KETUA Komisi Djaelani barangkali belum membaca pernyataan Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), 28 November lalu, ketika pada tanggal yang sama, ia bersama anggota timnya baru tiba di Hotel Mahkota di Dili. Pernyataan bernada "keras" itu ditandatangani Ketua KWI Mgr. J. Darmaatmadja dan Sekretaris Jenderal Mgr. M.D. Situmorang. Pernyataan itu beredar selang tiga hari setelah kedua uskup tersebut bertolak ke Dili 25 November lalu, dan bicara dengan banyak orang selama dua hari di sana. KWI, dalam pernyataannya yang kedua, berpendapat bahwa sebaiknya "Tabir di sekitar peristiwa 12 November diungkap secara terbuka dengan penyelidikan yang obyektif ..." "Tabir" itu rupanya belum sempat diintip, ketika KWI mengedarkan pernyataannya yang pertama, 14 November lalu, yang berisi "penyesalan", dan "merasa prihatin" atas terjadinya Peristiwa Dili. "Yang pertama dulu, kami belum ada data. Kami hanya mendengar berita lewat koran, radio, dan televisi," kata Romo Alfons S. Suhardi, O.M.F., kepada wartawan TEMPO Sri Indrayati, akhir pekan lalu. "Kalau yang sekarang ini, kami sudah ada pengalaman di Tim-Tim." Adalah Romo Alfons, Kepala Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, yang diutus ke Dili lebih dulu oleh pimpinan KWI. Dia berada di sana sejak 22 November, dan kembali ke Jakarta dua hari sebelum tibanya komisi Djaelani. "Kunjungan tersebut ternyata sangat berguna, karena kami dapat berjumpa dengan mereka yang telah menyaksikan peristiwa tersebut dari dekat," bunyi pernyataan KWI yang kedua itu. Beberapa petikan: Banyak keluarga tidak tahu, apakah suami, saudara, anak, masih hidup atau sudah mati, karena masih cukup banyak orang yang dirawat di rumah sakit militer, dan mereka tidak boleh dikunjungi siapa pun. Juga kuburan mereka yang telah mati tidak diketahui tempatnya. Identitas mereka yang mati tertembak tidak jelas .... Diperkirakan ada beberapa Fretilin, sebagian peserta unjuk rasa, dan sebagian umat yang datang berbondong-bondong atas undangan lewat siaran radio. Mengapa ABRI melepaskan tembakan juga menjadi pertanyaan banyak orang, karena tembakan justru terjadi di pintu masuk kuburan Santa Cruz, jauh dari tempat penusukan dua anggota ABRI. Kalau untuk membela diri, orang bertanya-tanya, perlukah jumlah korban begitu banyak. Mengapa tidak dicegah berbaurnya para pengunjuk rasa dengan rakyat biasa yang turut upacara tabur bunga? Kami yakin, penembakan yang menimbulkan banyak korban tak berdosa itu bukan policy pemerintah, dan bukan pula policy ABRI. Banyak ABRI kelihatan menjaga para pengunjuk rasa dengan baik, demikian kata banyak orang. Bahkan ada yang mengatakan: pada saat penembakan pun ada ABRI yang mencoba menghentikan temannya yang sedang menembak. Juga bukti yang baik, setelah dua orang ABRI terluka karena tusukan senjata tajam para pengunjuk rasa, diberitakan bahwa ABRI di sekitarnya pun tidak langsung membalas. Desas-desus bahwa pada 12 November sore itu masih ada eksekusi sejumlah orang, mereka yang biasanya mendapat informasi meragukan kebenarannya. Maka, kami sungguh menyayangkan, karena perbuatan sekelompok ABRI, integritas moral, kehormatan, dan kredibilitas bangsa dipertaruhkan di dunia internasional serta di dalam negeri, lebih-lebih di muka rakyat Timor Timur yang perlu direbut hatinya. . Kami mengimbau agar semua pihak membantu proses penyelidikan KPN dengan menciptakan suasana yang membuat orang merasa bebas mengemukakan apa yang mereka ketahui, dan menjamin keselamatan serta keamanan mereka. Tugas KPN berat, karena orang di sana saat ini lebih suka diam demi keamanan dirinya. . Dalam pemberitaan peristiwa 12 November, keterlibatan Gereja Motael disebut-sebut. Ketika ABRI mengadakan penyelidikan pada 28 Oktober di gereja dan kompleks Pastoran Motael, Mgr. Belo ikut serta dalam penyelidikan itu. Beliau mengakui memang ada orang yang ditemukan di dalamnya, dan dibawa keluar. Beliau mengatakan tak pernah ada senjata tajam yang ditunjukkan kepadanya saat ditemukan. Tapi ketika pastor Gereja Motael dimintai keterangannya di Polwil, akhirnya dia diantar ke suatu meja di situ ditunjukkan senjata tajam, poster, dan lain-lain, yang menurut mereka ditemukan di dalam kompleks pastoran. . Kami tidak ingin terlalu banyak bicara mengenai keterlibatan Gereja Motael, karena dengan mudah ditafsirkan sebagai pembenaran diri, dan kurang mencari obyektivitas. Seandainya benar ada pastor yang terlibat dalam peristiwa 12 November, tentu perlu diteliti sejauh mana gradasi keterlibatannya, dan diambil tindakan semestinya, seperti halnya dengan siapa pun yang terbukti bersalah. . Namun, kami masih ingin menyampaikan bahwa uskup, imam, biarawan-biarawati di Timor Timur, yang harus berdiri di atas semua aliran politik dalam tugas penggembalaannya, memang berada dalam keadaan sulit. Oleh pihak-pihak yang bermusuhan, kerap kali mereka dianggap kurang membantu. Dapat diberitahukan, pada September 1991, Xanana, gembong Fretilin, masih menyampaikan kritiknya yang pedas, baik kepada Paus Yohanes Paulus II maupun kepada Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo. . Apa yang paling mendesak untuk dilakukan saat ini, menurut kami, ialah mengembalikan perasaan aman dan kepercayaan rakyat pada Pemerintah. Syahdan, setelah pernyataan KWI pertama beredar, timbul kritik dari beberapa pemuka Katolik. "Kami dituduh pengecut," kata sebuah sumber yang dekat dengan KWI. Dari Roma? Sumber tersebut tak bersedia bicara lebih banyak. Tapi boleh jadi pernyataan KWI yang belakangan adalah untuk memberi uluran tangan kepada rekannya di Dili, Uskup Belo. Setidaknya, agar sang Uskup yang masih langsung di bawah bimbingan Vatikan itu perlahan-lahan mau bergabung masuk KWI. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini