PEMILIHAN kepala desa sedang berlangsung di Jawa Tengah. Maka, aksi demo, teror, dan gugat-menggugat ke pengadilan menjadi warna pelaksanaan demokrasi desa itu. Lihat saja pemilihan kepala desa di Kabupaten Kudus. Di Desa Bulungcangkring, Kecamatan Jekulo, misalnya. Ratusan warga, awal Mei lalu, mendatangi balai desa, mengadakan demo. Mereka memprotes hasil pemilihan kepala desa dua hari sebelumnya. Mereka adalah pendukung Sutikno, salah seorang dari tiga calon kepala desa, yang kalah suara dari calon lainnya, Trikoro. "Kami mengharapkan pemilihan kepala desa diulang," kata Dimiyati, salah seorang demonstran. Alasannya, dalam pemilihan itu terjadi kecurangan. Lain lagi yang terjadi di Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe. Pemilihan pada 28 April lalu juga menampilkan tiga calon untuk memperebutkan sekitar 6.000 suara. Pemenangnya, Kusdi Utomo, sopir mobil omprengan yang terkenal jujur dan mudah bergaul. Tapi muncul protes dari Nyonya Maryati, istri calon Haryono yang pecundang. Katanya, pemilihan berlangsung tak jujur. Soalnya, Maryati melihat gambar jagung -- tanda gambar suaminya dalam pemilihan -- tak dihitung. Maryati minta pemilihan ulang, tapi tak ditanggapi. Kekalahan Haryono ini membuat para pendukungnya, yang sebagian besar pemuda, kecewa. Namun, hari-hari berikutnya, desa yang terletak di kaki Gunung Muria itu mulai bergemuruh. Pada 29 April malam, misalnya, sebuah gudang penggilingan gula merah dibakar orang yang belum jelas identitasnya. Menyusul malamnya, 1 Mei, tempat penggilingan gula yang lain terbakar pula. Pelakunya juga tak diketahui. Tak hanya itu. Beberapa kaca jendela dan pintu rumah warga porak-poranda. Itu terjadi pada tanggal 2 dan 3 Mei lalu. Selain itu, dua warga dikeroyok sejumlah pemuda. Akibat teror itu, penduduk Dukuh Sudo, di desa itu, dicekam ketakutan. Sebagian para wanitanya mengungsi ke rumah famili di desa tetangga. Yang lelaki berkumpul di musala sambil membaca Surat Al- Fatihah. Warga pun takut keluar rumah. Semua penyebab musibah ini ditudingkan kepada pendukung Haryono. Tapi itu dibantah. "Itu fitnah belaka," kata Sukandar, kakak Haryono, sengit. Sebaliknya, Sukandar menuduh empat eks-tapol Pulau Buru yang ada di desa itu, sebagai penyebar fitnah. Di Desa Besito lain lagi. Dua belas warga menggugat kades terpilih ke ke Peradilan Tata Usaha Negara. Tuduhannya: telah terjadi manipulasi suara. Mengapa warga begitu gigih mendukung calonnya? Tampaknya, perasaan dekat dengan orang pertama di desa merupakan salah satu faktor pendorong. "Bila ada urusan desa, kami gampang mendapat pelayanan. Syukur bisa jadi pamong desa," kata seorang warga. Selain itu, para calon umumnya membagi-bagikan uang Rp 3.000-Rp 4.000 kepada pemilihnya. Juga ada jatah makanan gratis selama pemilihan. Tak heran bila seorang calon menghabiskan sampai Rp 35 juta untuk meraih kursi yang dilengkapi 10 hektar tanah bengkok itu. Munculnya berbagai protes, menurut Suparman, Kepala Biro Humas Provinsi Jawa Tengah, selain karena kekecewaan para pendukung, juga karena ada permainan judi di luar pengetahuan calon. Umumnya, protes terjadi di desa yang jauh dari kota. "Mereka itu belum tahu arti demokrasi," kata Wara, juru bicara Pemda Kudus.Julizar Kasiri dan Bandelan Amarudin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini