BELASAN peluru mortir ditembakkan, Selasa pekan silam. Maka tentu saja tak ada keajaiban bagi Alwito, penduduk Blangguan, Situbondo, Jawa Timur. Memang tujuh tembakan mortir sempat meleset. Tapi yang kedelapan tak terelakkan. Pondok bambunya kontan berantakan. Diiringi sorak siswa calon prajurit di kejauhan, Alwito dan tetangga sedusun cuma bisa menatap nanar: rumah semi-permanen itu adalah gubuk ke-16 yang hangus di areal Pusat Latihan Tempur Marinir TNI-AL itu. Korban jiwa memang tak ada. Sebab ke-118 kepala keluarga dusun itu sempat mengungsi ke RT sebelah. Lumayan aman, meski cuma berjarak 500 meter dari situ. Tapi warga menuding Marinir sengaja menembaki dan membakar gubuk mereka. Pasalnya, akhir bulan silam, Marinir marah karena 30 buah skip -- papan sasaran tembakan -- bergambar manusia tiba-tiba lenyap. Warga dusun dituduh mencurinya. Beberapa Marinir mengancam: bila tak ada yang mau mengaku, gubuk mereka di ladang akan dibakar. Maka sejak hari Minggu lampau asap hitam mengepul dari gubuk-gubuk di bukit itu. Kedongkolan pasukan elite ini bukan tanpa alasan. Tak cuma sekali ini peralatan latihan tiba-tiba raib. Tahun lalu, skip tripleks berbentuk tank PT-76 seukuran aslinya mendadak lenyap. Belakangan sebagian model kendaraan amfibi itu ditemukan telah menjadi dinding pondok di sudut bukit. Tak lama kemudian 30 meter tali khusus untuk turun tebing menguap. "Tapi itu tak lantas kami sengaja menembaki mereka. Kami memang sedang berlatih," ujar Letkol Herwandito, komandan latihan Marinir, membantah tudingan warga. Tembakan mortir tadi memang dalam rangkaian latihan itu. Secara hukum, Marinir berhak berbuat apa saja di Blangguan. Sejak tahun 1986 kawasan seluas 142 hektare itu telah dibebaskan untuk menjadi pusat latihan Marinir terbesar di Indonesia. Tapi tak semua warga dusun rela meninggalkan tanah leluhur. Mereka sudah menetap di Blangguan sejak hutan jati itu dibuka pada tahun 1923. Berbagai cara ditempuh pihak Marinir untuk memperingatkan risiko terkena peluru dan roket nyasar. Mereka pernah menjejerkan lima tank PT-76 dekat rumah warga, lalu menembakkan meriamnya ke atas bukit. Suara dentumannya langsung merontokkan kaca-kaca jendela. Tapi warga seolah tak peduli. Mereka baru mau hengkang bila diberi ganti rugi sesuai dengan surat keputusan Bupati Situbondo. Yaitu Rp 750 per meter persegi alias Rp 550 lebih mahal ketimbang yang ditawarkan pihak Marinir. Pada tahun 1989 warga sempat berdelegasi ke DPR di Jakarta. Tapi tak ada penyelesaian. Kalaupun berupa "tukar guling", warga Blangguan ogah pindah ke daerah Kopian yang disediakan Marinir. Alasannya: kontur tanah di sana miring, sulit digarap. Mereka ingin dipindah ke Desa Gentong. "Padahal di sana sudah ada warga. Nanti malah konflik," ujar Kapten Poerwono, Komandan Pusat Latihan Tempur. Selain itu, sebagai lokasi latihan, bukit Blangguan rupanya menjadi sumber kocek warga di musim paceklik. "Jagung dan kacang hanya kebun. Sawah kami sebenarnya ini," seorang warga menyeringai sambil menunjukkan buntut peluru mortir. Di pasar besi bekas, harganya Rp 800 per kilogram. Sedangkan kuningan dari selongsong peluru, yang membanjir di musim latihan, mencapai Rp 1.400 per kg. Nilai itu cukup buat warga untuk bertahan di daerah lintasan peluru.Ivan Haris dan Widjajanto (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini