ujar Sigit.

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran (tengah) dalam ungkap kasus narkotika yang melibatkan Irjen Pol Teddy Minahasa sebagai tersangka kasus dugaan peredaran sabu-sabu, di Jakarta ,14 Oktober 2022. ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Persaingan Antarkelompok

Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Mukti Juharsa, mengatakan kasus narkoba yang diduga melibatkan Teddy Minahasa merupakan hasil penyelidikan dari Polres Jakarta Pusat. Berawal dari penangkapan dua pengguna narkoba pada 10 Oktober 2022. Sehari kemudian ditangkap satu tersangka yang diduga sebagai pengedar.

Tersangka itu mengaku mendapat sabu dari anggota Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Barat, Ajun Inspektur Dua Achmad Darmawan. Kemudian secara berturut-turut penyidik menangkap Kapolsek Kalibaru, Jakarta Utara, Komisaris Kasranto; serta Ajun Inspektur Satu Jantos, anggota Polres Pelabuhan Tanjung Priok.

Karena ada keterlibatan polisi aktif, kasus ini kemudian diambil alih Polda Metro Jaya. Pada tahap berikutnya, penyidikan mengarah pada bandar bernama Linda. Perempuan ini mengaku mendapat pasokan sabu dari Polres Bukittinggi, Sumatera Barat. Narkotik itu sebenarnya barang bukti sitaan Polres Bukittinggi dari hasil penangkapan pada April-Mei 2022.

Mukti menjelaskan, saat itu, total sabu yang disita Polres Bukittinggi sebanyak 41,4 kilogram. Berdasarkan laporan, barang bukti itu sudah dimusnahkan pada 14 Juni lalu. Belakangan diketahui, ada sekitar 5 kilogram barang bukti yang ternyata disisihkan. "Diganti dengan tawas yang 5 kilogram itu," ujar dia.

Kamuflase tawas itu diduga diperintahkan oleh bekas Kapolres Bukittinggi, Ajun Komisaris Besar Dody Prawinegara. Barang bukti yang diselundupkan itu kemudian disimpan di rumah Dody. "Berdasarkan keterangan Dody, sabu sebanyak 5 kilogram itu dijual (kepada Linda) atas perintah TM," ujar Mukti.

Saat diperiksa, Dody mengaku bisa berhubungan dengan Linda atas rekomendasi Teddy. Sebanyak 1,7 kilogram yang diserahkan ke Linda sudah diedarkan. Penyidik telah menyita sisa sabu yang belum diedarkan sebanyak 3,3 kilogram.

Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyebutkan sudah menjadi rahasia umum terdapat kelompok-kelompok di dalam institusi kepolisian. Dalam kasus yang diduga melibatkan Teddy Minahasa ini, ia melihat ada dua kemungkinan. Pertama, Teddy memang benar terlibat dalam jual-beli barang bukti narkoba. Kedua, Teddy menjadi korban dari persaingan antarkelompok di kepolisian. "Andai yang dijebak itu adalah bandit, monggo saja. Semoga kehidupan masyarakat menjadi lebih aman dan tenteram,” katanya. “Tapi kalau yang menjadi sasaran rekayasa kasus itu adalah orang baik-baik, jahanam itu namanya."

Untuk dua kemungkinan itu, Reza tidak mau berspekulasi dan memilih menunggu hasil penyelidikan. Ia hanya berharap agar persaingan antarkelompok di kepolisian ini tidak menjalankan praktik saling memangsa dengan menghalalkan segala cara. Sebab, polisi sebagai pelayan rakyat harus bekerja untuk rakyat dan bukan melayani diri sendiri ataupun kelompok.

DEWI NURITA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus