Penangguhan bantuan dua negara IGGI dikhwatirkan akan berpengaruh pada penyusunan RAPBN 1992/93. PBB dikabarkan akan mengirim utusannya ke Jakarta. Mungkinkah Tim Djaelani bekerja cepat? MARIO Viegas Carrascalao sering berlibur di pesanggrahannya, di Desa Vasenda, Liquisa, sekitar sejam bermobil dari Dili. Di sana, ia suka menghabiskan waktunya dengan membaca. Kebiasaan bagus itu sementara terputus sejak pecahnya peristiwa Dili. Maklum, buntut tragedi 12 November, yang menewaskan banyak orang, memaksa dia bekerja hingga larut malam. Kesibukan penjaga gawang klub Benfica zaman Timor Portugis ini menjadi-jadi dua pekan terakhir. Itu gara-gara sebuah laporan panjang tentang peristiwa Dili. Ia memang "tergoda" membuat laporan secara rinci karena, katanya, "Tanpa diminta, saya banyak menerima laporan. Tapi semuanya saya cek dulu di lapangan." Laporan itu ia ketik sendiri di komputer. "Kode file-nya hanya saya yang tahu," ujarnya. Berkas laporan, yang semula direncanakan 100 halaman, hingga malam Minggu lalu menebal jadi 300 halaman. Selain menyusun peristiwa secara kronologis, Carrascalao juga memasukkan analisa penyebab insiden berdarah itu. Hasil penyelidikannya, "Peristiwa 12 November tak jatuh begitu saja dari langit, dan hanya suatu akibat," ujarnya. Sampai di sini, ia tak merinci lagi apa yang ditulisnya untuk masukan Komisi Penyelidik Nasional (KPN), yang tiba di Dili Kamis siang lalu. Kamis malam itu juga Ketua Komisi Djaelani dan timnya mulai membuka perbincangan di Gubernuran selama lima jam, hingga menjelang tengah malam. Entah berapa cangkir kopi timor telah mereka habiskan malam itu. Namun, kepada Komisi, Gubernur Carrascalao telah menyampaikan sejumlah nama yang layak mereka tanya. "Mereka para saksi mata, atau yang menerima laporan dari tangan pertama," kata Carrascalao. Putra Baucau ini juga menyampaikan pendapatnya tentang langkah-langkah yang seharusnya dilakukan pihak ABRI setelah pecahnya peristiwa Santa Cruz. Misalnya, cara aparat menangani mayat-mayat korban. Menurut dia, korban harus dikembalikan pada keluarga. "Kalau keluarga mereka datang, sebaiknya bawalah mereka ke tempat penguburan. Kalaupun korban sudah dikubur, kan bisa digali lagi. Bisa saja orang yang tempatnya jauh mengambil mayat keluarganya untuk dikubur di tempat yang dikehendaki," kata Carrascalao. Di mana sebenarnya mereka dikuburkan? Carrascalao mengangkat bahu. "Saya tak tahu persis," katanya. Namun, tentu ada petugas dari ABRI yang membawa mayat-mayat itu untuk dikuburkan. Merekalah yang agaknya patut ditanyai oleh KPN. Dua hari setelah terjadinya insiden, Panglima Kodam Udayana Mayjen. Sintong Panjaitan mengumumkan bahwa ada 19 orang yang mati. Apa komentar Carrascalao? "Angka 19 orang itu bukan pegangan saya karena saya punya feeling, dan pernah melihat mayat dalam satu truk. Hanya, saya tak punya pengalaman menghitung satu truk itu berapa mayat," katanya. Menurut dia, jumlah korban bisa dilacak dari orang-orang yang saat pecahnya peristiwa itu ada di Santa Cruz. "Saya kira orang yang hadir di sana bisa memberi data yang lebih akurat, seperti yang dikemukakan oleh Bapak Uskup (Belo Red.). Informasi untuk saya bisa saja dibuat-buat, tapi kepada Uskup saya kira mereka berkata benar," ujar Carrascalao lagi. Uskup Belo pun mengaku tak punya angka yang diyakininya benar. Dalam wawancara dengan TEMPO, beberapa hari setelah insiden, Belo menyatakan, "Menurut orang Timor, korban 50, salah satu anggota parlemen mengatakan 80. Saya hanya dilapori, jadi tak tahu pasti." Yang sudah diteliti oleh Pemerintah, dan diyakini benar, ya jumlah itu tadi, 19 orang meninggal dan 91 luka-luka. Apa jumlah tersebut akan berubah atau tidak mari kita tunggu apa kata hasil komisi yang dipimpin Hakim Agung Muhammad Djaelani. Komisi Djaelani tampak bekerja keras. Tim 13 orang -tujuh anggota inti dan selebihnya bagian dokumentasi dan lainnya -sejak mendarat di Bandar Udara Comoro sampai awal pekan ini masih terus berusaha mengorek lebih jauh. Setelah berbincang dengan Carrascalao, esok paginya Komisi Djaelani sudah bertandang ke rumah Uskup Belo di kawasan Lecidere, Dili. Pertemuan ini tertutup. Para pemburu berita hanya diperbolehkan memotret sesaat sebelum pertemuan dimulai. Mgr. Belo, 42 tahun, uskup pribumi pertama di Tim-Tim, menerima tamunya sendirian. Sebelum pintu ditutup, masih terdengar tawa Belo ketika Clementino Amaral dari DPR RI sempat menanyakan berapa usia Uskup. Setelah hampir tiga jam berbicara, tepat pada 10.30, KPN minta diri. Selesai mengantar tamunya sampai di pagar, sang uskup bergegas kembali ke pintu rumahnya menghindari tembakan pertanyaan puluhan wartawan. "No komentar, no komentar," hanya itu jawabnya. Bisa jadi dia sudah berjanji kepada KPN untuk tidak bicara banyak lagi pada pers. Lalu, braaak, sang monsinyur pun menutup pintu rumahnya keras-keras. Konon, menurut sebuah sumber, dalam pertemuan yang sempat direkam kamera video ini, Uskup Belo secara rinci menuturkan kronologis peristiwa yang dilaporkan para saksi mata kepadanya. Bisakah mereka dipercaya? "Kayaknya bisa," kata sebuah sumber TEMPO di Dili. "Untuk jadi saksi mata, paling tidak harus ada dua orang yang benar-benar melihat bahwa orang yang mengaku saksi mata itu benar-benar ada di tempat kejadian." Syahdan, keterangan yang dijalin dari para saksi mata yang melapor ke Uskup Belo, sedikit banyak, dapat membuka tabir peristiwa berdarah di Santa Cruz. Dalam pertemuan tertutup itu, KPN konon minta pada Uskup Belo memberitahukan nama para saksi tadi. Maksudnya agar KPN dapat berhubungan langsung, dan mendapat informasi dari tangan pertama. Namun, entah benar entah tidak, Uskup Belo enggan memberikannya. Alasan Uskup, KPN harus memberikan jaminan agar saksi mata yang disebutnya nanti tak akan ditangkap. Suatu permintaan yang, menurut sumber TEMPO tadi, belum dapat dipenuhi oleh KPN. Menurut yang empunya cerita, jawaban KPN ihwal permintaan jaminan ini adalah, "Akan diusahakan." Komisi Djaelani bagai tak kenal lelah. Dari rumah Belo, rombongan KPN berbicara dengan Ketua DPRD Tim-Tim Guilherme dos Santos. Siangnya, giliran berbincang-bincang dengan Bupati Dili, lalu Wali Kota Dili. Malam Sabtu itu, walau waktu Dili sudah menunjukkan pukul sepuluh, Djaelani masih terlihat meninggalkan hotel bersama Kepala Dinas Sosial Politik Pemda Tim-Tim J. Manurung. Sabtu pagi, KPN menemui Alberto Ricardo da Silva, Pastor Paroki Motael. Dari gereja inilah, selesai misa di pagi 12 November, sebagian besar jemaat lalu berangkat untuk berziarah ke makam Santa Cruz. Dari Motael, Komisi Djaelani napak tilas hingga di kuburan Santa Cruz. Malam Minggu, KPN kembali berund- ing dengan Gubernur Carrascalao di kamar 209 Hotel Mahkota, tempat menginap Djaelani. KPN saat itu menerima laporan 300 halaman dari Carrascalao. Juga, sejumlah foto demonstrasi 12 November, yang sebagian dijepret oleh Carrascalao dari balkon kantornya. Baru sekali ini dalam riwayat Orde Baru, sebuah peristiwa perlu diusut dengan membentuk sebuah komisi. Peristiwa Tanjungpriok (1984) atau peristiwa Lampung (1989) atau GPK Aceh, yang sampai sekarang masih terdengar gaungnya, tak pernah mengundang Pemerintah membentuk komisi penyelidikan. Timor Timur, untuk meminjam istilah orang Medan, memang lain. Posisi provinsi anak "bungsu" Republik, yang sering gundah, memang belum lepas dari daftar agenda pembicaraan di markas PBB, New York. Beragam reaksi dari negara yang kebetulan anggota IGGI, seperti Australia, terdengar nyaring. Lebih-lebih karena sudah ada dua negara yang menyatakan akan menangguhkan bantuannya pada RI: Belanda dan Kanada. Mereka sudah "memainkan" kartu donornya untuk menekan Pemerintah RI. Suatu hal yang menurut Hamzah Haz, anggota DPR dari Komisi APBN, patut diperhitungkan. Maksud Haz, untuk penyusunan APBN 1992/1993, yang biasanya diumumkan oleh Presiden Soeharto pada awal Januari. Sungguh berat tugas KPN karena, sedikit banyak, tergantung hasil mereka pula, bantuan kredit lunak akan diteruskan atau tidak oleh Pemerintah Belanda dan Kanada. Terbetik pula berita bahwa PBB akan mengirim utusannya ke Jakarta untuk menyelidiki peristiwa Dili (lihat Mengkhawatirkan Efek Domino). Berapa lama KPN akan berkantor di Hotel Mahkota, Dili, itulah yang belum bisa dijawab Djaelani. "Ya, bisa seminggu, bisa sebulan, bisa juga lebih dari itu," jawab Djaelani kalem. Sehari sebelum Komisi bertolak ke Dili, Pangab Try tampil di depan Komisi I DPR, dan berbicara tentang peristiwa Dili. Try membantah bahwa ABRI yang lebih dahulu melepas tembakan ke arah massa, yang menurut pers asing melakukan demonstrasi damai di Santa Cruz. "Peaceful demonstration? Bullshit," teriak jenderal berbintang empat itu dari mimbar DPR. Try tampak gemas dengan pemberitaan pers asing yang dinilainya sangat berat sebelah. Ada benarnya. Penusukan Mayor Andi Geerhan Lantara, dan Sersan Satu Dominggus yang kena bacok seorang demonstran kalap, memang membuktikan betapa demonstran tak sekadar melakukan aksi poster. Namun, omong-omong, siapa itu orang yang berani menusuk Mayor Andi Geerhan, yang begitu dikenal baik oleh masyarakat sana? Inilah yang, barangkali, perlu diusut oleh KPN. ABRI juga mulai berbenah. Kata Try, operasi teritorial yang sudah menampakkan hasil di Tim-Tim akan terus berlanjut. Tak hanya di pedalaman, tapi juga di Dili. Sementara itu, ada dua batalyon tempur yang ditarik dari Tim-Tim. Komandan Sektor C yang membawahkan Kota Dili, Kolonel Binsar Aruan, juga sudah pulang ke markas besarnya (lihat Mereka yang Dibekali 10 Hari). Minggu pagi pekan lalu, seperti dilaporkan wartawan TEMPO Silawati dari Denpasar, sekitar 25 tentara menggerebek sebuah rumah di kawasan Sesetan, Denpasar. Dari salah satu kamar ditemukan dua granat dan dua bahan peledak yang tergeletak begitu saja di atas meja. Di pintu, terpampang bendera merah- hitam, mirip bendera Fretilin. Penghuninya, enam mahasiswa dari dua universitas di Denpasar, adalah pemuda asal Tim-Tim. Mereka diduga antiintegrasi. Dalam rekening telepon mereka, konon, dijumpai bukti pembicaraan ke Portugal, Inggris, dan Tim-Tim. Namun, belum diketahui dengan pasti peran mereka dalam demo anti-integrasi di Tim-Tim selama ini. Juga, apakah benar mereka itu yang melakukan kontak-kontak telepon ke luar negeri. Toh reaksi terhadap peristiwa Dili belum sepi di dalam negeri. Konperensi Waligereja Indonesia pada 28 November lalu mengeluarkan pernyataan baru yang bernada keras. Dua pekan sebelum itu, KWI memang mengeluarkan edaran pers mereka yang pertama, yang bernada imbauan (lihat Menyingkap Tabir Peristiwa Dili). Barangkali, salah satu jalan untuk meredam peristiwa Dili adalah pendekatan yang lebih arif, termasuk kepada pihak luar, yang sepertinya masih meragukan keterangan resmi kita. Bukankah malapetaka itu sudah terjadi? Fikri Jufri, Toriq Hadad, Sandra Hamid (Jakarta), dan Zed Abidien (Dili).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini