Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menimbang Tarik dengan Ulur

Sebagai ganti ekstradisi, Singapura mendapat ruang latihan militer 25 tahun. Menumpang latihan demi peningkatan sumber daya. Masih dibayangi embargo.

30 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA tawar-menawar menarik di Kementerian Luar Negeri Singapura, Tanglin, Senin malam pekan lalu. Seorang negosiator Indonesia mengajukan angka dua puluh tahun sebagai hitung surut pemberlakuan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Negeri Singa itu. Tapi lawan negosiasinya menampik, karena tak lazim sebuah perjanjian dihitung mundur.

”Sembilan belas...,” negosiator Indonesia merayu. ”Tidak, sepuluh tahun!” ”Ya sudah, lima belas.” ”Okelah!” Dan kata sepakat diketuk.

Sehari kemudian, Menteri Luar Negeri Indonesia, Nur Hassan Wirajuda, dan Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo, duduk bersama. Kata mereka, negosiasi perjanjian ekstradisi dan pertahanan telah mencapai kesepakatan final dan siap ditandatangani di Istana Tampak Siring, Gianyar, Bali, pada Jumat 27 April.

Sesungguhnyalah perjanjian ekstradisi ini punya sejarah panjang. Di bawah Hindia Belanda, perjanjian ekstradisi, yaitu hak menyerahkan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dari suatu negara ke negara lain, sudah pernah dibuat antara pemerintah kolonial Belanda dan Inggris. Judulnya Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883188) tentang ”Uitlevering van Vreemdelingen”, atawa hukum tentang ekstradisi orang asing.

Adalah pemerintahan Soeharto yang mencabutnya dengan UndangUndang No. 1/1979 tentang Ekstradisi. Tapi undangundang ini hanya rujukan isi perjanjian. Kesepakatannya tetap harus dibuat bilateral satu per satu. Lagi pula, daftar kejahatannya sudah kedaluwarsa. ”Tak ada soal kejahatan modern seperti pencucian uang dan semacamnya,” kata pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana.

Baru dua dasawarsa kemudian perjanjian ekstradisi dengan Singapura digagas serius. Adapun sebabnya ialah kegagalan terusmenerus kepolisian dan kejaksaan Indonesia membawa pulang para pengutang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), setelah era reformasi. Mereka banyak yang kabur ke Singapura setelah krisis ekonomi 19971998, dan merasa aman sejahtera di sana.

Di bawah Perdana Menteri Lee Hsien Loong, negosiasi dimulai lagi pada Januari 2005. Disepakati pula bahwa pembicaraan akan berjalan paralel dengan perjanjian pertahanan. Situasi sempat meriang ketika Indonesia melarang ekspor pasir darat—setelah melarang ekspor pasir laut pada 2003—awal tahun ini. Singapura berang: sebagian besar pasir untuk pembangunan konstruksinya datang dari Riau dan sekitarnya.

Belum reda kegusaran itu, publik Singapura kembali terguncang ketika 22 kapal pengangkut granit ditahan TNI Angkatan Laut, Maret lalu. ”Kami meminta pemerintah melarang ekspor granit karena akibat kerusakannya sama dengan pasir,” kata Panglima Komando Armada TNI Angkatan Laut Wilayah Barat, Laksamana Muda Muryono. Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar bahkan menambahkan, kabinet telah menyetujui pelarangan.

Perundingan pun bergulir cepat. Menurut seorang pejabat Departemen Luar Negeri, pada awal April lalu Singapura meminta perundingan ekstradisi dibuka kembali. ”Padahal saat itu sudah sampai tahap make or break; jadi atau batal sama sekali,” katanya. Finalnya terjadi pada Senin malam pekan lalu itu.

Pejabat senior Departemen Pertahanan mengatakan, yang terjadi adalah tukarmenukar antara pertahanan dan ekstradisi. ”Targetnya mereka yang membawa kabur uang BLBI dulu,” katanya. Dihitung mundur 15 tahun, memang target ini tercapai. Di dalamnya ada 31 tindak pidana yang mencakup antara lain korupsi, penyuapan, kejahatan perbankan—butirbutir yang tidak ada dalam UU 1979 dulu. ”Sekarang kita bisa meminta seseorang diekstradisi dalam status tersangka, terdakwa, atau terpidana,” kata Hassan Wirajuda.

l l l

SEBAGAI negeri yang lagi bokek, kepentingan Indonesia tak sebatas pengembalian dana BLBI. Untuk urusan pertahanan, kita pun harus pandaipandai mengolah aset. Seperti diungkapkan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, seusai penandatanganan perjanjian di Istana Tampak Siring, ”Kita punya ruang, Singapura punya uang dan teknologi.”

Kepiawaian Singapura membela kepentingannya di meja perundingan tak bisa dibantah. Luas Singapura hampir 700 kilometer persegi, hanya sedikit lebih besar dari DKI Jakarta. Penduduknya sekitar empat juta orang. Tapi pasukan udaranya terbaik di Asia Tenggara. Meliputi 26 skuadron, mulai dari F16C dan F16D, heli serbu Apache, heli Chinook, dan pesawat intai Hawkeye.

Sebagian armada mereka terpaksa kost di Prancis, Australia, dan Amerika Serikat, dengan biaya mahal. Sebagian lagi disimpan di lima pangkalan dalam negeri. Berlatih sulitnya bukan main: belum tiga menit terbang, mereka sudah masuk wilayah udara Malaysia atau Indonesia.

Sebaliknya, pasukan udara Indonesia justru kesulitan karena tertinggal keahlian, peralatan, dan teknologi. Latihan militer bersama sudah sering, tapi pasukan Indonesia lebih banyak gigit jari. Menurut Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan, Yuwendi, Indonesia hanya jadi penonton. ”Misalnya, kapal Singapura latihan menembak, tapi kapal kita tidak siap, ya tidak ikut menembak,” katanya.

Dengan semangat memperbaiki kondisi itulah, kesepakatan digagas. Pagar kini terbuka, silakan Singapura berlatih di wilayah laut dan udara Indonesia. Pesawat tempur mereka juga bisa kost di wilayah kita. Membangun berbagai infrastruktur pun boleh demi menunjang latihannya. ”Setelah 25 tahun, infrastruktur itu menjadi milik kita,” kata Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri, Arif Havaz Oegroseno.

Pemerintah yakin, perjanjian ini menguntungkan Indonesia. Memang di dalamnya tercantum sejumlah hal baru. Misalnya, ada asas timbalbalik: Indonesia berhak menggunakan peralatan dan teknologi militer mereka, kita juga berhak memasuki wilayah udara maupun laut Singapura. Semua personel militer Singapura yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia harus tunduk di bawah hukum Indonesia. Keberadaan pihak ketiga dalam latihan pun harus sepersetujuan kita.

”Tiga hal ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Arif. Daerah latihannya sendiri terbatas di sekitar Tanjung Pinang, Riau, dan wilayah Kepulauan Natuna di Laut Cina Selatan, seluas 60x60 mil laut. Ini wilayah lama yang sudah pernah digunakan, meski kini diatur ketat. Baik perjanjian ekstradisi maupun pertahanan berlaku 25 tahun dengan evaluasi pada tahun ke13, 19, dan ke25.

Pemerintah boleh tersenyum lega, tapi jangan terlalu lama. Suara kecewa akan makin ramai pekan ini. Kalangan parlemen menilai isi perjanjian lebih banyak menguntungkan Singapura. Bila kecurigaan itu benar, ada kemungkinan ratifikasi tak menemui jalan mulus. Padahal perjanjian belum bisa dilaksanakan tanpa ketukan palu Dewan Perwakilan Rakyat.

Apalagi pemerintah berkeras mengembargo butirbutir perjanjian itu sebelum dengar pendapat resmi dengan Komisi Pertahanan dan Luar Negeri. ”Jangan heran kalau ratifikasinya pun kami embargo nanti,” kata Yuddy Chrisnandy, anggota komisi.

Kurie Suditomo, Widiarsi Agustina, Sutarto (Gianyar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus