Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Golkar di era kepemimpinan Akbar Tandjung berhasil meraih kemenangan di atas partai politik lainnya
Sejak Pemilu 2009, perolehan kursi Golkar di Senayan mengalami penurunan.
Kisruh internal kembali terjadi di masa Airlangga Hartarto.
JAKARTA -- Golkar disebut menjadi partai yang kerap menyelenggarakan musyawarah luar biasa untuk menentukan pemimpinnya. Partai berlambang beringin ini memiliki hubungan erat dengan pemerintah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, mengatakan Golkar menjadi partai politik yang kerap dilanda konflik internal sejak berakhirnya rezim Orde Baru. Golkar bahkan nyaris tereliminasi pada masa pemerintahan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 2001. Saat itu, Gus Dur ingin membubarkan DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu, dan membekukan Partai Golkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar saat itu, menentang keras dekrit yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan hukum tersebut. "Akbar Tandjung juga mengubah gaya politik Golkar sehingga dapat diterima kembali masyarakat,” kata Usep saat dihubungi pada Senin, 11 Maret 2024.
Akbar Tandjung terpilih sebagai Ketua Umum periode 1998-2004 hasil musyawarah luar biasa Golkar pada Juli 1998 menjelang Pemilu 1999. Dia menggantikan Harmoko setelah rezim Orde Baru tumbang.
Usep menuturkan Golkar di era kepemimpinan Akbar Tandjung berhasil meraih kemenangan di atas partai politik lainnya, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan. Pada Pemilu 2004, Golkar memperoleh 127 kursi di DPR dengan meraih 21,57 persen suara mengalahkan PDIP (18,53 persen) dan PKB (10,56 persen).
Namun, pada Pemilu 2009, perolehan kursi Golkar di Senayan menurun. Pada Pemilu 2009, partai beringin meraih 106 kursi. Pada Pemilu 2014 raihan tersebut turun menjadi 91 kursi dan kembali turun menjadi 85 kursi pada Pemilu 2019. “Prahara dualisme kepemimpinan turut menjadi faktor yang mempengaruhi melorotnya suara Golkar,” ujar Usep.
Dualisme kepemimpinan yang dimaksud Usep terjadi pada 2014-2016. Setelah Pemilu 2014, terjadi perbedaan pandangan politik di antara kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Kala itu, kubu Agung mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat. Adapun Kubu Aburizal Bakrie bergabung dengan Koalisi Merah Putih yang berada di luar pemerintahan. Dalam prosesnya, Aburizal dan Agung dipilih dalam musyawarah nasional yang berbeda tapi keduanya berkukuh mengklaim sebagai kepemimpinan yang sah.
Ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (kanan) dan wakil ketua sekaligua calon ketua umum Agung Laksono sebelum mengikuti rapat pleno, di gedung DPP Partai Golkar, Jakarta, 24 November 2014. TEMPO/Imam Sukamto
Kisruh dualisme kepemimpinan ini berlanjut pada jalur hukum. Pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan kepemimpinan Agung Laksono. Sebulan setelah itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta mengeluarkan keputusan yang berisikan penundaan pelaksanaan keputusan Kementerian Hukum karena kubu Aburizal Bakrie berusaha menggugat hasil putusan.
Pada Juli 2015, hakim pengadilan menolak gugatan kubu Aburizal Bakrie dan resmi menetapkan Agung Laksono sebagai ketua umum yang sah. Namun Aburizal tidak tinggal diam. Dia mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung untuk merebut kekuasaan Golkar dari tangan Agung. Hasilnya, Mahkamah mengabulkan kasasi Aburizal dan secara sah menjadikan taipan asal Lampung itu sebagai Ketua Umum Golkar periode Januari-Mei 2016.
Selama rentang tiga tahun antara 2014-2017, Golkar diketahui menyelenggarakan tujuh kali musyawarah tingkat nasional, yakni satu kali musyawarah nasional; dua kali musyawarah nasional luar biasa; dan empat kali rapat pimpinan nasional.
Usep mengatakan, secara hukum, Aburizal dinyatakan menang, tapi dinamika internal partai ini masih bergejolak. Hingga akhirnya, melalui musyawarah internal partai, kedua kubu setuju menggelar musyawarah luar biasa (munaslub).
Dualisme kekuasaan antara Agung dan Aburizal resmi berhenti ketika Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Golkar pada 17 Mei 2016 melalui munaslub yang digelar di Nusa Dua, Bali. “Sayangnya, ini tidak jadi munaslub terakhir Golkar. Konflik terus terjadi,” kata Usep.
Kisruh Internal Tersebab Terseret Kasus
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan, setelah dinakhodai Setya Novanto, Golkar kembali tersandung konflik internal. Kasus rasuah KTP berbasis elektronik yang menjerat Setya menjadikan internal partai kembali bergejolak. Sebanyak 31 dari 34 dewan pimpinan daerah (DPD) mendesak agar diselenggarakan munaslub sebelum berakhirnya pengujung 2017. “Di sini panggung bagi Airlangga Hartarto dimulai,” kata Agung.
Pada masa kepemimpinan Airlangga, kata Agung, gejolak konflik internal baru terjadi di masa-masa akhir kepemimpinan Menteri Koordinator Perekonomian itu atau pada rentang waktu 2023-2024. Kasus dugaan rasuah izin ekspor crude palm oil (CPO) yang tengah diselisik Kejaksaan Agung menambah kuat desakan sejumlah kader internal partai untuk menggulingkan Airlangga dari kursi pucuk pimpinan Golkar. “Airlangga dianggap gagal menjalankan amanat Munaslub 2019 untuk menjadi calon presiden,” kata Agung.
Dalam kekisruhan internal tersebut, kata Usep Saepul Ahyar, muncul seruan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalila. Keduanya menyatakan kesiapannya menjadi Ketua Umum Golkar. Seruan itu makin mendorong masifnya desakan agar diselenggarakan munaslub untuk melengserkan Airlangga.
Baca Juga Infografiknya:
Kendati begitu, tak cukup waktu lama. Suasana tegang yang mendesak diselenggarakannya munaslub berhasil diredam Airlangga. Sejumlah pengurus DPD Golkar menyatakan Airlangga masih layak menjabat ketua umum dan tidak adanya urgensi menggelar munaslub. "Ketenangan makin terlihat ketika raihan suara Golkar meningkat pada Pemilu 2024," kata Usep. "Ini bisa jadi modal Airlangga untuk maju sekali lagi."
Tapi, menurut Agung Baskoro, situasi tenang saat ini justru menjadi pandora bagi Airlangga. Isu bakal masuknya Presiden Joko Widodo ke partai beringin, kata dia, suka atau tidak bakal mengancam peluang Airlangga apabila mencalonkan diri kembali. “Bagaimanapun, menangnya Golkar pada Pemilu 2024 ini tidak terlepas dari efek Jokowi," ujar Agung.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan tidak ada pembahasan khusus yang dilakukan petinggi Golkar ihwal penyelenggaraan munaslub. Dia menjelaskan, Golkar saat ini masih terus berfokus mengawal proses penghitungan suara nasional. “Bahkan pembahasan soal munas pada Desember saja belum ada. Bagaimana mungkin membicarakan munaslub?” ujar Dave.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo