REMAJA Indonesia remaja santai? Tuduhan ini akan segera gugur, bila orang menengok Pesantren Darul Arqam di pinggiran Garut, Jawa Barat. Di pesantren milik Muhammadiyah ini, 270 santrinya adalah juga siswa SMP dan SMA Muhammadiyah setempat. Ditambah dengan kurikulum pesantrennya, praktis anak-anak itu belaJar sepanjang 70 Jam per minggu handingkan dengan teman-teman mereka yang tak ikut di pesantren, yang rata-rata cuma belajar 35 jam. Dan bila Senin pekan depan sekolah mulai belajar lagi, 50 dari sejumlah siswa baru di situ adalah juga santri Darul Arqam angkatan tahun pertama. Inilah gagasan Muhammadiyah yang bisa digolongkan sebagai pendidikan eksperimen yang menjanjikan. Suatu hal yang didukung oleh Menteri P & K Fuad Hassan, yang suatu ketika pernah menyatakan, ia tak keberatan adanya sekolah-sekolah eksperimen. Kegiatan dimulai setengah jam sebelum azan subuh, dan baru setelah pukul sembilan malam mereka tidur. Di hari libur, Jumat, adalah hari ekstrakurikulum. Para siswa berlatih silat. Di bulan Puasa, pelajaran berjalan seperti biasa. Dan libur panjang akhir tahun pelajaran dimanfaatkan untuk memperlancar bahasa Arab dan Inggris. Itulah kegiatan di sebuah kompleks seluas 1,5 hektar - lengkap dengan asrama untuk sekitar 300 santri, masjid, ruang kelas, sarana olah raga, dan perumahan untuk guru. Didirikan pada 1978, pendidikan di sini diniatkan melahirkan ulama intelektual, tutur Mohammad Miskun Asyatibi, 56 tahun, pemimpin pcsantren ini. Yakni ulama yang bisa "menggali hukum baru yang relevan dengan perkembangan masyarakat." Karena itu, berbeda dengan pesantren umumnya, di sini tak ada pelajaran keterampilan, seperti bercocok tanam, mengelas, dan beternak. Untuk diterima jadi santri, selain lulus SD atau madrasah ibtidaiyah, juga harus lulus tes membaca Al-quran, menulis chat (tulisan halus Arab), dan tes psikologi. Dan untuk sementara, hanya menerima siswa laki-laki. "Insya Allah, tahun 1989 sudah ada kelas putri," kata Miskun. Ini hanyalah masalah tempat, karena santri putri mestinya dipisahkan dengan santri laki-laki. Dibina oleh tokoh yang tak asing lagi, Prof. H. Ahmad Sadali dari ITB -- seniman (pelukis) yang juga seorang ulama - antara lain, sesungguhnya program pendidikan Darul Arqam adalah sembilan tahun. Enam tahun setingkat sekolah menengah, tiga tingkat akademi. Yang bisa dilaksanakan baru program enam tahun. Dalam kurikulum agama, tiga tahun pertama diberikan dasar-dasar kemampuan memahami kitab-kitab kuning. Tiga tahun berikutnya, barulah dibuka studi perbandingan (muqaronah). "Agar para santri tak berpandangan sempit," kata Miskun pula. Yang menarik lagi, tiap tahun selalu diadakan evaluasi. Santri yang diangap tak cocok dengan belajar berat di sini, dianjurkan memilih pendidikan yang lebih pas. Yang akhirnya bisa menyesuaikan diri, umpamanya Asep Purnama Bachtiar, kelas V di Darul Arqam atau kelas II di SMA Muhammadiyah, anak seorang Kepala SD Pengalengan, Bandung. "Dulu berat, karena waktu yang padat, sekarang malah senang," kata remaja 18 tahun ini. Dan bila dulu anak pertama dari empat bersaudara itu belum punya cita-cita, kini setelah memahami disiplin yang berat ia berniat masuk Akabr. "Saya kira disiplin di Darul Arqam hampi sama seperti di Akabri. Mcreka yang telah luhls program enam tahun - sampai tahun ini sudah 84 santri sebagian meneruskan di IAIN, Universitas Riyadh - Arab Saudi, Al Azhar -- Kairo, IKIP, ada pula yang diterima di ITB. Sebagian lagi mengajar di Darul Arqam sendiri itu semua dimungkinkan, sebagaimana cita-cita Asep masuk Akabri, karena lulusan Darul Arqam juga mendapatkan SlB (Surat Tanda Tamat Belajar) dan NEM (Nilai Ebtanas Murni) - mereka 'kan ikut Ebtanas SMP dan SMA juga. Sebagaimana di pesantren, para guru mendapatkan fasilitas agar perhatian mereka kepada pelajaran bisa sepenuhnya. Agus Yusuf, 27 tahun, umpamanya, bersyukur memperoleh semua yang dia butuhkan. "Di sini saya mendapat tempat tinggal, air, listrik, dan makan gratis." Bila Agus memilih mengajar di alma maternya, tentulah ada kebanggaan sendiri menjadi santri di pesantren yang unik ini. Dan berkat fasilitas itu ia masih sempat juga mengikuti kuliah di E akultas Syariah Almusadaddiyah, di Garut. Berbeda dengan pesantren umumnya uang belajar di sini tergolong mahal. Tiap santri dikutip sumban, gan pendidikan Rp 30.000 per bulan - sudah termasuk biaya makan sehari tiga kali. Uang infaq Rp 100.000 untuk selama belajar, yang digunakan untuk membeli lemari pakaian dan tempat tidur santri. Tentu, Darul Arqam tak cuma mengharap biaya dari para santri. Dari scjumlah lembaga, antara lain Departemen Agama yang pernah menyumbang Rp 750.000, mengalir juga biaya. Yang boleh dikata selalu datang adalah sumbangan dari umat Muhammdiyah. Dari para donor itulah pesantren melengkapi segala sesuatunya: sarana olah raga, pembelian tanah untuk pesantren putri nanti. Memang, dari Darul Arqam - Arqam, nama sahabat Nabi yang rumahnya menjadi tempat diskusi di awal-awal perkembangan Islam - belum tcrdengar lulusan yang kemudian dikenal sebagai tokoh. Apalagi, yang sudah bisa disebut ulama intelektual. Mungkin itu dikarenakan program sembilan tahun belum terlaksanakan, selain usia Darul Arqam masih terhitung muda. Tapi setidaknya, dengan jadwal yang panjang dan ketat, pesantren ini mempersiapkan alumninya untuk mencintai kerja keras di jalan yang direlai Allah. Itu tercermin dari semangat Agus Yusuf, dari Asep Purnama Bachtiar. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini