Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rabies saat ini tengah menjadi perbincangan di masyarakat menyusul sejumlah kasus meninggalnya anak-anak yang terpapar virus ini. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) Nusdianto Triaksono mengatakan rabies memiliki berbagai macam nama, antara lain Lyssa atau Hidrofobia. Tapi, di Indonesia lebih terkenal sebagai penyakit anjing gila.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penularan penyakit ini bisa terjadi dari hewan ke manusia atau hewan ke hewan melalui gigitan. “Virusnya itu banyak di sekitar mulut, khususnya saliva atau liur. Melalui gigitan atau cakaran virus bisa terbawa menembus kulit dan masuk ke dalam tubuh,” katanya dilansir dari situs Unair pada Senin, 26 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat terjadi luka terbuka pada kulit dan terkena jilatan hewan rabies maka ada kemungkinan virus masuk ke dalam tubuh. “Kulit sebenarnya berfungsi sebagai pelindung. Jika kulit terbuka karena tergores atau luka maka agen infeksi seperti bakteri atau virus bisa saja masuk ke jaringan di bawah kulit dengan mudah,” ujarnya.
Nusdianto mengatakan bahwa virus ini dapat merusak otak dan membuat sistem saraf pusat tidak bekerja dengan baik. Di manapun bagian tubuh yang mendapat gigitan, virus ini, kata dia, akan berakhir di otak atau sistem saraf pusat.
Tingkat Kematian Capai Hampir 100 Persen
Dilansir dari situs Kementerian Kesehatan, angka kematian akibat rabies di Indonesia masih cukup tinggi yakni 100-156 kematian per tahun, dengan case fatality rate (tingkat kematian) hampir 100 persen. Hal ini menggambarkan bahwa rabies masih jadi ancaman bagi kesehatan masyarakat.
Secara statistik, 98 persen penyakit rabies ditularkan melalui gigitan anjing, dan 2 persen penyakit tersebut ditularkan melalui kucing dan kera.
Adapun gejala yang terlihat jelas adalah hewan penderita bisa menjadi lebih agresif. “Pada tahap tertentu, hewan ini bisa lebih agresif. Dia bisa menggigit apa saja, manusia bahkan kayu atau benda-benda lain,” paparnya.
Selain berubah agresif, ada tahapan lain yang bernama tahap paralitik. Pada tahap ini hewan menjadi lebih diam bahkan mengarah pada kelumpuhan. “Dia tidak banyak bergerak jadi diam sekali,” ucapnya.
Kelemahan yang terjadi pada hewan rabies akan berdampak pula pada korban yang mendapat gigitan. Hewan ternak yang menjadi korban gigitan dapat terpapar. “Hewan ternak yang terkena rabies cenderung lebih diam, bisa juga ada gejala takut air atau hidrofobia hingga takut terhadap sinar atau fotofobia,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa rabies bisa terjadi pada semua hewan, utamanya makhluk berdarah panas seperti anjing, kucing, atau kelelawar, atau hewan ternak.
Nusdianto berpesan kepada masyarakat jika mencurigai hewan peliharaannya terpapar rabies untuk segera melapor ke dokter hewan atau Dinas Peternakan. Begitu pula bila ada korban gigitan hewan, laporan tetap harus dilakukan.
“Begitu hewan menggigit maka tangkap, amankan, dan jangan dibunuh. Supaya bisa diperiksa dulu hewan ini menderita rabies atau tidak,” terangnya.
Cegah dengan Vaksinasi
Nusdianto menyarankan bagi korban gigitan untuk pergi ke pelayanan kesehatan terdekat agar mendapat penanganan segera. Upaya untuk mencegah terpaparnya virus adalah dengan melakukan vaksinasi. Vaksin rabies bisa dilakukan sekali dalam satu tahun. Masyarakat bisa menghubungi dokter hewan atau dinas peternakan setempat untuk mendapatkan.
Beberapa fasilitas lain seperti vaksinasi rabies massal juga kerap dilakukan oleh Unair. Upaya ini dilakukan guna membantu pemerintah dalam mewujudkan Indonesia bebas rabies pada 2030.
“Di RSHP Unair selalu mengadakan vaksinasi massal supaya capaian vaksinasi meningkat. Biasanya kami lakukan saat momen-momen penting seperti memperingati hari kedokteran hewan dunia atau hari peringatan rabies,” ucap Nusdianto yang merupakan Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medis, Pendidikan, Penelitian, dan Keperawatan Veteriner Rumah Sakit Hewan Pendidikan Unair ini.