JIKA ada pemilihan menteri yang paling menarik perhatian, mungkin dialah Menko Polkam Sudomo. Lihat saja, kontroversi yang ditimbulkannya selama setahun terakhir ini. Misalnya, tatkala dia mencabut kembali ucapannya tentang suksesi kepemimpinan nasional sembari minta maaf pada Presiden Soeharto. Juga ketika ia menuding para rektor perguruan tinggi di Indonesia "goblok" karena tak bisa mengendalikan gejolak mahasiswa, yang membuat banyak kuping tersengat. Yang terakhir soal langkahnya untuk menertibkan pedagang asongan di jalan-jalan raya Jakarta. Banyak yang menganggap Sudomo "tak berhak" mengurus soal yang semestinya, menurut mereka, merupakan urusan Pemda DKI Jakarta atau Depnaker. Sampai-sampai ada anggota DPR dari F-PDI yang menyebut Sudomo "kurang kerjaan". Namun, seperti biasa, Sudomo tak bergeming. Ia membantah tindakannya itu hanya sekadar mencari popularitas (lihat Saya Tidak Cari-Cari Pekerjaan). Ia malah tak sungkan menyebut dirinya "Menteri Asongan", dan tetap berniat melanjutkan proyeknya itu. Senin siang pekan ini, ia mengadakan inspeksi mendadak -- dengan menyertakan sejumlah wartawan -- untuk melihat nasib pedagang asongan yang terkena "Operasi Esok Penuh Harapan" (OEPH). Di sebuah halte bis di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, Sudomo menjumpai dua pedagang asongan yang mengenakan rompi oranye -- ciri pedagang asongan yang terkena OEPH. Terjadi dialog. Maskun, 30 tahun, mengaku setelah ikut program ini, pendapatannya dari berjualan rokok dan permen merosot. Kini, setelah dibatasi hanya boleh berjualan di halte bis, ia cuma bisa mengumpulkan Rp 10.000 per hari. "Dulu, jualan di lampu merah bisa dapat Rp 25 ribu sehari," katanya mengeluh. Rekannya, Hidayat, 54 tahun, yang berjualan koran dan majalah, pendapatannya tak berubah, Rp 2.000 per hari. Setelah mendengar unek-unek itu, Sudomo merogoh koceknya, lalu memberi masing-masing Rp 10.000 kepada mereka. Di halte bis di depan Hotel Kartika Plaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Sudomo kembali menemui pedagang asongan berompi oranye. Di situ ia tersenyum mendengar cerita Hayat yang beruntung karena penghasilannya bertambah, dari Rp 3.000 menjadi Rp 5.000, setelah ikut OEPH. Terhadap Hayat, Sudomo tak merogoh koceknya. Sejak 15 Februari 1990, dalam rangka OEPH, para pedagang asongan memang tak lagi diizinkan berjualan di perempatan lampu merah atau jalan-jalan lainnya. Mereka, yang terdaftar dan didandani rompi oranye yang ditempeli kartu tanda pengenal, hanya boleh berdagang di tepi jalan atau trotoar, pelataran parkir, pelataran pasar swalayan, di pompa bensin atau halte bis. Bagi yang berniat pindah profesi, Sudomo menawarkan latihan di balai latihan kerja milik Depnaker. Tercatat ada 120 eks pedagang asongan yang saat ini dilatih di BLK Pasar Rebo, Jakarta Timur. Menyongsong bulan Ramadan ini, Sudomo melontarkan ide baru. Ia berancang-ancang membentuk Koperasi Pedagang Asongan (KPA) yang akan diresmikan akhir Maret 1990 nanti. Di koperasi yang berbentuk simpan pinjam itu, para pedagang asongan bisa membeli 9 kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Bahkan disediakan juga dokter yang akan memeriksa kesehatan para pedagang asongan itu seminggu sekali. Sudomo, di tengah gencarnya kritik terhadap "kebijaksanaan asongan"-nya -- termasuk demonstrasi para pedagang asongan ke DPR dua pekan silam -- tampaknya memang tambah getol menggarap proyek OEPH ini. Mungkin saking kelewat seriusnya, Rabu pekan lalu Sudomo sampai mengeluarkan ancaman terhadap empat wali kota -- Jakarta Pusat, Utara, Selatan, dan Barat -- di lingkungan DKI Jakarta, serta Kapolda Metro Jaya. Mereka, katanya, akan dilaporkan kepada Presiden Soeharto karena dianggapnya lamban menangani OEPH. Cuma Wali Kota Jakarta Timur yang mendapat pujian Sudomo. "Kalau semua wali kota seperti yang ada di Jakarta Timur, kita bisa tidur," kata Sudomo girang, seusai menyaksikan penyerahan beasiswa kepada 87 pedagang asongan oleh Wali Kota Jakarta Timur Mas Sunaryono. Gubernur DKI Jakarta Wiyogo, yang menjadi atasan keempat wali kota yang diancam itu, menanggapinya dengan kalem. "Biar saja Sudomo bicara begitu. Kan dia memang suka bercanda. Lagi pula, pekerjaan wali kota tak diukur hanya dari mengurusi asongan. Urusan mereka masih banyak yang lain," komentar Wiyogo. Ancaman Sudomo rupanya membuat Mensesneg Moerdiono bertanya-tanya. "Apakah seorang presiden hanya mengurusi persoalan wali kota?" katanya. Sedangkan seorang pejabat tinggi lainnya merasa tak begitu srek melihat ulah Sudomo itu. "Sudah kelewatan. Dia tak tahu lagi batas yang harus dia dikerjakan, dan mana yang tidak," katanya. Dengan pintar Sudomo mengelak. "Lha, kan saya omong dengan kelakar, yang lalu dimuat koran," alasannya. Memang bukan sekali ini Sudomo "berkelakar". Medio Februari lalu, ia juga bikin kejutan, mengumumkan larangan mobil berkaca gelap dan mengharuskan mobil pribadi berpenumpang sedikitnya empat orang di beberapa kawasan Jakarta, mulai Maret 1990. Konon, gara-gara ucapannya itu, Sudomo banyak mendapat telepon dari para ibu. Ada yang mengomel: peraturan itu bakal membuat para suami punya dalih untuk membawa perempuan lain (agar penumpang mobilnya genap empat). Waktu itu Gubernur Jakarta juga menanggapi ucapan Sudomo itu dengan tenang. "Dia barangkali sedang khilaf," kata Wiyogo, sembari tersenyum. Soalnya, "peraturan" semacam itu baru merupakan gagasan di kalangan Pemda DKI, yang belum jelas kapan bisa dilaksanakan. Sementara itu, entah karena ancaman Sudomo pada Kapolda Metro Jaya, mulai pekan lalu polisi berpakaian preman, dengan menggunakan mobil pribadi, melakukan penangkapan terhadap pedagang asongan, yang tampaknya jumlahnya tak pernah susut meski OEPH dilancarkan. Caranya: mereka berpura-pura membeli barang dari pedagang asongan, lalu menangkapnya. Ternyata, sejauh ini pedagang yang ditangkap dan dibawa ke kantor Polsek itu tidak ditahan. Mereka cuma dinasihati agar tidak berdagang di jalan lagi. Tapi apakah mereka akan menjadi jera, bila tuntutan perut akan terus memburu? Ahmed K. Soeriawidjaja, Diah Purnomowati, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini