PADA mulanya mereka bersemangat mendapat latihan kemiliteran. Tapi, setelah selesai, sebagian dari mereka pun bertanya-tanya, mengapa mereka mesti dilatih seperti anak muda yang mau menjadi bintara atau tamtama, atau setidaknya mirip hansip. Pertanyaan itu tak lain datang dari 200 kepala SD se-Kabupaten Bandung. Mereka diwajibkan ikut latihan dasar pertahanan dan keamanan nasional di kompleks Rindam Kodam III/Siliwangi, Bandung, pekan lalu. Apalagi, usia mereka rata-rata sudah berada di antara 48 dan 52 tahun. Semua mengenakan seragam hansip hijau muda, bersepatu tentara yang berat, dan ikut latihan mirip hansip. Ada memang peserta yang berani "nakal" misalnya diam-diam makan kuaci, kacang, mengisap rokok, atau ngobrol bisik-bisik. Tapi lebih banyak yang serius dan tegang, termasuk ketika mereka mengikuti penataran. Setiap peserta yang akan keluar dari ruang penataran berukuran 5 x 25 meter itu, mau ke belakang misalnya, harus bersikap sempurna dulu, memberi hormat pada instruktur, baru boleh menuju pintu. Ketika Komandan Kodim 0618/Bandung Letkol Usman Djaja Prawira memberikan ceramahnya, salah seorang peserta laki-laki maju. Bak komandan regu, ia melapor ke Usman. Setelah itu, dengan lantangnya, komandan kelas itu menyiapkan para peserta. Begitu upacara "militer" ini usai, gemuruhlah tepuk tangan peserta. "Lebih tegas dari anggota ABRI sendiri," ujar seorang peserta. Latihan disiplin model tentara untuk kepala SD ini -- mungkin baru kali ini - diadakan 3-12 Januari 1994. Semuanya ada enam angkatan, dan tiap angkatan terdiri dari 200 peserta -- terutama para kepala SD di Kabupaten Bandung. Latihan ini dimulai pukul 05.30, dan baru usai pukul 17.30. Pagi-pagi, peserta mendapat pendidikan militer dasar berupa baris-berbaris dan tata upacara. Lalu mereka masuk kelas, mendengarkan ceramah tentang sejarah perjuangan bangsa, kamtibmas, pembinaan teritorial, wawasan Nusantara, disiplin nasional, ketahanan nasional, dan lain-lain. Pemberi ceramah kebanyakan dari lingkungan Kodam Siliwangi, ditambah beberapa pejabat di Bandung. Sore hari, kelas ditutup dengan baris-berbaris dan upacara lagi. "Cukup berat dan melelahkan," ujar seorang peserta perempuan. Memang ada yang menganggap latihan militer itu penting. Banyak pula yang mengeluhkannya - walau secara diam-diam. "Buat apa, sih, manfaatnya pendidikan militer seperti ini untuk kami yang sudah tua-tua ini? Apa nggak yakin pengabdian yang telah kami berikan sebagai guru?" keluh seorang peserta berumur 54 tahun. Latihan ini, kabarnya, berawal dari instruksi Wali Kota Bandung, Wahyu Hamidjaja, yang masih ABRI aktif. Ia menunjuk Dinas P & K Bandung, bekerja sama dengan Mawil Hansip Bandung, mengadakan pendidikan ini. Bagi kepala SD, edaran kepala dinas itu berarti perintah. Namun, kata Kepala Penerangan Kodam Siliwangi Letkol Ade Djamhuri, "Ini bukan kegiatan Kodam. Soal tempatnya di Rindam, itu hanya dipinjam." Menurut Usman, pendidikan ini banyak manfaatnya, apalagi bagi pembinaan teritorial yang memerlukan partisipasi masyarakat. Usman menginginkan pendidikan ini diperluas untuk guru SMP, SMA, dosen, dan kalau mungkin dinasionalkan. "Cuma, pendidikan ini kan perlu biaya," katanya. Soal biaya itulah yang ternyata dikeluhkan terlalu tinggi untuk gaji kepala SD. Sampai-sampai beberapa di antaranya mengirim surat pembaca ke koran lokal. Soalnya, mereka dikutip Rp 160.000 seorang. Rinciannya, Rp 70.000 untuk makan siang dan kue, Rp 90.000 untuk seragam hansip, sepatu lars, dan atribut kehansipan. "Kalau di luaran, harga seragam hansip lengkap paling cuma separuhnya," kata yang lain.Ardian Taufik Gesuri dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini