Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Molotov buat yang asing

Nelayan aceh ramai-ramai menyerbu kapal penangkap ikan thailand dengan lemparan bom molotov. penyerbu kocar-kacir karena serangan balik.

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INSIDEN ini mirip perang. Sekitar 100 nelayan Desa Alue Ambang, Kecamatan Teunom, Aceh Barat, melaju ke laut menaiki 35 perahu bermesin, Jumat dua pekan lalu. Berbekal sekitar 90 bom buah molotov, mereka menyerbu tujuh kapal nelayan Thailand yang menjaring ikan hanya satu mil dari pantai. Bom-bom pun dilemparkan. Sayang, lebih banyak mencemplung ke laut. Hanya satu bom yang mengena. Api pun marak pada lambung kapal asing itu. Namun, berhasil dipadamkan. Tapi dentuman bom itu memancing enam kapal Thailand lainnya muncul memberi bantuan. Maka, belasan kapal berbobot 45 ton mengejar penyerbu dengan perahu yang hanya berbobot 1,5 ton itu. Mereka bahkan tertawa-tawa dan melempari nelayan Aceh itu dengan ikan-ikan kecil. Karena bom telah habis, nelayan lokal itu pun meluncur ke pantai. "Tapi kami terus akan berperang melawan mereka," kata Suwardi, 25 tahun, mahasiswa drop out, perancang bom itu, kepada TEMPO. Inilah perlawanan nelayan pribumi setelah nelayan asing itu sejak Agustus lalu meresahkan mereka. Padahal, tiga kapal perang TNI AL, termasuk KRI Malahayati, Oktober lalu telah menghalau ratusan kapal asing itu. Desember lalu, nelayan asing itu sempat menyandera tiga orang polisi perairan Aceh. Aksi "kucing-kucingan" sempat terjadi, hingga armada nelayan asing itu kabur dan membiarkan satu kapalnya, Chaitakarn, dan 16 orang awaknya ditangkap. Seperti halnya kapal Chaitakarn, kapal milik swasta Thailand itu bermain "alibaba". Dalam surat izin operasi yang mereka miliki, disebutkan atas nama Pusat Koperasi Armada RI Kawasan Barat. Izin operasinya, yang konon diteken oleh Dirjen Perikanan Ir. H. Muchtar Abdullah, hanya pada perairan 12 mil hingga 200 mil dari garis pantai, bukan dekat-dekat dengan pantai hingga memancing amarah nelayan pribumi. "Jika siang, wajah mereka pun tampak dari darat," kata Syahrul Husen, 45 tahun, pemuka nelayan di sana, kepada TEMPO. Bahkan, mereka kerap menabrak kapal nelayan setempat yang tak mau menyingkir, dan kadang main "dor" pula untuk menakut-nakuti nelayan Aceh. Akibatnya, banyak nelayan takut melaut. Lagi pula, jika ke laut pun, hasilnya minim, paling tinggi hanya 3 kg ikan senilai Rp 3.000. "Agaknya, ikan habis mereka kuras," kata Husin, seorang nelayan. Maklum, nelayan setempat hanya memakai tangguk atau jaring tradisional. Dulu, rata-rata boat nelayan bisa mendaratkan 1 ton ikan sehari. Berbeda dengan nelayan Thai. Mereka menggunakan jaring trawl -- dilarang Keppres No. 39/1980. Mereka juga melengkapi diri dengan alat komunikasi dan lemari pendingin pengawet udang dan ikan. Karena itu, tak mengherankan, habitat ikan dan udang pun rusak hingga ke telur-telurnya. "Jadi, yang kami peroleh hanya sisa-sisa," kata Syahrul Husen. Maka, serbuan terhadap yang serba-asing itu pun terjadilah. Komandan Resor Militer 012/Teuku Umar, Kolonel H. Rudy Supriatna, mengimbau agar izin operasi kapal asing itu dicabut karena meresahkan nelayan setempat. Selain itu, fasilitas pengamanan seperti kapal dan personalia belum memadai. "Maka, nelayan asing itu seenaknya melanggar batas 12 mil," kata Rudy kepada TEMPO. Sekretaris Dinas Penerangan TNI AL, Kolonel Dicky Putramada, membenarkan bahwa izin penangkapan ikan itu dipegang Pusat Koperasi AL Armada Barat. Operasionalnya bekerja sama dengan nelayan asing tersebut. Mengenai kerusuhan, katanya, itu baru menurut versi nelayan setempat. "Kasusnya tengah kami usut," kata Dicky kepada Almin Hatta dari TEMPO. Namun, ia pun berjanji akan menindak kapal asing yang beroperasi di bawah 12 mil.Bersihar Lubis dan Marhiansyah Azis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus